Jakarta, Khazanah – Hasil riset Net Zero Waste
Management Consortium, konsorsium peduli sampah berbasis Jakarta, mengungkap
jika sampah produk Indomie, Aqua, dan Sprite terbanyak di 6 kota. Hal tersebut menjadi
kontradiksi di mana brand-brand tersebut selama ini mengklaim sebagai produk
yang ramah lingkungan.
Riset tersebut dilakukan di berbagai kota besar di
Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Samarinda dan Bali.
Riset yang juga direkomendasikan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dirilis 22 November 2023 tersebut
menyebut sampah plastik produk konsumen di keenam kota ditemukan dalam volume
yang besar di banyak tempat. Di antaranya bak/tong sampah, Tempat Pembuangan
Sementara (TPS), truk sampah, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), badan-badan air,
tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut/pantai dan banyak lagi.
Secara total, riset sepanjang 2022 berhasil
mengidentifikasi 1.930.495 buah sampah plastik, yang terbagi dalam 635 varian
sampah produk konsumen dari berbagai merek. Pada daftar 10 besar brand yang
sampahnya paling banyak ditemukan menyebutkan porsi terbesar (59.300 buah) ada
pada serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa diidenfikasi.
Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek (43.957
buah) dan di urutan ketiga sampah bungkus Indomie (37.548).
Empat peringkat setelahnya adalah sampah plastik empat
brand minuman populer, yakni Aqua kemasan gelas, botol Sprite, Club kemasan
gelas dan VIT kemasan gelas serta botol Fanta.
Bila ditotal, total sampah lima brand minuman tersebut
hampir separuh dari total sampah brand yang masuk dalam daftar 10
besar.
"Sampah kemasan produk konsumen
ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota
besar tersebut,' kata Ahmad Syafrudin, lead researcher Net Zero.
Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik
rumah tangga, lanjut Ahmad, faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik
produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar, mau itu
gerobak pemulung, TPS, truk sampah, TPA, pinggir sungai dan sebagainya.
“Temuan riset ini mengindikasikan program pengurangan
sampah oleh pemilik brand belum efektif,” katanya.
Dalam skema Extended Producer Responsibility atau EPR,
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 75 Tahun 2019 mengatur perluasan
tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya, terutama terkait
pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir sampah produk.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan 'Up Sizing' dimana produsen didorong untuk meninggalkan kemasan
ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk
mengurangi potensi timbunan sampah. Sampah botol produk minuman, seluruhnya
menggunakan kemasan plastik Polietilena Terefatalat, sebenarnya bernilai
ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan
terbuka.
Masalahnya, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi
tulang punggung dalam skema Circular Economy (CE) pengelolaan sampah, belum
berjalan efektif di semua kota.
“Kami mendapati bank sampah di banyak kota belum efektif
menyerap sampah dengan residual value tinggi sekalipun, karena sebagian besar
masih bekerja ala kadarnya. Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap
sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual
rendah dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan/badan-badan air bahkan dibakar (open
burning),” katanya.
Ahmad juga menilai ada ketidakjelasan terkait implementasi
ERP dan CR menjadikan kalangan produsen leluasa mencitrakan dirinya sebagai
korporasi yang ramah lingkungan, meski faktanya jauh dari itu.
"Pemerintah perlu meningkatkan panduan dan bimbingan
teknis pelaksanaan EPR dan CE agar program ini lebih efektif dan bahkan mampu
mengatasi bias pada claim sepihak oleh yang memperoleh amanat (produsen) dengan
modus pencitraan perusahaan semata," ujarnya.