Walikota Riza Falepi |
Payakumbuh,
Khazminang.id – Penyelesaian
tapal batas, pembagian aset dan berbagai persoalan yang menyangkut pemisahan
Kabupaten Limapuluh Kota dengan Kota Payakumbuh masih banyak yang perlu
didudukkan lagi.
“Ini lantaran saat
pembentukan Kota (d/h Kotamadya) Payakumbuh pada tahun 1956 UU nya (UU No
8/1956) masih samgat sederhana. Tentu waktu itu banyak persoalan yang mendasar,
tapi banyak kendala antara lain muncul peristiwa PRRI dan G 30 S, hingga UU nya
sendiri baru direalisasikan pada tahun 1970,” kata Walikota Riza Falepi kepada
wartawan di Payakumbuh, Kamis siang (22/4)
Ia mengatakan hal itu
menanggapi inisiatif DPRD Payakumbuh yang sudah membentuk Pansus Aset untuk
mendudukan aset-aset non-Kota yang berada di Kota Payakumbuh.
Namun Walikota
Payakumbuh ini berpandangan lain soal aset tersebut. Bahkan Riza, menilai DPRD Payakumbuh terlalu terburu-buru membuat pansus aset, seharusnya terlebih dahulu dikaji
secara mendalam dan membaca undang-undang pembentukan kota ini.
"Ketika saya baca undang undang yang lama,
undang-undangnya sederhana karena tidak menyatakan dimana ibu kota Payakumbuh,
tidak menyatakan bagaimana status aset (harta gono gini) secara eksplisit,
batas wilayah, dan beberapa ketetapan mandatori," kata Riza.
Twentu saja berbeda
dengan sejumlah UU Pemekaran daerah yang dilahirkan di era reformasi ini, sudah
cukup detail dan dilengkapi dengan Pereaturan Pemerintah yang mengatur
bagaimana menjalankan UU tersebut.
Menurutnya, kelemahan undang-undang
pembentukan Kota Payakumbuh ini harus dicarikan jalan keluarnya, pada akhirnya
penyelesaian harus dilakukan secara kesepakatan mufakat yang diharapkan
meminimalisir pertikaian dan perselisihan. Sedangkan kalau aturan hukum
(undang-undang-Red) itu yang menjadi pedoman, tidak akan ada titik temu.
Apa yang disebutkan
oleh Riza Falepi ada benarnya, karena UU No 8 tahun 1956 itu memang tidak
mengatur rinci, padahal untuk kota lain dalam UU itu disebutkan dasar
batas-batasnya.
Seperti diketahui, UU
No 8 tahun 1956 adalah UU tentang pembentukan beberapa Kota Kecil dalam daerah
Provinsi Sumatera Tengah. Antara lain pembentukan Kota Kecil Pekanbaru,Kota
Kecil Sawahlunto, Kota Kecil Padang Panjang, Kota Kecil Solok dan Kota Kecil
Payakumbuh,
Pada Pasal 1 UU itu dijelaskan
batas-batas Kota kecil, tapi hanya untuk Pekanbaru, Sawahlunto dan Padang
Panjang saja. Sedangan untuk Solok dan Payakumbuh belum ada, karena disebut
akan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.
Bunyi pasal 1 UU
tersebut: “Daerah-daerah yang tersebut di
bawah ini sub a s/d e masing-masing dibentuk sebagai Kota Kecil dengan nama dan
watas-watas seperti berikut: a. Pakan Baru, dengan nama Kota Kecil Pakan Baru,
dengan watas-watas sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Komisaris Negara
Urusan Dalam Negeri tanggal 28 November 1947 No. 13/DP; b. Sawah Lunto, dengan
nama Kota Kecil Sawah Lunto, dengan watas-watas sebagaimana ditetapkan dengan
beslit-beslit Gubernur - Jenderal Hindia - Belanda tanggal 1 Desember 1888 No.
1 (Staatsblad 1888 No. 181) dan tanggal 25 Oktober 1929 No. 31 (Staatsblad 1929
No. 400); c. Padang Panjang, dengan nama Kota Kecil Padang Panjang dengan
watas-watas sebagaimana ditetapkan dengan beslit Gubernur - Jenderal Hindia
Belanda tanggal 1 Desember 1898 No. 1 (Staatsblad 1888 No. 181) termasuk
wilayah Negeri Gunung dan Bukitsurungan; d. Solok, dengan nama Kota Kecil
Solok, dengan watas-watas yang akan ditetapkan dengan Peraturan Menteri; e.
Payakumbuh, dengan nama Kota Kecil Payakumbuh, dengan watas-watas yang akan
ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Menurut Riza Falepi, dampak dari kelemahan undang-undang ini menimbulkan perselisihan saat
itu. Berkemungkinan karena terlalu simpel dan tidak relevan lagi dengan sistem
pemekaran daerah di zaman reformasi, pemangku kebijakan pasca reformasi belajar
dari pengalaman yang ada. Karena undang-undang pemekaran daerah itu unik, tidak
bisa disamakan pemekaran daerah satu dengan yang lain, akhirnya pasal dalam bab
undang-undang itu dibuat lebih detail," kata Riza.
Riza berharap substansi Pansus DPRD harusnya mengarah ke sana, jangan hanya merujuk
kepada aset saja, karena itu baru salah satu persoalan akibat dari simpelnya
undang-undang lahirnya Kota Payakumbuh.
"Contohnya saja tidak ada kesepakatan
penyelesaian antara Pemko Payakumbuh dan Pemkab Limapuluh Kota terkait batas wilayah, maka akhirnya penyelesaian diselesaikan di
tingkat Provinsi
dan Kementerian
Dalam Negeri. Mungkin juga bisa
jadi masalah aset ini sampai diurus juga oleh Kemendagri," kata dia.
Bagaimana kalau
Kemendagri yang turun tangan?
Menurut
Riza, bila Kemendagri
yang turun tangan memutuskan sendiri terhadap batas wilayah yang
diperselisihkan dua daerah dan aset, kurang baik karena hasilnya akan menyakitkan beberapa pihak.
"Cara terbaik menurut saya kemufakatan antarnagari yang
berbatasan di Kota dan Kabupaten, ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Diputuskan batas
adat, yang akan memunculkan batas nagari. Awalnya Payakumbuh dibentuk dengan 7 Kenagarian, sekarang
berkembang jadi 10 Nagari, sudah ada batas yang disepakati,” katanya.
Di DPRD Payakumbuh
kini memang sedang gencar dibicarakan soal ini, bahkan sudah dibentuk Pansus
Aset. Sabtu pekan lalu (17/4) sudah dilaksanakan Rapat Internal Pansus Aset tersebut.
Pansus yang
diketuai Yendri Bodra Dt. Parmato Alam dihadiri
oleh semua anggota pansus.
Kata DPRD Hamdi Agus pembentukan pansus aset ini
dimaksud untuk mendukung penyelesaian
aset mllik Kabupaten Limapuluh Kota yang berada di wilayah administrasi
Pemerintah Kota Payakumbuh.
“UU Nomor 8 tahun 1956
tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Kecil Dalam Lingkungan Daerah Provinsi
Sumatera Tengah, tidak ditegaskan tentang
pembagian aset,” ujar Hamdi Agus.
Ia lalu membanding
dengan UU Nomor 7 tahun 2001 tentang pembentukan Kota Lubuk Linggau dibunyikan
tata cara pembahasan aset.
“Sebaiknya kita menambah
referensi dari daerah lain yang sumber hukum pembentukan kotanya sama, yaitu UU
Nomor 8 tahun 1956,” terang Hamdi. (lily
yuniati)