Scroll untuk baca artikel
Banner Harian Khazanah
Opini

Beri Aku 10 Nelayan

×

Beri Aku 10 Nelayan

Sebarkan artikel ini

Oleh : Ruslan Ismail Mage*)

Banyak kejutan dan pembelajaran mengikuti sosoknya. Ciri khas tampilannya berkalung sarung laksana tali garis khatulistiwa yang mengikat menyatukan Nusantara. Setiap kehadirannya laksana matahari yang menyinari bara perjuangan di hati rakyat. Sosoknya dirindukan keadilan, napasnya menghembuskan kebenaran, narasinya bagaikan jarum benang sutra untuk menjahit baju nasionalisme yang sudah terkoyak-koyak satu dasawarsa terakhir.

Iklan
Scroll Untuk Baca Artikel

Dalam gelap masa depan bangsa yang sudah terkooptasi oligarki, ia datang sendiri membawa pesan, “Bangsa Indonesia memang negara kepulauan, tetapi luasnya laut menyatukan kita, bukan memisahkan kita”. Pesan batin ini menusuk kesadaran, sudah lebih setengah abad bumi Nusantara menyatukan kita. Di buni inilah kita lahir, hidup, bertumbuh dan mati di pangkuan Ibu Pertiwi. Saatnya rakyat berhenti memupuk ketakutannya kepada centeng-centeng rupiah yang sudah mati nasionalismenya.

Mencermati keberaniannya, memaknai kecerdasannya, dan merasakan semangat juangnya, saya kemudian tertarik berdialog dan bertanya secara imajiner kepada Bung Karno. Bagiku ia bagaikan Sukarno kecil yang lahir di detik-detik terakhir menjelang semua pengambil kebijakan negeri ini takluk tak berdaya melawan oligarki. Terlalu sadis kalau penguasa tertinggi negeri ini berselingkuh dengan penjajah gaya baru hingga melahirkan anak-anak haram bernama buzzer bayaran.

Baca Juga:  Jangan Jadi yang Keempat

Berikut dialog imajiner dengan Bung Karno.

“Wahai Bung Karno, seandainya masih hidup, apa yang dilakukan sekarang jika melihat situasi negeri yang diproklamirkannya mengalami penjajahan oligarki? Bung Karno diam sejenak sambil mengepalkan tangan, lalu berteriak lantang, aku tidak meminta 10 pemuda lagi untuk melawan kompeni penjajah, tetapi beri aku 10 nelayan seperti Kholid, maka aku akan mengusir penjajah gaya baru bernama oligarki”.

Saya tidak kaget dengan jawaban Bung Karno itu. Sulit dipungkiri pasca reformasi perlahan gerakan pemuda yang diwakili mahasiswa Indonesia cenderung redup. Lebel sebagai agen perubahan yang melekat pada diri mahasiswa mengalami degradasi. Inilah kondisi paling memprihatinkan suatu bangsa ketika nasionalisme kaum muda mulai roboh. Jadi dalam konteks kekinian, wajar saja kalau Bung Karno memilih nelayan untuk berjuang menyelamatkan bangsanya dari cengkraman oligarki.

Untung Tuhan mengirim seorang nelayan bernama Kholid melalui pagar laut yang membentang kurang lebih 30 km di laut Tangerang. Kedatangannya mewakili keberanian aktivis, mewakili kecerdasan mahasiswa, mewakili pengetahuan kaum terdidik, mewakili intelektualisme kampus, mewakili narasi orator kaum pergerakan, dan yang terpenting mewakili suara rakyat yang terpinggirkan oleh sistem ekonomi kapitalis. Jadi benar, beri aku 10 nelayan seperti Kholid untuk melakukan totalitas perlawanan terhadap ketidakadilan di negeri ini.

Baca Juga:  Saluang Dendang, Seni Pertunjukan Tradisional Minangkabau Yang Hampir Dilupakan oleh Gen-Z

*)Akademisi, penulis buku-buku politik, demokrasi, dan kepemimpinan.

Dapatkan update berita lebih cepat dengan mengikuti Google News Khazminang.id. Klik tanda bintang untuk mengikuti.