“Pemerintah terkesan menjalankan angka-angka, bukan rasa. Semua serba efisien, kecuali empati. Semua serba tertib, kecuali keadilan”.
Goresan: PAULHENDRI
PADANG Panjang, kota kecil berhawa sejuk yang berada di jantung Sumatera Barat, kini tengah diselimuti awan duka. Suasana yang dulunya damai dan tentram berubah menjadi hujan air mata dan keluh kesah rakyat yang terdengar dari lorong pasar hingga ruang-ruang sekolah dan puskesmas. Ini bukan soal cuaca atau bencana, tapi soal arah kepemimpinan dan wakil rakyat yang dinilai kian jauh dari denyut nadi rakyat.
Di masa kampanye, masyarakat disuguhi janji-janji yang menggugah hatii, lapangan kerja akan dibuka luas, kemiskinan akan ditekan, dan ekonomi rakyat kecil akan diperkuat. Tapi kini, realitas berbicara lain. Bukannya membuka peluang kerja, pemerintah kota justru merumahkan 190 lagi tenaga PPPK formasi R4. Yang mana sebelum nya juga telah merumahkan THL 236 orang. Mereka yang sudah mengabdi dan berharap penuh pada SK yang mereka terima kini terpaksa kembali menganggur. Tak hanya kehilangan pekerjaan, mereka juga kehilangan kepercayaan.
TPP guru dan tenaga kesehatan dihapuskan. Padahal mereka adalah garda terdepan dalam membangun kualitas manusia dan pelayanan dasar. Guru tetap mendidik anak bangsa, dan nakes tetap merawat pasien, namun penghargaan dari pemerintah malah dikurangi. Semangat mereka diuji di tengah ketidakpastian ekonomi. Belum cukup, TPP seluruh ASN pun ikut dipotong.
Lucunya, saat rakyat diminta berhemat, belanja perjalanan dinas (SPPD) Eksekutif dan Legislatif justru tetap membengkak. Apa yang dicari dari luar kota jika urusan dalam rumah sendiri belum selesai? Apakah ājalan-jalan pejabatā lebih penting dari dapur rakyat yang tak lagi mengepul?
Tak kalah memprihatinkan adalah penyegelan kios-kios di Pasar Padang Panjang. Ibu-ibu yang tidur di emperan, pedagang kecil yang menggantungkan hidup dari satu-dua pembeli harian, kini dihadapkan pada segel dan ancaman relokasi tanpa solusi jelas. Pendekatan represif seperti ini bukan hanya mematikan ekonomi, tapi juga merendahkan martabat rakyat kecil yang selama ini justru menjadi penopang hidup kota ini.
Dan ketika rakyat berharap wakilnya di DPRD bersuara, yang terjadi justru sebaliknya: diam, bungkam, atau hanya bicara dalam sidang paripurna. Mereka yang katanya “wakil rakyat”, nyatanya tak menggambarkan wajah rakyat. Bahkan dalam sidang, hanya janji yang diucap, tanpa tindakan nyata. Di mana fungsi kontrol? Di mana empati? Bukankah mereka juga ikut berjanji saat dilantik? Kini masyarakat seolah lepas dari mulut buaya, masuk ke mulut harimau.
Masyarakat Padang Panjang makin kecewa, dan mereka punya hak untuk itu. Mereka tidak menuntut yang muluk-muluk. Mereka hanya ingin pemimpin dan wakilnya konsisten, adil, dan berpihak. Jika janji kampanye adalah kontrak politik, maka pengkhianatan terhadap janji itu adalah penipuan moral.
Rakyat bertanya, di mana lapangan kerja yang dijanjikan jika justru ratusan orang diberhentikan? Bagaimana kemiskinan mau diberantas jika penghasilan rakyat dipotong dan sumber nafkah mereka disegel?
Padang Panjang kini bukan hanya kota yang dingin secara cuaca, tetapi juga terasa dingin secara kebijakan. Pemerintah terkesan menjalankan angka-angka, bukan rasa. Semua serba efisien, kecuali empati. Semua serba tertib, kecuali keadilan.
Sebagai warga, saya tidak menulis ini karena benci, tetapi karena cinta. Karena tak ingin kota ini kehilangan arah. Karena tak ingin pemimpin lupa dari mana asalnya dan untuk siapa ia bekerja. Kota ini dibangun bukan dari laporan keuangan dan spanduk seremonial, tapi dari keringat rakyat kecil yang tiap hari berjuang agar keluarganya bisa makan dan sekolah.
Sudah saatnya para pemimpin dan wakil rakyat membuka mata. Rakyat bukan sekadar angka statistik atau obyek kampanye. Rakyat punya hati, punya hak, dan punya suara. Jika mereka menangis hari ini, itu bukan karena lemah. Tapi karena mereka dikhianati oleh mereka yang pernah mereka pilih dengan harapan besar.
Padang Panjang butuh arah baru,bukan arah yang baru dipilih, tapi yang benar-benar berpihak. Bukan sekadar perubahan wajah, tapi perubahan sikap. Dan sebelum semuanya terlambat, dengarlah suara rakyat. Karena jika mereka sudah berhenti berharap, maka tidak ada lagi yang tersisa dari demokrasi.
Satu pertanyaanpun bergejolak; kenapa keputusan ini keluar saat para pemimpin di daerah ini tak ada di Padang Panjang? Bukankah mereka semua tengah berada di Jakarta mengikuti acara pertemuan kegiatan Forkopimda? Selain Forkopimda, juga ada belasan OPD lainnya yang ikut ke Jakarta. **
(Penulis Wartawan khazminang.id, masyarakat dan pemerhati sosial Padang Panjang)
Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News Khazminang.id. Klik tanda bintang untuk mengikuti.