Oleh : Aminuddin Supriyadi *)
Dalam setiap peristiwa besar, selalu tersimpan hal yang lebih berharga dari sekadar keramaian — yaitu momentum. Momentum bukanlah waktu yang lewat, melainkan waktu yang bermakna; titik pertemuan antara semangat, kesempatan, dan kesadaran.
Dalam momentum itulah arah dan masa depan sebuah organisasi sesungguhnya ditentukan — apakah ia sedang tumbuh, atau sekadar berputar dalam rutinitas tanpa jiwa.
Perayaan HUT KADIN Indonesia ke-57 di Sumatera Barat melalui “Mendadak Festival” (MenFest) seharusnya menjadi panggung kebersamaan dunia usaha. Sebuah ruang di mana para pengusaha, UMKM, akademisi, dan pemerintah berpadu dalam satu irama kolaborasi ekonomi rakyat.
Namun di balik gemerlap panggung dan ramainya acara, terasa ada sesuatu yang hilang — denyut kebersamaan itu tak lagi berdetak sekuat dulu. Yang tampak bukan semangat kolektif keluarga besar KADIN, melainkan pertunjukan yang lebih digerakkan oleh event organizer daripada oleh energi dan gotong royong anggotanya sendiri. Padahal kekuatan KADIN tidak pernah terletak pada panggung megah atau besarnya dana acara, melainkan pada rasa memiliki di antara penghuninya.
KADIN adalah rumah besar dunia usaha. Namun rumah yang besar pun akan terasa kosong bila penghuninya tidak diajak bicara — hanya datang ketika lampu sudah menyala dan musik sudah dimainkan. KADIN semestinya bukan sekadar wadah formal, tetapi ruang dialog yang hidup, tempat bertumbuhnya ekosistem ekonomi rakyat yang saling menopang dengan kejujuran, solidaritas, dan kepedulian.
Momentum sejati lahir ketika setiap anggota merasa memiliki ruang itu, bukan sekadar menontonnya dari jauh. Momentum adalah cermin; ia memaksa kita berhenti sejenak, menatap diri, dan bertanya dengan jujur:
Apakah kita masih berjalan bersama, atau hanya berjalan berdampingan tanpa saling mengenal.? Jika jawabannya samar, maka sebesar apa pun acara yang digelar, ia hanyalah gema tanpa jiwa. MenFest, jika dimaknai dengan hati yang jernih, sebenarnya bisa menjadi titik balik. Ia menyadarkan kita bahwa gemerlap tanpa makna hanyalah topeng sesaat.
Bahwa kolaborasi sejati tidak lahir dari EO atau sponsor, tetapi tumbuh dari rasa saling percaya dan kebersamaan yang murni. Inilah saat yang tepat untuk menata ulang arah, menyalakan kembali semangat kolaborasi, dan menghidupkan nilai-nilai dasar KADIN: kebersamaan, kemandirian, dan keberpihakan pada rakyat.
Kritik yang jujur bukanlah bentuk perlawanan, melainkan panggilan cinta. Cinta pada organisasi berarti berani mengingatkan ketika jalan mulai menyimpang. Sebagaimana tubuh tanpa jiwa hanyalah raga yang berjalan, maka organisasi tanpa kebersamaan hanyalah nama tanpa makna. Kini, setelah panggung besar usai, jangan biarkan hati menjadi panggung yang gelap.
Mari menyalakan cahaya kecil di dalam diri masing-masing agar api kebersamaan itu kembali menyala — bukan hanya untuk para pengusaha, tapi juga untuk rakyat yang hidup dari denyut ekonomi lokal yang kita bangun bersama.
Sebab pada akhirnya, momentum sejati bukan tentang siapa yang tampil di panggung, melainkan tentang siapa yang mau turun tangan menjaga maknanya.
Dan jika kita biarkan momentum ini lewat begitu saja, maka yang kita kehilangan bukan hanya waktu, tapi juga arah dan makna kebersamaan itu sendiri. (***)
*) Penulis merupakan Komtap Kemandirian Pangan KADIN Sumbar dan Ketua AMS.106 Sumatera Barat.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News Khazminang.id. Klik tanda bintang untuk mengikuti.






