Oleh : Devi Diany
Gedung Kebudayaan Sumbar yang terbengkalai di samping Jalan Pancasila, menjadi wadah bagi para seniman untuk menggelar karya-karyanya. Dengan mengusung tema “Merespon Ruang Menuju Lebih Merdeka”, Senin (19/08/2025), mereka menggugah kesadaran segenap pihak tentang makna merdeka lewat karya seni lukis, seni patung, maupun seni musik serta pementasan puisi.
Di antara para peserta pameran, salah satunya adalah Anita Dikarina yang akrab disapa Rina. Wanita dengan rambut pendek yang menjadi ciri khasnya itu merupakan inisiator dari pelaksanaan helat tersebut. Rina seakan tak kehabisan ide untuk tetap berkreativitas. Semangatnya tak pernah kendor, bahkan semakin giat berkarya setelah pensiun sebagai ASN Pemprov Sumbar.
Agaknya tak banyak yang tahu kiprahnya di bidang seni. Oleh sebab itu, tak apa jika dikupas sedikit tentang putri Arby Samah yang satu ini. Arby Samah sendiri dikenal sebagai seniman kondang pelopor patung abstrak Indonesia ini.
Anita Dikarina, M.Si nama lengkap dan gelar akademik yang disandangnya. Dia adalah seniman multidisiplin, seorang penari, juga menjadi sutradara teater, penulis naskah andal dan pematung abstrak. Rina mewarisi semangat seni dari dari ayahnya, Arby Samah. Dia memadukan arsitektur, seni pertunjukan, seni rupa, dan teknologi.
“Saya menciptakan karya berpijak pada tradisi, berjiwa kontemporer, serta memposisikan seni sebagai sarana edukasi, refleksi, dan perubahan sosial,” katanya.
Rina menamatkan pendidikan sarjana pendidikan di Universitas Negeri Padang (UNP), kemudian melanjutkan ke S-2 Ilmu Lingkungan di perguruan tinggi yang sama. Rina juga sempat tercatat sebagai mahasiswa Teknik Arsitektur di Universitas Bung Hatta, namun tak sempat ia tuntaskan.
Kiprahnya dibidang seni ternyata diawalinya sebagai penari. Rina tercatat sebagai penari senior Sanggar Tari Indojati (1979-kini) dan telah tampil di berbagai panggung baik panggung nasional maupun internasional.
Selain menari, Rina juga merupakan aktris berbakat. Kemampuan seni perannya terasah dengan sangat mumpuni. Dia pernah tampil dalam pementasan teater Terdampar, Dra. Anda dan teater Malin Kundang serta teater anak bertema lingkungan dan bencana. Terakhir Rina unjuk kebolehannya pada pementasan teater peringatan 10 tahun gempa Sumbar pada 2019 silam.
Untuk bidang seni rupa, dia mengawalinya dengan melukis pada 2004. Beberapa kali mengikuti pameran, seperti pameran AI Art (2024) dan teranyar menggagas Pameran Patung Internasional 95 Tahun Arby Samah pada Juni 2025 lalu.
Dia mengusung visi untuk menghidupkan kembali semangat pelopor patung abstrak Indonesia melalui karya yang berakar budaya, berjiwa arsitektur, terbuka pada inovasi menjadikan seni jembatan antara tradisi, teknologi, dan kemanusiaan.
“Obsesi saya saat ini ingin mengembangkan patung kayu abstrak dengan memasukkan estetika arsitektur dan motif tato Mentawai,” katanya dengan sumringah.
Melanjutkan warisan artistik Arby Samah menjadi salah satu fokusnya saat ini, disamping keinginan kuat untuk menggabungkan seni, lingkungan dan isu kebencanaan. Selain itu, seiring pekembangan teknologi maka memanfaatkan teknologi Al dalam seni juga menjadi focus geraknya, termasuk mengangkat budaya lokal dan motif Mentawai.

Pada pameran “Merespon Ruang Menuju Lebih Merdeka”, Senin (19/08/2025) di gedung terbengkalai Dinas Kebudayaan Sumbar, Rina merdeka berkarya dengan menampilkan 8 patung karyanya, masing-masing berjudul :
- The Seed of Time, dari material kayu labam, ukuran 80×35 cm.
Di tengah kekacauan dunia modern di mana waktu mengejar kita dan sejarah sering kita lupakan, maka lahirlah “The Seed of Time”, sebuah artefak kontemporer yang sunyi tapi menyala dari dalam. la tidak berteriak, tidak berusaha memesona, dia diam, tegak, dan jujur seperti batu besar di tengah arus deras, atau benih yang tak goyah ditanam di tanah keras.
Bentuknya bulat namun terbelah. Di antara belahan itu, terbuka sebuah ruang kosong celah waktu, rongga renungan, atau mungkin luka sejarah yang belum benar-benar pulih. Di sanalah masa lalu, kini, dan esok bertemu dalam kesadaran diam.
- The Two Guardians of The Roots (Dua Penjaga Akar), ukuran 30x30x100 cm.
