Rektor UNP Krismadinata dan Pandangan Luasnya dalam Pengembangan Seni Berbasis Budaya
Oleh: Rizal Tanjung*
Seni dan budaya merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat. Keduanya berkembang seiring dengan perubahan zaman, tetapi tetap harus berakar pada nilai-nilai tradisional yang menjadi identitas suatu bangsa. Rektor Universitas Negeri Padang (UNP), Krismadinata, S.T., M.T., Ph.D., menegaskan pentingnya pengembangan seni berbasis budaya agar tidak tercerabut dari akar adat istiadat dan filosofi budaya Minangkabau.
Dalam pandangannya, seni tradisional seperti pencak silat harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi budayanya. Pemikiran ini mendapat berbagai tanggapan, baik yang mendukung maupun yang mengkritik. Namun, jika ditelaah lebih dalam, gagasan Krismadinata justru sejalan dengan pemikiran para seniman dan budayawan Minangkabau terdahulu yang selalu mencari cara untuk menjaga relevansi seni dalam kehidupan masyarakat modern.
Pencak Silat dan Seni Pertunjukan: Antara Tradisi dan Inovasi
Salah satu topik yang disoroti dalam pernyataan Krismadinata adalah pengembangan pencak silat tradisional menjadi bagian dari industri hiburan dan wisata. Gagasan ini kemudian mendapat tanggapan yang beragam, termasuk kritik yang menilai bahwa pendekatan ini berisiko menghilangkan nilai-nilai budaya dalam pencak silat. Namun, apakah benar demikian?
Jika kita melihat sejarah perkembangan seni di Minangkabau, banyak inovasi telah dilakukan oleh para seniman terdahulu tanpa menghilangkan akar budayanya. Misalnya, Gusmiati Suid berhasil mengembangkan tari Minangkabau dengan mengadaptasi gerakan silat dalam koreografi tarinya. Inovasi ini justru membuat seni Minangkabau lebih dikenal dan diapresiasi di tingkat internasional. Hal yang sama dilakukan oleh Eri Mefri yang membawa seni tari Minangkabau ke panggung dunia dengan tetap menjaga esensi tradisionalnya.
Krismadinata, dalam wawancaranya, menyatakan bahwa:
Ā āSilat adalah seni yang memiliki keindahan tersendiri, dan dengan teater, tentu akan lebih bisa mengangkat nilai-nilai budaya serta sejarah yang terkandung di dalamnya.ā
Pernyataan ini menunjukkan bahwa ia melihat pencak silat bukan hanya sebagai seni bela diri, tetapi juga sebagai seni pertunjukan yang kaya dengan nilai estetika dan filosofi budaya. Konsep ini sebenarnya bukan hal baru dalam dunia seni. Di berbagai negara, seni bela diri seperti taekwondo, capoeira, dan kungfu telah dikembangkan dalam bentuk pertunjukan teatrikal tanpa kehilangan nilai-nilai tradisionalnya.
Budaya yang Dinamis: Seni Harus Berkembang dengan Zaman
Kritik terhadap gagasan Krismadinata sering kali berangkat dari anggapan bahwa seni tradisional harus tetap dalam bentuk aslinya dan tidak boleh mengalami perubahan. Namun, pandangan ini mengabaikan fakta bahwa budaya selalu mengalami perkembangan. Seni yang stagnan akan kehilangan relevansinya dan berisiko ditinggalkan oleh generasi muda.
Sebagai contoh, kesenian Randai, yang kini dianggap sebagai tradisi khas Minangkabau, sebenarnya merupakan hasil dari pengaruh berbagai unsur seni lain, termasuk teater rakyat dari Melayu. Jika masyarakat terdahulu menolak perubahan, Randai mungkin tidak akan berkembang menjadi seni pertunjukan yang kita kenal sekarang.
Begitu pula dalam dunia sastra, Wisran Hadi dan A.A. Navis mengembangkan sastra Minangkabau dari bentuk kaba lisan menjadi novel dan naskah drama. Transformasi ini memungkinkan budaya Minangkabau untuk terus hidup dan berkembang dalam berbagai bentuk baru.
