Oleh: DR. H. GAMAWAN FAUZI DT. RAJO NAN SATI
S |
iapa yang menduga kalau ucapan Mbak Puan kali
ini mendapat perhatian yang begitu luas. Bukan hanya di kalangan masyarakat
Sumatera Barat atau Minangkabau, tapi dari berbagai suku bangsa dan dari banyak
unsur masyarakat Indonesia.
Saya mencermati banyak tulisan dan pandangan
di Youtube dan media sosial. Pendapatnya pun beragam. Ada yang geram, ada yang
menyesali bahkan ada juga yang menggurui, agar mbak Puan belajar banyak tentang
sejarah Indonesia. Tapi seperti biasa, ada juga yang membela, menafsirkan, dan
menggeser-geser
sedikit materi dan menyalahkan yang lain.
Seorang Ade Armando yang konon juga berdarah
Minang justeru mempertanyakan, apa yang salah dari himbauan Puan? Menarik bagi
saya pandangan saudara Hasril Chaniago yang jernih, datar dan nyaris tanpa emosi seperti dimuat
lengkap di chanel Youtube. Hasril sekedar bercerita tentang silsilah mbak Puan, tentang
karakter, kurenah, sikap dan filosifis orang Minang yang diperkaya dengan
berbagai peristiwa masa lalu Bung Karno terkait Minangkabau dan optimisme nya,
bahwa semua ini pada gilirannya juga akan selesai dengan baik dan akan
melahirkan kembali Harmoni, Biduak Lalu
Kiambang Batauik.
Saya sedikit agak merasa surprise, ketika
Arteria Dahlan, seorang anggota DPR RI kader PDI yang konon juga berdarah
Minang, mengajak masyarakat Minang untuk menahan diri. Karena dalam banyak
diskusi yang saya saksikan di televisi justeru dia sering tak mampu menahan diri, terkesan
emosi, bahkan pernah "menyerang" pak Emil Salim dengan nada tinggi
dalam sebuah diskusi di acara Mata Najwa.
Saya pikir, mungkin kini dia sudah berubah.
Saya percaya, bahwa dalam setiap peristiwa, Tuhan mempunyai maksud dan tujuan
yang tak selalu dapat dipahami manusia pada awalnya. Manusia seringkali
tersadar, setelah semuanya berlalu. Kemudian menjadi mahfum. Ooo ini rupanya
hikmah di balik semua peristiwa yang berlalu.
Menjelang kita nanti tahu apa ujung dari semua
ini, setidaknya, saya merasa bahwa ucapan mbak Puan, telah memantik hati banyak
orang untuk membuka kembali lembaran lembaran sejarah Indonesia masa lalu,
utamanya saat perjuangan menegakkan kemerdekaan, saat merumuskan ideologi
bangsa, yaitu Panca Sila sebagai way of life, grund norm, sumber dari
segala sumber
hukum.
Indonesia akan disegarkan kembali dengan sejarah yang mulai terlupakan setelah puluhan tahun
terlewati.
Saya amat yakin, bahwa tak banyak manusia
Indonesia yang memiliki buku sejarah lengkap tentang proses lahirnya Panca
Sila, tak banyak yang memiliki naskah konstitusi, apalagi pemahaman tentang bagaimana hangatnya diskusi para founding father menjelang Indonesia menjadi sebuah
bangsa merdeka,
bagaimana pemikiran-pemikiran cerdas dan bernas yang muncul dari tokoh-tokoh bangsa sekelas Bung
Karno, Bung Hatta, Soepomo,
Radjiman Widio Diningrat, St.Sjahrir,
Moh. Yamin, Natsir, dan lain lainnya ketika sidang BPUPKI, PPKI sebelum hari
Kemerdekaan dan rapat Panitia Sembilan 18 Agustus 1945.
Saya kebetulan mempunyai naskah yang cukup
lengkap, dan 3 jilid buku dengan judul Naskah
Persiapan Undang Undang Dasar 1945, yang pernah saya baca 40 tahun lalu
itu, kembali saya ulang membaca dan memahaminya.
Tak berhenti sampai di situ, reaksi yang muncul
atas ucapan Mbak Puan, beberapa hari lalu itu., memunculkan pula keingintahuan
publik siapa sesungguhnya sosok mbak Puan, yang kini menjabat Ketua DPR RI itu
lebih dalam, sampai kepada ayahnya, ibunya, bahkan kakek neneknya dari pihak
ayah dan dari pihak ibu.
