×

Iklan

KLAIM PRODUK RAMAH LINGKUNGAN
Ternyata Sampah Indomie, AQUA dan Sprite Terbanyak di 6 Kota Besar

19 Februari 2024 | 14:00:53 WIB Last Updated 2024-02-19T14:00:53+00:00
    Share
iklan
Ternyata Sampah Indomie, AQUA dan Sprite Terbanyak di 6 Kota Besar

Jakarta, Khazanah – Hasil riset Net Zero Waste Management Consortium, konsorsium peduli sampah berbasis Jakarta, mengungkap jika sampah produk Indomie, Aqua, dan Sprite terbanyak di 6 kota. Hal tersebut menjadi kontradiksi di mana brand-brand tersebut selama ini mengklaim sebagai produk yang ramah lingkungan.

Riset tersebut dilakukan di berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Samarinda dan Bali.

Riset yang juga direkomendasikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dirilis 22 November 2023 tersebut menyebut sampah plastik produk konsumen di keenam kota ditemukan dalam volume yang besar di banyak tempat. Di antaranya bak/tong sampah, Tempat Pembuangan Sementara (TPS), truk sampah, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut/pantai dan banyak lagi.

    Secara total, riset sepanjang 2022 berhasil mengidentifikasi 1.930.495 buah sampah plastik, yang terbagi dalam 635 varian sampah produk konsumen dari berbagai merek. Pada daftar 10 besar brand yang sampahnya paling banyak ditemukan menyebutkan porsi terbesar (59.300 buah) ada pada serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa diidenfikasi.

    Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek (43.957 buah) dan di urutan ketiga sampah bungkus Indomie (37.548).

    Empat peringkat setelahnya adalah sampah plastik empat brand minuman populer, yakni Aqua kemasan gelas, botol Sprite, Club kemasan gelas dan VIT kemasan gelas serta botol Fanta.

    Bila ditotal, total sampah lima brand minuman tersebut hampir separuh dari total sampah brand yang masuk dalam daftar 10 besar.  

    "Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut,' kata Ahmad Syafrudin, lead researcher Net Zero.

    Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, lanjut Ahmad, faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar, mau itu gerobak pemulung, TPS, truk sampah, TPA, pinggir sungai dan sebagainya.

    “Temuan riset ini mengindikasikan program pengurangan sampah oleh pemilik brand belum efektif,” katanya.

    Dalam skema Extended Producer Responsibility atau EPR, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 75 Tahun 2019 mengatur perluasan tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir sampah produk.

    Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan 'Up Sizing' dimana produsen didorong untuk meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbunan sampah. Sampah botol produk minuman, seluruhnya menggunakan kemasan plastik Polietilena Terefatalat, sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka.

    Masalahnya, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema Circular Economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota.

    “Kami mendapati bank sampah di banyak kota belum efektif menyerap sampah dengan residual value tinggi sekalipun, karena sebagian besar masih bekerja ala kadarnya. Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan/badan-badan air bahkan dibakar (open burning),” katanya.

    Ahmad juga menilai ada ketidakjelasan terkait implementasi ERP dan CR menjadikan kalangan produsen leluasa mencitrakan dirinya sebagai korporasi yang ramah lingkungan, meski faktanya jauh dari itu.

    "Pemerintah perlu meningkatkan panduan dan bimbingan teknis pelaksanaan EPR dan CE agar program ini lebih efektif dan bahkan mampu mengatasi bias pada claim sepihak oleh yang memperoleh amanat (produsen) dengan modus pencitraan perusahaan semata," ujarnya. Secara keseluruhan, sampah kesepuluh brand makanan dan minuman tersebut mencapai 17% dari total sampah yang berhasil diidentifikasi dalam riset