Scroll untuk baca artikel
Banner Harian Khazanah
Opini

Pemimpin Cerdas, Bukan Sekadar Pintar: Merajut Jalan Tengah Antara Teori dan Aksi

×

Pemimpin Cerdas, Bukan Sekadar Pintar: Merajut Jalan Tengah Antara Teori dan Aksi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Aminudin Supriyadi *)

Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan sumber daya manusia intelektual. Setiap tahun, ribuan lulusan akademik bermunculan—dari jenjang sarjana hingga doktoral. Kita bangga dengan guru besar, profesor, dan para intelektual bangsa yang menguasai teori, konsep pembangunan, dan strategi kebijakan publik. Namun dalam praktiknya, sering kali kepemimpinan tidak hanya membutuhkan kepintaran, tetapi lebih dalam lagi, kecerdasan yang membumi dan memimpin dengan nurani.

Iklan
Scroll Untuk Baca Artikel

Pintar dan Cerdas: Dua Kutub yang Tidak Selalu Sama

Pintar dapat diasosiasikan dengan kemampuan memahami dan menjelaskan teori secara sistematis. Sementara cerdas adalah kemampuan merespons realitas dengan tepat, bijak, dan penuh empati.

Tak jarang kita menjumpai pemimpin yang sangat pintar secara akademik, namun gagal mengelola organisasi atau daerah dengan baik. Mengapa? Karena pintar saja tidak cukup. Kepemimpinan memerlukan :

– Ketegasan dalam mengambil keputusan,

– Kepekaan sosial terhadap suara rakyat,

– Keberanian menghadapi risiko dan konflik,

– Dan kedewasaan untuk belajar dari kegagalan.

Baca Juga:  Orang Minang Manusia Pembelajar

Ketika Gelar Tidak Menjamin Gerak

Banyak organisasi atau daerah yang dipimpin oleh tokoh akademik, namun berjalan di tempat. Musyawarah berlangsung panjang, namun tanpa hasil nyata. Program dirancang megah, tapi tidak menyentuh kebutuhan masyarakat. Bahkan dokumentasi dan sistem kelembagaan pun tidak terkelola dengan baik.

Ini bukan persoalan kemampuan intelektual semata, melainkan lemahnya kecerdasan manajerial dan etika kepemimpinan.

Belajar dari Forum Pembauran Kebangsaan (FPK)

 

Saya diamanahi sebagai salah seorang pengurus FPK Sumatera Barat dan Panitia SC Musyawarah Provinsi Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Sumatera Barat. Dalam proses ini, saya menyaksikan langsung bagaimana lembaga yang mestinya strategis ini—karena menjadi wadah komunikasi antar-etnis, tokoh masyarakat, dan ormas—justru kehilangan arah karena minimnya sistem dan dokumentasi kelembagaan.

Padahal, di dalamnya bergabung para tokoh terdidik dan akademisi terkemuka. Namun tanpa struktur dan komitmen yang terarah, organisasi cenderung tidak produktif. Inilah kritik reflektif kita bersama:

Bahwa gelar akademik bukanlah jaminan kualitas kepemimpinan. Yang lebih penting adalah kecerdasan untuk memimpin dengan tanggung jawab dan kesadaran sosial.

Kepemimpinan Cerdas: Jalan Tengah Antara Teori dan Aksi

Baca Juga:  Rektor UNP Krismadinata dan Pandangan Luasnya dalam Pengembangan Seni Berbasis Budaya

Pemimpin yang cerdas bukan hanya mereka yang mampu membuat kebijakan berbasis data, tetapi juga yang mampu mendengar, merangkul, dan mengeksekusi dengan rasa tanggung jawab.

Kepemimpinan cerdas adalah kepemimpinan yang:

  • Tahu kapan harus bertindak, bukan hanya berbicara;
  • Mampu menyatukan banyak kepentingan dengan empati;
  • Dan tetap berpihak pada kepentingan rakyat tanpa kehilangan prinsip.

Penutup: Indonesia juga Pemimpin Cerdas

Kita tidak sedang meremehkan para akademisi. Justru kita menghargai ilmu dan pengetahuan sebagai bekal memimpin. Namun kita juga harus menyadari bahwa ilmu tanpa kepekaan bisa menjauhkan pemimpin dari rakyatnya.

“Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Tapi negeri ini merindukan pemimpin yang cerdas—yang hadir dengan hati, akal sehat, dan keberanian moral.” Karena dalam memimpin, tidak cukup hanya membawa teori. Kita harus membawa nurani.

*) Ketua AMS.106 Sumatera Barat, Pendiri/Pembina WCN Foundation

Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News Khazminang.id. Klik tanda bintang untuk mengikuti.