Karya ini terinspirasi dari harmoni dan keterhubungan antara manusia, alam, dan leluhur dalam budaya Mentawai. Dua batang kayu yang berdiri berdampingan melambangkan pasangan atau dua kekuatan yang saling menopang: maskulin dan feminin, darat dan laut, masa lalu dan masa depan.
Motif tato Mentawai yang terukir di permukaan menjadi simbol identitas, perjalanan hidup, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Dalam tradisi Mentawai, tato adalah peta kehidupan-menandai pencapaian, status sosial, dan ikatan spiritual seseorang.
- Petals Beyond Time, ukuran 80x80x20 cm.
Patung ini merepresentasikan kelopak bunga yang tidak tunduk pada usia, terukir dari material yang keras dan tahan lama, seolah menantang kefanaan. Bentuknya terinspirasi dari bunga Rafflesia dan bunga abadi, namun dialihkan ke bahasa visual abstrak bergaya spomenik-menjadikannya monumen keindahan yang melampaui ruang dan waktu.
Setiap lekukan dan bidangnya adalah simbol perjalanan hidup: ada yang tajam sebagai tanda tantangan, ada yang halus sebagai tanda kelembutan. Pusat patung yang terbuka adalah ruang bagi penonton untuk merenungkan bahwa waktu hanyalah bingkai, sementara makna dan jejak yang kita tinggalkan dapat bersemi tanpa batas. Petals Beyond Time mengajak kita percaya bahwa yang singkat pun bisa menjadi abadi.
- Breathing Space (Ruang yang Bernafas), ukuran 30x20x100 cm.
Di datam keheningan yang dipahat dan kayu, terdapat lengkung-lengkung waktu yang tak pernah benar-benar diam. Lubang-lubang kecil seperti tetesan cahaya yang memberi jalan bagi udara untuk masuk, bagi suara untuk keluar bagi jiwa untuk merasa bebas.
Karya ini lahir dan semangat arsitektur Francesco Borromini dengan garis melengkung yang tidak tunduk pada kekakuan mengajarkan bahwa perdamaian sejati tidak pernah dibangun dengan garis lurus, tetapi dengan kelenturan kesediaan berbelok dan keberanian untuk terbuka.
- Dialog Bentuk, bahan kayu, ukiran dan cat, ukuran 35x20x15 cm.
Bentuk hijau pucat berdiri seperti batang waktu, merekam gurat, lekuk, dan lubang yang menyimpan percakapan antara masa lalu dan masa depan mungkin trauma yang tertinggal, mungkin harapan yang tumbuh perlahan, atau mungkin pekik yang menggema di ruang batin. Dari kepadatan kayu lahir celah-celah sebagai ruang bernapas, tempat ide dan suara menemukan jalan keluar. la tak pernah benar-benar diam, menyimpan gerak batin yang terus bekerja di bawah permukaan.
Pesan yang mengalir darinya jelas: menuju lebih merdeka bukanlah berdiri sendiri-sendiri, melainkan menemukan posisi yang tepat di antara yang lain. Kemerdekaan sejati terwujud saat kebebasan individu berjalan seiring dengan harmoni bersama, ketika setiap bagian memiliki tempat, nilai, dan makna yang sama pentingnya bagi keseluruhan.
- Di Ruang Peralihan, bahan kayu, ukiran dan cat.
Di antara langit dan bumi, aku berdiri, tak sepenuhnya milik keduanya. Tubuhku menjulang, mencari cahaya yang tak terlihat, mengirimkan doa-doa yang mengalir seperti rahasia dari rongga terdalam jiwaku ke arah Yang Maha Tinggi.
- Merajut Dua Dunia, bahan kayu, ukiran.
Di tengah pusaran dunia yang tak pernah seimbang, patung ini berdiri sebagai poros pengikat. Setiap potongan kayu menopang yang lain, seperti laki-laki dan perempuan yang saling mengisi, langit yang merangkul bumi, kaya yang tak lepas dari miskin, dan modern yang berakar pada tradisi.
Dalam senyap kayu yang terukir, dua dunia bertemu. Laki-laki dan perempuan berdiri sejajar, langit menunduk menyentuh bumi, kaya meraih tangan miskin, modern berbisik pada tradisi.

- Jendela Takdir, bahan kayu laban, ukuran 100×35 cm.
Karya ini berdiri sebagai portal simbolik jendela abstrak yang menghubungkan masa lalu dan masa depan, realitas dan imajinasi. Bentuk lubang-lubang yang menyerupai celah mata atau jendela pada patung ini adalah metafora dari pandangan, pengamatan, dan pengharapan. la menyiratkan bahwa masa depan dapat dilihat melalui celah masa lalu, dan setiap manusia berjalan membawa “jendela” takdirnya sendiri.
Karya yang tertuang dalam bermacam patung ini menjadi titik pencapaian estetik dan artistik sebagai seniman. Apalagi ketika apresiasi diberikan dalam bentuk ketertarikan untuk memiliki karya tersebut. Hal itu pula yang dirasakan Rina.
“Alhamdulillah, patung Jendela Takdir dan Merajut Dua Dunia sudah ada yang menyatakan berminat untuk membelinya,” ujar Rina bahagia. (*)
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News Khazminang.id. Klik tanda bintang untuk mengikuti.






