Abdul Aziz |
Mahasiwa Program Doktoral Universitas Andalas Padang
Proses pilpres yang berakhir pada tanggal 30 Juni 2019 dengan terpilihnya pasangan calon presiden dan wakil presiden Ir. H. Joko Widodo dan Prof. Dr. (H.C) KH. Ma'ruf Amin merupakan akhir dari perhelatan demokrasi di Indonesia. Polarisasi yang mengakibatkan terbelahnya hati anak bangsa akibat proses demokrasi mulai kembali menyatu. Walaupun masih terjadi gonjang-ganjing disana-sini, merupakan hal yang wajar dimasa pemulihan.
Belumlah sembuh hati anak bangsa yang terkoyak akibat proses Pilpres, pada hari Senin, 2 Maret 2020, nama Indonesia masuk ke dalam negara yang terjangkit virus corona. Presiden Joko Widodo mengumumkan virus corona Wuhan menjangkiti dua warga Indonesia, tepatnya di kota Depok, Jawa Barat. Sudah barang tentu, kegundahan baru akibat wabah ini akan kembali menimbulkan kecemasan baru dihati anak bangsa. Hati yang tadinya mulai sembuh, kembali terluka akibat tingginya kecemasan setelah menyaksikan kematian akibat virus corona yang dikemudian disebut sebagai Pandemi COVID-19.
Sebagai penyakit baru, banyak yang belum diketahui tentang pandemi COVID-19. Terlebih manusia cenderung takut pada sesuatu yang belum diketahui dan lebih mudah menghubungkan rasa takut pada “kelompok yang berbeda/lain”. Inilah yang menyebabkan munculnya stigma sosial dan diskriminasi terhadap etnis tertentu dan juga orang yang dianggap mempunyai hubungan dengan virus ini.
Perasaan bingung, cemas, dan takut masuk kehati kita, orang-orang mulai berprasangka buruk pada penderita, perawat, keluarga, ataupun mereka yang tidak sakit tapi memiliki gejala yang mirip dengan COVID-19. Kepercayaan yang bersumber dari hati terhadap sesama kembali terkoyak akibat ketakutan yang berlebihan.
Kisruh saat Pandemi Covid-19 yang terjadi akibat kecurangan-kecurangan yang setiap waktu ditayangkan oleh media elektronik (siaran TV, youtube, postingan masyarakat) kembali mengoyak-ngoyak hati kita. Bahkan, ada pejabat negara yang bercuap “jika ada yang masih berani menyelewengkan dana bansos, akan dihukum mati”. Kenyataannya, malah pejabat yang tadi bercuap itu yang berkhianat. Situasi ini kembali mengoyak-ngoyak hati kita yang sudah dalam kondisi kronis.
Pada akhir tahun 2021 terjadi lagi tragedi kelangkaan minyak goreng di Indonesia. Sementara Indonesia merupakan produsen minyak sawit nomor satu di dunia sejak 2006.
Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbanyak di dunia. Pada 2021, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 44,5 juta ton dengan pertumbuhan rata-rata 3,61 persen per tahun.
GAPKI mencatat, bahwa konsumsi minyak sawit dalam negeri pada 2021 adalah sebesar 18,422 juta ton atau naik 6 persen dibanding konsumsi tahun 2020 sebesar 17,349 juta ton. Artinya, tidak mungkin terjadi kelangkaan minyak goreng di Indonesia jika kita lihat jumlah produksi yang sangat besar dibandingkan angka konsumsi yang hanya sepertiganya.
Kejanggalan baru, kembali membuat gusar hati masyarakat. Bak pepatah orang minang “Ayam dilumbuang mati kalaparan, ikan baranang mati ka hausan”. Aneh, janggal, tidak masuk akal, hanya itulah kata-kata yang menyeruak dihati masyarakat.
Kejadian demi kejadian, prahara demi prahara dan antara drama satu ke drama lainnya, semakin membuat hati kita teriris-iris. Andaikan jika ada yang menjual hati yang tahan terhadap irisan-irisan itu, barangkali semua orang akan berjubel untuk mengganti hatinya agar perasaan sakit dihati tidak merusak fikiran.
Disaat semua orang merasa sudah tidak punya hati lagi, muncul prahara baru yang terjadi di Sungai Aare, Bern, Swiss. Putra Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Emmeril Kahn Mumtadz atau Eril dikabarkan hilang terseret arus Sungai Aare pada Kamis, 26 Mei 2022. Menurut keterangan juru bicara keluarga Ridwan Kamil, Elpi Nazmuzaman, Eril yang piawai berenang dan bahkan memiliki sertifikat menyelam, hilang bersama desarnya arus sungai.
Pada awalnya, kejadian itu dianggap oleh banyak orang sebagai musibah biasa seperti halnya musibah-musibah serupa lainnya yang juga terjadi hampir tiap tahun di Sungai Aare. Bahkan, pada awalnya tidak semua TV Indonesia yang mengabarkan berita itu dan bahkan berita itu terkesan dingin.
Setelah sepekan waktu pencarian Eril, Ridwan Kamil dan sang istri Atalia Praratya harus kembali ke Indonesia. Kepada Eril yang belum ditemukan, Atalia Praratya mohon pamit. Dia menitipkan putranya tersebut dalam penjagaan Sang Khalik.
"Ril… mamah pulang dulu ke Indonesia, ya. Mamah titipkan kamu dalam penjagaan dan perlindungan terbaik dari pemilikmu yang sebenarnya, Allah swt, dimana pun kamu berada,” tulis Atalia Praratya. “Insya Allah kamu tidak akan kedinginan, kelaparan atau kekurangan apapun. Bahkan kamu akan mendapatkan limpahan kasih sayang, karunia dan kebahagiaan yang tak pernah putus,” kata Atalia sang Ibunda.
Tulisan Atalia ini mampu menggetarkan setiap hati setiap orang yang membaca dan mendengarnya. Pesan itu mampu membuat hati sesak dan air mata jatuh sejatuh-jatuhnya, dan bahkan ada orang yang tidak kuat untuk membaca dan mendengarnya. Benar-benar keluarga hebat.
Sejak saat itu, semua siaran TV Indonesia tak hentinya menyiarkan pemberitaan tentang Eril. Singkatnya, sampai jenazah Eril dimakamkan, kita melihat bahwa sebagian besar rakyat Indonesia turut berduka, bahkan Presiden dan Wakil Presiden pun ikut antusias dalam proses pencarian sampai kepada proses pemulangan jenazah Eril.
Mengapa ini bisa terjadi ? Eril bukan siapa-siapa. Tidak banyak orang yang mengenal Eril. Tapi mengapa empati bagaikan air bah muncul dimana-mana untuk Eril yang bukan siapa-siapa ?
Ternyata kita masih punya hati. Walaupun hati yang tadinya tercabik-cabik bisa sembuh seketika dengan sentukan kata-kata lembut yang keluar dari hati Atalia Pratya ibunda Eril. Hati akan kembali sehat dan bekerja dengan normal saat disentuh dan dibelai dengan kata-kata lembut penuh makna.
Sudah selayaknya dan sudah saatnya para pemimpin, pejabat negara dan semua rakyat Indonesia termasuk kita untuk kembali berkata lemah lembut. Lemah lembut adalah karakter dan budaya asli orang Indonesia sejak dulu kala untuk Kejayaan Indonesia.