×

Iklan


UU 8/1956 Terlalu Sederhana, Penyelesaian Aset di Payakumbuh Ruwet

22 April 2021 | 20:56:20 WIB Last Updated 2021-04-22T20:56:20+00:00
    Share
iklan
UU 8/1956 Terlalu Sederhana, Penyelesaian Aset di Payakumbuh Ruwet
Walikota Riza Falepi

Payakumbuh, Khazminang.id – Penyelesaian tapal batas, pembagian aset dan berbagai persoalan yang menyangkut pemisahan Kabupaten Limapuluh Kota dengan Kota Payakumbuh masih banyak yang perlu didudukkan lagi.

“Ini lantaran saat pembentukan Kota (d/h Kotamadya) Payakumbuh pada tahun 1956 UU nya (UU No 8/1956) masih samgat sederhana. Tentu waktu itu banyak persoalan yang mendasar, tapi banyak kendala antara lain muncul peristiwa PRRI dan G 30 S, hingga UU nya sendiri baru direalisasikan pada tahun 1970,” kata Walikota Riza Falepi kepada wartawan di Payakumbuh, Kamis siang (22/4)

    Ia mengatakan hal itu menanggapi inisiatif DPRD Payakumbuh yang sudah membentuk Pansus Aset untuk mendudukan aset-aset non-Kota yang berada di Kota Payakumbuh.

    Namun Walikota Payakumbuh ini berpandangan lain soal aset tersebut. Bahkan Riza, menilai DPRD Payakumbuh terlalu terburu-buru membuat pansus aset, seharusnya terlebih dahulu dikaji secara mendalam dan membaca undang-undang pembentukan kota ini.

    "Ketika saya baca undang undang yang lama, undang-undangnya sederhana karena tidak menyatakan dimana ibu kota Payakumbuh, tidak menyatakan bagaimana status aset (harta gono gini) secara eksplisit, batas wilayah, dan beberapa ketetapan mandatori," kata Riza.

    Twentu saja berbeda dengan sejumlah UU Pemekaran daerah yang dilahirkan di era reformasi ini, sudah cukup detail dan dilengkapi dengan Pereaturan Pemerintah yang mengatur bagaimana menjalankan UU tersebut.

    Menurutnya, kelemahan undang-undang pembentukan Kota Payakumbuh ini harus dicarikan jalan keluarnya, pada akhirnya penyelesaian harus dilakukan secara kesepakatan mufakat yang diharapkan meminimalisir pertikaian dan perselisihan. Sedangkan kalau aturan hukum (undang-undang-Red) itu yang menjadi pedoman, tidak akan ada titik temu.

    Apa yang disebutkan oleh Riza Falepi ada benarnya, karena UU No 8 tahun 1956 itu memang tidak mengatur rinci, padahal untuk kota lain dalam UU itu disebutkan dasar batas-batasnya.

    Seperti diketahui, UU No 8 tahun 1956 adalah UU tentang pembentukan beberapa Kota Kecil dalam daerah Provinsi Sumatera Tengah. Antara lain pembentukan Kota Kecil Pekanbaru,Kota Kecil Sawahlunto, Kota Kecil Padang Panjang, Kota Kecil Solok dan Kota Kecil Payakumbuh,

    Pada Pasal 1 UU itu dijelaskan batas-batas Kota kecil, tapi hanya untuk Pekanbaru, Sawahlunto dan Padang Panjang saja. Sedangan untuk Solok dan Payakumbuh belum ada, karena disebut akan diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

