Jakarta,
Khazminang.id -- Kisah nikah berbeda agama di keluarga Bagus yag dimuat di laman VOA Indonesia ini patut
jadi renungan. Ayahnya, seorang Katolik ketika menikahi
ibunya yang Muslim. Pada perkawinan sekitar tahun 80-an itu, keduanya sepakat
menikah secara Islam. Bagus dan kakaknya ikut menjadi Muslim seperti ibu
mereka.
Sepanjang pernikahan itu tidak ada masalah
timbul. Mereka hidup satu halaman dengan keluarga besar ayahnya yang tetap
menjadi pemeluk Katolik yang taat. Sepanjang tahun-tahun pernikahan itu,
aktivitas keagamaan sang ayah relatif tidak jelas. Kondisi yang akrab di
pedesaan Jawa, di mana prinsip hidup abangan masih kental.
Baca
Juga: Nikah Beda Agama, MA LarangPengadilan Mengabulkan
Menjelang wafatnya sang ayah, Bagus yang mendampingi berusaha merawatnya dengan tuntunan sebagai Muslim. Ketika kondisi kesehatannya memburuk, doa-doa secara Islam diberikan. Namun, keluarga besar ayahnya tetap turut mendoakan sesuai ajaran Katolik. Keluarga besar juga yakin, ayah Bagus sebenarnya tetap seorang Katolik.
“Ketika ayah meninggal, saya ambil keputusan memakai cara Islam dalam prosesinya. Karena ini urusan saya dengan Yang Menciptakan Kehidupan,” ujarnya.
Keluarga besar ayahnya kemudian meminta izin untuk menggelar sembahyangan atau prosesi doa secara Katolik di rumah yang berbeda.
“Karena bagaimanapun, keponakan-keponakan yang dari sisi ayah saya kan masih Katolik, dan mereka juga ingin mendoakan ayah. Jadi, mereka membuat acara sendiri untuk mendoakan almarhum,” katanya lagi.
Gugatan Kandas di MK
Polemik perkawinan beda agama kembali mencuat setelah E. Ramos Petege memohon pengujian UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) UU ini menyatakan: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam sidang pengajuan perkara pada 16 Maret 2022, salah satu kuasa hukum pemohon Ni Komang Tari Padmawati menyatakan pemohon adalah seorang pemeluk Katolik dan hendak menikahi muslimah, tetapi batal karena tidak diakomodasi UU Perkawinan.
“Kegagalan dari perkawinan itu terjadi karena adanya intervensi golongan yang diakomodir oleh negara, melalui UU Peekawinan,” papar Ni Komang
Dalam sidang lanjutan pada 28 Juli 2022, pemohon mengajukan dua ahli untuk mendukung upaya ini, yaitu dosen komunikasi Universitas Indonesia, Ade Armando dan akademisi filsafat, Rocky Gerung.
Ade meyakini ini adalah persoalan tafsir. “Jadi, yang berlangsung adalah perbedaan tafsir, dan perbedaan ini yang menyebabkan perbedaan keyakinan memahami aturan mengenai perkawinan beda agama,” kata dia.
Sedangkan Rocky Gerung menyebut perkawinan adalah peristiwa perdata dan di dalam undang-undang disebut sebagai hak dan bukan kewajiban. “Jika seseorang menggunakan haknya, maka negara harus mencatatkannya secara administratif bahwa dia telah menggunakan haknya,” kata Rocky.
Dalam sidang 1 November 2022, hakim MK mendengar pendapat pakar Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Teten Romly Qomaruddien. Dia mengatakan, “Selain terdapat dalil-dalil ayat yang menegaskan haramnya pernikahan beda agama tersebut, juga adanya riwayat hadits ditambah lagi adanya ijma’ para ulama di setiap zamannya.”
Sementara pakar yang lain, Abdul Choir Ramadhan mengatakan, “perkawinan yang sah menurut ajaran agama Islam adalah yang telah memenuhi syarat dan hukum. Kedua unsur itu tidak dapat dinegasikan, dia bersifat universal dan mendasar.”
Perkara ini putus, dalam sidang pada Selasa, 31 Januari 2023. “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman.
MK dalam pertimbangan hukum juga menyatakan dalam perkawinan terdapat kepentingan dan tanggung jawab agama dan negara saling berkait erat.
“MK telah memberikan landasan
konstitusionalitas relasi agama dan negara dalam hukum perkawinan bahwa agama
menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan negara menetapkan keabsahan
administratif perkawinan dalam koridor hukum,” ujar Hakim Konstitusi, Enny
Nurbaningsih. (voa)