Coretan: RAIHAN AL KARIM*
Menjelang Hari Kemerdekaan ke‑80 Republik Indonesia, suasana yang biasanya semarak dengan kibaran Merah Putih terasa agak berbeda tahun ini. Di sejumlah daerah, kita justru melihat bendera lain ikut berkibar. Anehnya, bukan bendera organisasi politik atau kelompok tertentu, melainkan bendera One Piece—ikon dari sebuah serial manga dan anime populer.
Pemandangan seperti ini sempat viral di media sosial. Di Grobogan, Jawa Tengah, beberapa rumah tampak memasang bendera bajak laut dengan tengkorak bertopi jerami tepat di samping Sang Merah Putih. Di Tuban, Jawa Timur, foto yang beredar memperlihatkan hal serupa: Merah Putih masih ada, tapi ditemani bendera One Piece yang berkibar di bawahnya.
Apakah ini sekadar tren budaya pop yang kebetulan muncul menjelang 17 Agustus? Bisa jadi. Tapi melihat banyaknya orang yang ikut serta, rasanya terlalu sederhana jika hanya disebut tren hiburan. Ada perasaan lain yang ikut terselip di balik kain bergambar tengkorak itu: semacam ungkapan kecewa, yang mungkin tak lagi menemukan ruang lewat cara-cara formal.
Kondisi ekonomi yang terus menghimpit, harga kebutuhan pokok yang naik, lapangan kerja yang tak kunjung meluas, dan rasa ketidakadilan yang kerap terdengar di warung kopi—semua itu membuat nasionalisme terasa berat untuk dirayakan. Merah Putih tetap dihormati, tapi kebanggaan untuk mengibarkannya tidak sekuat dulu.
Mengutip jakarta.nu.or.id, Ketua Umum Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI), Ika Rostianti menjelaskan para sopir memilih memasang bendera One Piece sebagai bentuk protes terhadap perlakuan pemerintah.
“Tahun ini kok rasanya kami sangat terluka dan sangat lelah direndahkan terus, anak-anak (para sopir) memasang (Bendera) One Piece sebagai simbol perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang yang tidak berpihak pada sopir,” katanya.
Sementara dalam unggahannya, pemilik akun TikTok @pikir.dulu2, menyebut bahwa ini bukan soal anime. Tapi soal suara-suara yang merasa tak lagi punya tempat di negeri sendiri.
“Merah masih di dada. Tapi putih? Terlalu suci buat negara yang sudah kehilangan nurani. Bukan kami tidak mencintai tanah air. Tapi bagaimana kami bisa kibarkan sesuatu yang tak lagi kami rasakan sebagai lambang keadilan?” unggahnya yang disukai 197 ribu netizen lainnya.

Mengibarkan bendera One Piece tentu bukan berarti menolak Indonesia. Justru sebaliknya, banyak yang masih mencintai negeri ini, hanya saja mereka merasa negara belum sepenuhnya hadir untuk mereka.
Simbol fiksi yang melambangkan kebebasan, keberanian, dan solidaritas itu kemudian diambil alih sebagai bahasa protes yang damai—bahasa yang mungkin lebih jujur ketimbang pidato resmi yang sering tak menyentuh realitas sehari-hari.
Fenomena ini seharusnya menjadi tanda peringatan, bukan dianggap main-main. Nasionalisme tidak bisa dipompa hanya dengan lomba tujuh belasan, baliho, atau upacara di alun-alun. Ia tumbuh dari keadilan, kesejahteraan yang merata, dan kebijakan yang benar-benar berpihak kepada rakyat.
Jika pemerintah terus abai, bukan tak mungkin Merah Putih akan kian jarang berkibar dengan bangga. Dan saat itu terjadi, yang hilang bukan hanya seremoni 17 Agustus, melainkan ikatan batin antara rakyat dan negara.
Merah Putih terlalu sakral untuk sekadar diperlakukan sebagai kain dua warna. Ia harus kembali menjadi alasan rakyat percaya bahwa negeri ini milik mereka. Hanya dengan begitu, bendera itu akan kembali berkibar di setiap rumah tanpa perlu digantikan simbol-simbol fiksi yang lahir dari rasa kecewa. ***
(Penulis Wartawan Khazminang.id, pemegang sertifikat Wartawan Madya)
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News Khazminang.id. Klik tanda bintang untuk mengikuti.