Dalam konteks ini, gagasan Krismadinata bukanlah bentuk pengabaian terhadap tradisi, melainkan usaha untuk memastikan bahwa seni Minangkabau tetap hidup dan berkembang sesuai dengan tantangan zaman.
Silat Sebagai Daya Tarik Wisata dan Ekonomi Kreatif
Selain mengusulkan pencak silat dalam bentuk seni pertunjukan teater, Krismadinata juga menyampaikan ide untuk menjadikan pencak silat sebagai bagian dari industri wisata. Ia mengusulkan konsep kelas kilat pencak silat untuk wisatawan, di mana wisatawan tidak hanya belajar teknik dasar silat, tetapi juga memahami filosofi dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya.
Menurut Krismadinata:
Ā Ā āSejumlah destinasi wisata dapat mengembangkan konsep wisata berbasis silat sehingga wisatawan dapat mengikuti kelas kilat pencak silat sebagai bagian dari pengalaman wisata mereka.ā
Pendekatan ini sejalan dengan tren global di mana berbagai kesenian tradisional dijadikan bagian dari industri kreatif dan pariwisata. Contoh suksesnya adalah:
Tari Kecak di Bali, yang awalnya merupakan ritual sakral, kini dikemas sebagai pertunjukan wisata tanpa kehilangan esensinya.
Wayang Kulit di Jawa, yang terus mengalami inovasi untuk menarik perhatian generasi muda.Begitu uga dengan Taekwondo di Korea Selatan, yang dipromosikan sebagai atraksi wisata dengan pertunjukan teatrikal yang menarik.
Prof. Indrayuda, Ph.D., seorang pengamat budaya dan pegiat pencak silat, mendukung gagasan ini dengan menyatakan:
Ā Ā Ā āSilat yang dikemas dalam bentuk hiburan dan wisata memiliki daya tarik yang kuat, terutama bagi generasi muda dan wisatawan asing. Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga menjadikannya sebagai aset ekonomi kreatif yang potensial.ā
Dengan demikian, upaya menjadikan silat sebagai daya tarik wisata bukan berarti menghilangkan nilai budayanya, melainkan memperkenalkannya kepada lebih banyak orang dan menjamin keberlanjutannya di masa depan.
Kesimpulan: Seni Harus Inovatif Agar Tidak Punah
Dari pembahasan di atas, jelas bahwa gagasan Krismadinata bukanlah upaya untuk mencabut kesenian Minangkabau dari akar budayanya, melainkan sebuah langkah strategis untuk memastikan keberlanjutannya di era modern.
Jika kita melihat ke belakang, para seniman Minangkabau terdahulu seperti Wisran Hadi, A.A. Navis, Gusmiati Suid, dan Eri Mefri telah melakukan berbagai inovasi untuk menjaga agar seni tradisional tetap relevan. Langkah yang diusulkan oleh Krismadinata adalah kelanjutan dari visi yang sama, yaitu memastikan seni Minangkabau terus berkembang tanpa kehilangan jati dirinya.
Sebaliknya, jika seni tradisional dibiarkan tanpa inovasi, maka generasi muda akan kehilangan minat, dan lambat laun kesenian tersebut akan mati. Oleh karena itu, perlu ada keberanian untuk melakukan inovasi yang tetap berpijak pada nilai-nilai tradisi.
Maka, pertanyaannya bukanlah apakah kita harus mengembangkan seni berbasis budaya, tetapi bagaimana kita melakukannya dengan cara yang tetap menghormati akar budayanya.
Jika kita ingin seni dan budaya Minangkabau tetap hidup, maka kita harus berpikir seperti para budayawan terdahulu: terbuka terhadap perubahan, tetapi tetap berpegang pada identitas budaya kita sendiri.
Padang, 28 Maret 2025.
*Penulis adalah Budayawan dan pegiat teater di Sumatera Barat
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News Khazminang.id. Klik tanda bintang untuk mengikuti.


 
							



