Oleh : Eko Yanche Edrie

Ketika pesan WhatsApp dari Uni Ta –begitu saya menyapa Zeynita Gibbons—saya baca, oo… beliau akan meluncurkan buku terbarunya di kantor LKBN Antara Biro Sumbar di kawasan Kampung Nias Padang. “Mohon berkenan datang menghadirinya” tulis Uni Ta.
Ya, iya lah…. Insya Allah saya hadir, kata saya dalam hati saja tanpa membalas panjang-panjang WA tersebut kecuali dengan sepatah kata saja ‘ Insya Allah’
Senin siang memang agak sesak lantai dasar gedung Biro Antara di Kampung Nias itu, ada enam puluhan orang yang hadir dalam peluncuran yang didukung LKBN ANTARA serta ditaja oleh SatuPena Sumbar, yang diketuai Sastri Bakry.
Maka ketika saya telat datang, akhirnya dapat juga hadiah buku itu dari panitia. Sambil mendengar sejumlah testimoni dari sahabat-sahabat Uni Ta, saya buka sampul plastiknya untuk mengintip datar isi dari buku ini.
Tadinya saya membayangkan ini adalah sebuah otobiografi yang ditulis oleh pelakunya sendiri, tetapi dugaan saya meleset. Ini adalah buku catatan atau sering juga disebut memoar.
Buku setebal 320 halaman yang diterbitkan oleh penerbit Artaz memuat sejumlah catatan perjalanan Uni Ta baik ketika berada dalam medan tugas di jantung Eropa, di UK maupun dalam perjalanan domestiknya.
Dulu saya sering mengutip feature karya Uni Ta ketika saya menjadi redaktur di Harian Singgalang, Harian Mimbar Minang maupun ketika jadi Redaktur Pelaksana Harian Haluan di Jl Damar 59.
Zeynita Gibbons, tadinya saya menduga wartawati Antara Biro Eropa ini adalah seorang asing. Baru tahun 1999 saya tahu bahwa Zeynita Gibbons itu adalah wartawati asli Indonesia, bahkan asli perempuan Minangkabau dari Nagari Paninjauan, Kecamatan X Koto Diateh. Saya penasaran saja, maka saya tanyakan langsung kepada Suchyar yang menjadi Kepala Biro ANTARA ketika itu. “Urang awak tulen baliau tu mah, bung” kata Suchyar ketika itu. Dan mengatakan bahwa Zeynita akan pindah ke Inggris.
Meskipun saya tidak pernah berkorespondensi dengan beliau, tetapi setiap kali ada feature yang ditulis Zeynita Gibbons di Bulettin ANTARA, pasti saya kutip dan muat. Pada kurun tahun 2000an itu ANTARA memiliki rubrik bernama Pumpunan dan Spektrum. Pumpunan untuk berita-berita yang lebih analisis, sedang Spektrum adalah pure feature atau karangan khas.
Pada peringatan Hari Pers Nasional 2018 di Padang saya terlibat menerbitkan buku profil 121 Wartawan Hebat dari Minangkabau. Buku yang diterbitkan Panitia HPN memuat riwayat ringkas para wartawan asal Minangkabau sejak zaman Belanda sampai 2018. Dari Mahyudin Datuk Maharaja sampai, Adinegoro, Karni Ilyas dan Chairul Harun. Salah satu nama dalam buku itu adalah Zeynita Gibbons. Ketua Penyunting bung Hasril Chaniago menugaskan saya untuk mewawancarai dan menulis profil beliau. Ini lantaran saya pernah berada sebentar dalam naungan LKBN ANTARA, jadi dianggap pas untuk mewawancarai Uni Ta dan menuliskannya.
Maka kalau dalam buku 121 Wartawan Hebat itu perjalanan hidup Zeynita Gibbons hanya tercantum dalam tiga atau empat halaman buku saja, dengan membaca buku “Di Bandara Heathrow Semua Bermula dan Berakhir’ anda akan mengenal lebih jauh tentang apa yang dicatat pada berbagai perjalanan jurnalistiknya.
Zeynita Gibbons lebih suka mencatat hal yang kadang dianggap para wartawan lain remeh temeh. Tapi di tangannya menjadi tulisan yang hidup dan enak. Misalnya tulisan tentang Blanca Salcedo (Hal 107). Bagaimana Zeynita mencatat hal kecil tentang keterbatasan bahasa hingga Blanca dari Formosa itu lebih banyak senyum-senyum saja di acara International Minangkabau Literacy Festival (IMLF). Zeynita melihat Blanca mungkin sedih lantaran keterbatasan bahasa pengantar tadi, karena tidak semua berbahasa Inggris. Lalu Zeynita menghiburnya dengan mengutip judul lagu ‘Don’t Cry for Me Argentina’ sebab Blanca meski dari Formosa, dia adalah warga Argentina. Dan lagu yang dinyanyikan beberapa penyanyi termasuk Madonna adalah untuk mengenang Evita Peron, ibu negara istri Presiden Argentina, Juan Domingo Peron.
Begitulah Uni Ta, perempuan dari Paninjauan di jantung berita Eropa. Bagi saya, spirit of journalism nya amat memberi kesan kegigihan. Banyak (maaf) wartawati begitu meningkah, maka karir jurnalistiknya kemudian terpinggirkan. Saya ingin juga mengenang Yuli Ismartono (Tempo) dan Threes Nio (Kompas) yang harus meninggalkan keluarga demi tugas jurnalistiknya di luar negeri,
Dan ketika Zeynita kembali ke Ranah Minang, kampung halamannya, ia tidak pernah berhenti menulis. Sejumlah tulisannya dibagikan kepada kawan-kawan redaktur untuk dimuat. Saya beberapa kali termasuk yang dikirimi beliau untuk saya terbitkan di Harian Khazanah, di portal Khazminang.id dan hariankhazanah.com.
Ibarat lagu, setelah refrain kita masuk ke coda atau penutup lagu. Pada penutup tulisan ini bolehlah saya sampaikan juga kritik untuk buku memoar Zeynita Gibbons ini. Karena tak ada secuil pun foto dalam buku itu, maka paling tidak kelelahan mata tak terobati. Tadinya saya membayangkan akan ada foto-foto di mana tokoh sentralnya beraktifitas. Siapa tahu pada cetakan kedua akan direvisi, hehehe.
Proficiat, Uni Zeynita Gibbons.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News Khazminang.id. Klik tanda bintang untuk mengikuti.