Uni Puan
Bila benar narasi yang saya baca, bahwa dalam
perspektif matrilineal
yang dianut masyarakat Minangkabau, sesungguhnya ibunya adalah anak dari
seorang wanita yang bernama Fatmawati yang dilahirkan dari rahim seorang wanita asal nagari
Indropuro Kabupaten
Pesisir Selatan Sumatera Barat
yang bernama Siti Chadijah dan ayahnya bernama Hasan Din, seorang tokoh Muhamadiyah yang
merantau ke Bengkulu, maka, Puan sangat berhak untuk dikatakan sebagai orang Minang. Bertali
darah dan bertali adat. Terlepas mbak Puan mau mengakui atau tidak.
Dari garis keturunan ayah/patrilineal, mbak
Puan adalah anak dari Taufik Kiemas Datuak Batuah, yang ibunya berasal dari
nagari Sabu Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Dengan demikian, secara sah dan
meyakinkan, sesungguhnya Mbak Puan adalah wanita Minang, seorang Bundo Kanduang
dan bisa bergabung dalam berbagai organisasi Minang seperti Gebu Minang, BK3S,
Bundo Kanduang, Minang Saiyo, Indo Jalito dan banyak organiasi Minang lainnya, jika beliau mau.
Maka panggilan Mbak di depan nama Puan itu,
bisa kita geser sedikit dengan sebutan Uni. Mana kita tahu rahasia Allah, kelak entah
kapanlah, tiba-tiba Uni Puan, begitu dekatnya jiwanya dengan Minang, setelah peristiwa
ini. Lalu beliau menjadi ketua salah satu paguyuban Minangkabau. Aktif di situ, sering pulang kampung, paham seluk beluk adat dan budaya minang,
lalu beliau seperti limpaleh rumah nan gadang, umbun puruik ceti bunian, yang bajalan siganjua lalai, pado pai suruik nan
labiah, alu tataruang patah tigo, samuik dipijak indak mati. Beliau juga di
hormati dalam kaumnya sebagai seorang Bundo Kanduang.
Jadi, jika kita marah, maka marah sajalah
sekedarnya kepada uni puan, jika kita sayang, maka sayangilah jangan
berlebihan. Allah tak suka sesuatu yang berlebih-lebihan. Dan jika Allah mau mengubah keadaan, tak
seorangpun manusia bisa menghalangi. Bila Allah berkehendak, juga tak
seorangpun dapat menghambatnya.
Kita amat tak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Bisa
saja apa yang terjadi di hari ini, adalah awal dari skenario Allah, agar uni
Puan kemudian merasa badunsanak dengan orang Minang, bahkan lebih Minang dari Minang. Pada saat itu, namanya
akan disebut-sebut
orang banyak, dirindukan oleh sanak, urang kampuang dan sahabatnya. Bilo Uni Puan pulang Kampuang? Kami lah
rindu.
Lalu uni Puan menikmati hidup dalam suasana
sosial budaya Minang, berhijab, bertadarus dengan teman-teman, ikut bergotong-royong, bertadarus di bulan Ramadhan dan aktif ikut
pengajian bersama-sama sahabat beliau se kampung.
Bila melihat perjalanan hidup manusia, banyak
hal yang kadang tak terduga. Berapa banyak diantara musuh-musuh Rasulullah dan yang sangat membenci beliau, dikemudian hari
menjadi sahabat beliau yang setia. Dalam kehidupan politik juga demikian,
bahkan tak jarang kelompok oposisi kemudian menjadi pendukung setia, bukan
hanya di negeri ini, tapi juga diberbagai belahan dunia.
Dalam kisah romatis, dua orang anak manusia
laki laki dan perempuan yang saling membenci, kemudian saling menyayangi sampai
berlabuh di pelaminan, seringkali kita temukan dalam kehidupan nyata. Itulah
yang menurut bung Hasril Chaniago, berawal dari basilang kayu dalam tungku, kelak melahirkan harmoni.
Dalam persoalan Uni Puan, hal itu bukanlah
sesuatu yang mustahil terjadi. Manusia bisa berubah kapan saja. peristiwa
seringkali membawa hikmah. Meskipun mungkin selama ini seperti dikatakan Sutan
Sjahrir,
seorang tokoh pendiri Republik Indonesia asal Minang juga, bahwa orang Minang punya sifat kosmopolitan yang mungkin juga berlaku bagi uni
Puan, tapi suatu saat beliau bisa saja merasa memerlukan identitas ke daerahan.
Bukankah makin mengglobal kehidupan manusia, maka mereka semakin memerlukan kampung halaman.
Kalau itu terjadi, maka mungkin ibu Mega tak
perlu lagi bertanya: “Kenapa rakyat Sumbar belum menerma PDI-P?” Saya teringat Al Qura'an surat Al An'Am
ayat 32 yang artinya: “Dan tiadalah kehiduoan dunia ini, selain main-main dan senda gurau belaka, dst....
Salam buat Uni Puan.