    Bunyi pasal 1 UU tersebut: Daerah-daerah yang tersebut di bawah ini sub a s/d e masing-masing dibentuk sebagai Kota Kecil dengan nama dan watas-watas seperti berikut: a. Pakan Baru, dengan nama Kota Kecil Pakan Baru, dengan watas-watas sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Komisaris Negara Urusan Dalam Negeri tanggal 28 November 1947 No. 13/DP; b. Sawah Lunto, dengan nama Kota Kecil Sawah Lunto, dengan watas-watas sebagaimana ditetapkan dengan beslit-beslit Gubernur - Jenderal Hindia - Belanda tanggal 1 Desember 1888 No. 1 (Staatsblad 1888 No. 181) dan tanggal 25 Oktober 1929 No. 31 (Staatsblad 1929 No. 400); c. Padang Panjang, dengan nama Kota Kecil Padang Panjang dengan watas-watas sebagaimana ditetapkan dengan beslit Gubernur - Jenderal Hindia Belanda tanggal 1 Desember 1898 No. 1 (Staatsblad 1888 No. 181) termasuk wilayah Negeri Gunung dan Bukitsurungan; d. Solok, dengan nama Kota Kecil Solok, dengan watas-watas yang akan ditetapkan dengan Peraturan Menteri; e. Payakumbuh, dengan nama Kota Kecil Payakumbuh, dengan watas-watas yang akan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

    Menurut Riza Falepi, dampak dari kelemahan undang-undang ini menimbulkan perselisihan saat itu. Berkemungkinan karena terlalu simpel dan tidak relevan lagi dengan sistem pemekaran daerah di zaman reformasi, pemangku kebijakan pasca reformasi belajar dari pengalaman yang ada. Karena undang-undang pemekaran daerah itu unik, tidak bisa disamakan pemekaran daerah satu dengan yang lain, akhirnya pasal dalam bab undang-undang itu dibuat lebih detail," kata Riza.
    Riza berharap substansi Pansus DPRD harusnya mengarah ke sana, jangan hanya merujuk kepada aset saja, karena itu baru salah satu persoalan akibat dari simpelnya undang-undang lahirnya Kota Payakumbuh.

    "Contohnya saja tidak ada kesepakatan penyelesaian antara Pemko Payakumbuh dan Pemkab Limapuluh Kota terkait batas wilayah, maka akhirnya penyelesaian diselesaikan di tingkat Provinsi dan Kementerian Dalam Negeri. Mungkin juga bisa jadi masalah aset ini sampai diurus juga oleh Kemendagri," kata dia.

    Bagaimana kalau Kemendagri yang turun tangan?

    Menurut Riza, bila Kemendagri yang turun tangan memutuskan sendiri terhadap batas wilayah yang diperselisihkan dua daerah dan aset, kurang baik karena hasilnya akan menyakitkan beberapa pihak.

    "Cara terbaik menurut saya kemufakatan antarnagari yang berbatasan di Kota dan Kabupaten, ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Diputuskan batas adat, yang akan memunculkan batas nagari. Awalnya Payakumbuh dibentuk dengan 7 Kenagarian, sekarang berkembang jadi 10 Nagari, sudah ada batas yang disepakati,” katanya.

    Di DPRD Payakumbuh kini memang sedang gencar dibicarakan soal ini, bahkan sudah dibentuk Pansus Aset. Sabtu pekan lalu (17/4) sudah dilaksanakan Rapat Internal Pansus Aset tersebut.

    Pansus yang diketuai  Yendri Bodra Dt. Parmato Alam dihadiri oleh semua anggota pansus.

    Kata  DPRD Hamdi Agus pembentukan pansus aset ini dimaksud untuk mendukung  penyelesaian aset mllik Kabupaten Limapuluh Kota yang berada di wilayah administrasi Pemerintah Kota Payakumbuh.

    “UU Nomor 8 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Kecil Dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Tengah, tidak ditegaskan  tentang pembagian aset,” ujar Hamdi Agus.

    Ia lalu membanding dengan UU Nomor 7 tahun 2001 tentang pembentukan Kota Lubuk Linggau dibunyikan tata cara pembahasan aset.

    “Sebaiknya kita menambah referensi dari daerah lain yang sumber hukum pembentukan kotanya sama, yaitu UU Nomor 8 tahun 1956,” terang Hamdi. (lily yuniati)