Scroll untuk baca artikel
Banner Harian Khazanah
HukumHeadlineKomunitasOpiniPilihan Redaksi

Antara Bangsa Pemaaf dan Kebodohan Berperasaan!

×

Antara Bangsa Pemaaf dan Kebodohan Berperasaan!

Sebarkan artikel ini

Fadli Pangestu*

Beberapa waktu lalu, kita kembali menyaksikan ironi kekerasan terhadap jurnalis. Seorang wartawan di Semarang mengalami pemukulan oleh aparat kepolisian yang tengah mengawal Kapolri.

Iklan
Scroll Untuk Baca Artikel

Peristiwa ini mengingatkan kita pada serangkaian insiden serupa yang menimpa para pencari berita dalam menjalankan tugasnya.

Jika kita menoleh ke belakang, ada preseden yang memberikan sedikit harapan.

Kasus kekerasan terhadap wartawan di Riau pada tahun 2012, yang bahkan terekam dalam bidikan kamera wartawan, berujung pada penegakan hukum. Seorang perwira menengah  TNI AU dengan pangkat Letkol, bernama Robert Simanjuntak  menerima vonis pidana tiga bulan dan penundaan kenaikan pangkat.

Meskipun sebagian menilai hukuman tersebut ringan, setidaknya proses hukum berjalan dan institusi TNI AU menunjukkan “goodwill” untuk menindak anggotanya yang bersalah.

Sayangnya, tidak semua kasus kekerasan terhadap wartawan berujung pada keadilan yang diharapkan korban. Terbaru adalah bagaimana kasus di Semarang itu, atau insiden mencekik wartawan oleh ajudan Menteri Perhubungan di Batam pada tahun 2021, berakhir dengan permintaan maaf.

Baca Juga:  Twitter Memiliki Saingan baru yaitu sebuah Platform yang dibuat oleh Meta

Dalam situasi semacam ini, seringkali subjektivitas mengambil alih. Meskipun visum et repertum jelas menunjukkan adanya memar akibat tindakan fisik, proses hukum lanjutan kerap kali tidak sesuai harapan korban.

Lebih lanjut, seringkali terjadi disparitas pandangan antara media tempat jurnalis bekerja, organisasi pers, dan korban itu sendiri dalam menyikapi kasus kekerasan. Akibatnya, momen “lebaran dini” berupa maaf-memaafan menjadi jalan pintas yang dipilih.

Padahal, hukum pidana Indonesia mengenal konsep restitusi, yang didefinisikan sebagai ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban secara jelas mengatur hal ini.

Melihat konteks kekerasan terhadap wartawan, mekanisme restitusi ini terasa sangat relevan. Bayangkan, selain jabat tangan dan cipika-cipiki yang sering menjadi penutup kasus, korban yang dicekik, ditoyor, disikut, atau mengalami kekerasan lainnya hanya mendapat sorotan lampu kamera semata. Seharusnya juga disertai dengan ganti kerugian yang signifikan. Putusan restitusi ini perlu diumumkan secara terbuka agar menjadi pesan tegas bagi calon pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

Baca Juga:  Ketua DPRD Sumbar Muhidi: Keamanan Adalah Tiang Utama Pembangunan

Di Amerika Serikat, sistem serupa dikenal dengan istilah yang sama: restitusi, yang memiliki kekuatan hukum tetap sebagai bagian dari hukuman pidana.

Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: bagaimana mungkin restitusi dapat diberikan jika proses hukum itu sendiri tidak berjalan sebagaimana mestinya? Tanpa proses hukum yang jelas, kompensasi yang diberikan hanyalah “uang damai” yang nilainya subjektif, bergantung pada keikhlasan, kemampuan pelaku, bisikan sana-sini, dan seringkali berakhir menjadi sekadar “uang rokok” yang sungguh miris.

Tentu saja, implementasi restitusi ini hanya akan efektif jika semua pihak terkait memiliki pandangan yang sama. Pandangan yang seharusnya lebih berorientasi pada penderitaan korban dan keluarganya, bukan sekadar pada kepentingan “pertemanan” atau relasi elite yang muaranya seringkali kabur.

Lantas, muncul pertanyaan menggelitik: apakah karena 350 tahun (atau 3,5 abad) penjajahan Belanda, kita mewarisi mentalitas pemaaf yang berlebihan dan cenderung meremehkan dampak kekerasan? Ke mana perginya perasaan nenek moyang kita selama 3.066.000 jam menyaksikan keganasan penjajah?

Sudah saatnya kita menyadari bahwa ada hal-hal bodoh yang harus segera kita tinggalkan. Sikap mudah memaafkan tanpa konsekuensi yang jelas terhadap pelaku kekerasan, terutama terhadap mereka yang menjalankan fungsi penting dalam demokrasi seperti jurnalis, adalah salah satu kebodohan yang terus berulang.

Baca Juga:  PKM PGSD FIP UNP: Guru SD di Kota Pariaman Diberikan Pelatihan Pengembangan Pembelajaran Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi

Kita perlu menumbuhkan kesadaran bahwa kekerasan bukanlah hal yang bisa diselesaikan hanya dengan permintaan maaf, melainkan harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk dengan mekanisme restitusi yang berkeadilan bagi korban.

Tabik!!

*Penulis adalah wartawan dan pemerhati masalah sosial

Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News Khazminang.id. Klik tanda bintang untuk mengikuti.



Berita

Padang, Khazanah  –  Gubernur Sumbar H. Mahyeldi, SP memberikan apresiasi atas peluncuran buku biografi H. Zainal Bakar, SH., karena terjadi…