Oleh : Ruslan Ismail Mage *)
Konsistensi menyampaikan gagasan baru, ide-ide cemerlang, semangat menyala, adalah ciri khas para pemikir besar bangsa keturunan Minang. Hal itu pula yang coba dilakukan dalam buku ini. Berikhtiar terus menggali data merangkum fakta, terus bersilaturahmi menemui tokoh dan ilmuwan Minang berdiskusi atau meminta nasehat. Semua itu dalam rangka mendapatkan informasi langsung memperkuat ikhtiar penulisan memperkenalkan konsep baru, temuan baru, analisis berbeda, untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan lewat karya literasi.
Jumat 18 Juli 2025, suatu kesyukuran tanpa batas, keharuan tak berujung, bisa menghadiri seminar bertema, “Tantangan Nilai dan Identitas Minangkabau Masa Kini” di Auditorium Al-Quddus Universitas Yarsi Jakarta. Seminar ini sangat meriah dengan menghadirkan pembicara utama Tan Sri Dato’ Seri Utama Dr. Rais Yatim, seorang tokoh besar Minang yang berkiprah di Malaysia tanpa sedikitpun kehilangan identitasnya sebagai orang Minangkabau.
Ya Allah ya Rabb, “Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fatihah ayat 6). Alhamdulillah, Allah menuntun bertemu orang-orang besar dan beberapa ilmuwan dalam seminar itu. Sebelum acara dimulai bertemu dan berdiskusi dengan salah seorang ilmuwan Minangkabau Prof. Dr. H. Musril Zahari, M.Pd. Perbincangan santai dan singkat dengannya berhasil menemukan jawaban dahsyat dari pertanyaan yang belum sepenuhnya terjawab, “Kenapa bumi Minangkabau bisa melahirkan pemikir besar bangsa, ulama besar kharismatik, ilmuwan mendunia, sumber penulis fenomenal, dan menjadi pemain kunci ekonomi rakyat?”
Penulis buku, “Surau Dangau Lapau dan Peradaban” ini menjawab pertanyaan itu dengan hanya empat suka kata, “Jangan menjadi yang keempat”. Ternyata ini berkaitan dengan pola pengasuhan di Rumah Gadang khususnya di Bumi Minangkabau pada umumnya. Subhanallah, sebuah jawaban yang dahsyat sedahsyat halilintar, tajam setajam silet, dalam sedalam samudra, meyakinkan seyakin matahari terbit esok hari.
Dengan mengutip salah satu hadits Rasulullah Saw, Prof. Musril mengatakan, pola pengasuhan di masyarakat Minangkabau tidak boleh lepas dari falsafah, “Adat bersendi Syara’, Syara’ bersendi Kitabullah”. Maksudnya pola pengasuhan itu berdasarkan adat dan agama. Menurutnya, pada masyarakat Minangkabau ada nasehat bijaksana bernuansa tegas kepada anak-anak, “Jangan menjadi orang keempat” kalau ingin sukses. Bisa jadi nasehat ini dari dulu sudah menjadi doktrin untuk dilaksanakan oleh anak-anak nagari.
Buku ini tidak menyebutnya sebatas nasehat tetapi sudah menjadi doktrin yang merasuk dalam jiwa. Maksud nasehat yang menjelma menjadi doktrin dalam pengasuhan itu adalah, “Jadilah orang pertama yang mengajar, orang kedua yang belajar, atau orang ketiga yang mendengar. Jangan menjadi orang keempat yang tidak mengajar, tidak belajar, dan tidak mendengar, alias bodoh tidak punya pengetahuan”.
Berikut penjabarannya.
Elemen pertama, mengajar. Kegiatan ini membutuhkan setumpuk ilmu pengetahuan tak berbatas, perbendaharaan literasi tak bertepi, kualitas komunikasi mumpuni, kematangan intelektual kuat, konsep pemikiran terukur. Pengajar adalah pendidik, dan sifat seorang pendidik adalah penguasaan materi, kesabaran, empati, profesionalisme, semangat, dan diteladani. Mengajarkan kebaikan. Perintah Rasulullah Saw sebagaimana sabdanya, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”. (HR. Bukhari).
Elemen kedua, belajar. Suatu bentuk ikhtiar atau usaha sungguh-sungguh untuk menuntut ilmu pengetahuan dalam pengembangan potensi diri. Proses berkesinambungan dalam meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman. Dilakukan di institusi pendidikan formal seperti sekolah, dan informal seperti pengalaman hidup. Bahkan falsafah “Alam Takambang Jadi Guru” menginspirasi lahirnya konsep pembelajaran sepanjang hayat, yang kemudian melahirkan manusia pembelajar. Manusia yang tidak pernah berhenti belajar dalam menabung ilmu pengetahuan. Belajar itu mulia, sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga”. (HR. Muslim).
Elemen ketiga, menjadi pendengar adalah kunci. Karena elemen pertama mengajar dan elemen kedua belajar, tidak akan berhasil kalau tidak ada elemen ketiga mendengar. Dalam buku “21 Hukum Kesuksesan Sejati” karya Ruslan Ismail Mage dijelaskan, “Tidak ada pemimpin kuat bertahan tanpa memiliki kecerdasan mendengar jeritan rakyatnya, tidak ada pengusaha berkembang tanpa kecerdasan mendengar keluhan konsumennya, tidak ada orator hebat tanpa kecerdasan mendengar, tidak ada ilmuwan besar tanpa kecerdasan mendengar”.
Itulah sebabnya dalam agama Islam, pancaindra yang paling duluan berfungsi adalah telinga, baru indra perasaan, dan mata. Hal ini dipertegas lagi secara ilmu medis bahwa pendengaran lebih duluan berfungsi. Memiliki kecerdasan mendengar tidak sesederhana yang dibayangkan, karena harus memiliki kematangan jiwa dan kerendahan hati. Orang yang malas mendengar dipastikan tinggi hatinya, dan biasanya mau menang sendiri.
Elemen keempat, tidak mengajar, tidak belajar, tidak mendengar. Inilah karakter manusia kurang berpengetahuan, kurang berilmu, tidak punya kompetensi, tidak punya kemampuan, kurang memiliki daya saing, sombong, angkuh, cuek, miskin kepekaan, tidak empati, dan abai dengan lingkungan sosialnya. Elemen keempat ini nampaknya ditakdirkan menjadi penonton dan tukang tepuk tangan atas kemenangan orang lain.
Bisa jadi nasehat atau doktrin, “Jangan Jadi yang Keempat” inilah yang sudah meresap dalam jiwa Bung Hatta, Sutan Syahrir, Mohammad Natsir, Mohammad Yamin, Agus Salim, Tan Malaka, Buya Hamka, Rohana Kudus, Rasuna Said, dan deretan tokoh nasional lain, hingga menjelma menjadi tokoh besar bangsa. (***)
*) Akademisi, dan penulis buku-buku motivasi, politik, kepemimpinan, dan demokrasi.
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News Khazminang.id. Klik tanda bintang untuk mengikuti.