×

Iklan


Tak Bisa Ditawar, Tahun Ini RUU PKS Harus Disahkan Jadi UU

07 April 2021 | 17:46:23 WIB Last Updated 2021-04-07T17:46:23+00:00
    Share
iklan
Tak Bisa Ditawar, Tahun Ini RUU PKS Harus Disahkan Jadi UU

Oleh: Devi Diany

Kekerasan seksual yang dialami kaum perempuan dan anak, nyaris terjadi setiap waktu. Tindakan brutal itu tak hanya dilakukan oleh orang yang tak dikenal, tetapi juga dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti ayah tiri, ayah kandung, kakak tiri, paman dan lainnya. Tak percaya? Baca saja pemberitaan di media online ataupun media cetak. Mungkin saja peristiwa itu terjadi di sebelah rumah kita.

Media tak pernah sepi dari berita-berita yang membuat hati pilu bak teriris sembilu. Mereka yang masih belia dan remaja, yang seharusnya tenggelam dalam gelak canda dan tawa bersama teman-temannya, harus kesakitan tanpa tahu harus bagaimana membela dirinya. Apalagi tindakan brutal tak berperikemanusiaan itu diberangi dengan ancaman agar sang bintang kecil tak mengadukan perbuatan bejatnya pada orang lain. 

    Salah satu tindakan brutal itu menimpa seorang gadis yang masih berusia 16 tahun di Kabupaten Padang Pariaman. Sang bunga diperkosa oleh ayah kandungnya sendiri hingga hamil 6 bulan. Entah setan apa yang bersarang dalam dada sang ayah yang tega merusak masa depan anak gadisnya sendiri (https://sumbar.inews.id/, 16 Juni 2020). Pelaku memang dihukum sesuai ketentuan yang diatur dalam KUH Pidana. Namun apakah ancaman hukuman yang termuat dalam KUH Pidana sudah sangat sepadan dengan perbuatan yang dilakukannaya? Bagaimana dengan korbannya yang menderita lahir bathin akaibat kekerasan yang dialaminya? Masih banyak kasus serupa yang terjadi di berbagai belahan negeri ini, bahkan peristiwanya lebih memilukan lagi.

    Geram, sedih dan rasa sakit menyatu saat mendengar kabar itu. Siapa yang bisa melindungi mereka? Dimanakah negara? Apakah mereka yang menjadi korban kekerasan seksual itu bukan warga negara yang berhak mendapat perlindungan? Payung hukum yang ada dirasa tak memadai untuk menjerat para pelaku kekerasan seksual ini. Aturan dalam KUH Pidana tidak cukup mengakomodir seluruh kasus kekerasan seksual, termasuk tidak cukup menindak pelaku dan melindungi korban. KUHP hanya menyebut  dua jenis kekerasan seksual, yaitu perkosaan dan pencabulan. KUHP juga tidak mengatur tentang unsur ancaman atau relasi kuasa (https://tirto.id/, 6 Desember 2020). Karena itu, tak mengherankan jika kasus kekerasan seksual terus meningkat. 

    Dalam kondisi seperti ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sangat dibutuhkan untuk segera disahkan menjadi UU. RUU PKS yang terdiri dari 15 Bab dan 152 pasal itu, lebih detail menjabarkan tindakan kekerasan seksual, dengan menguraikan secara jelas definisi sembilan kekerasan seksual.

    Menurut RUU PKS, Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan 2 dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.

    Sedangkan Penghapusan Kekerasan Seksual adalah segala upaya untuk mencegah terjadi Kekerasan Seksual, menangani, melindungi dan memulihkan Korban, menindak pelaku dan mengupayakan tidak terjadi keberulangan Kekerasan Seksual

    Selain itu, RUU PKS juga punya aspek yang memihak korban, serta mengatur tindak hukuman pidana yang lebih luas dan berat bagi pelaku. Contohnya, akan ada pemidanaan terhadap korporasi, pidana tambahan berupa restitusi, pidana tambahan berupa pencabutan hak politik, dan juga pencabutan hak asuh. Semuanya itu tak ada dalam KUHP. Jadi RUU yang berpihak pada korban ini yang sekarang darurat untuk disahkan. 

    Rasanya ingin mendatangi para wakil rakyat di parlemen sana. Apalagi yang mereka tunggu. RUU PKS sudah di tangan mereka sejak 2016 silam. Namun tahun lalu ditarik dari Prolegnas dengan alasan yang bikin geleng-geleng kepala, karena pembahasannya agak sulit. Lalu, jika sulit ditunda-tunda begitu? Tidak adakah upaya untuk mengurai benang kusutnya? Apakah para wakil rakyat tidak dapat memahami dan merasakan situasi genting persoalan kekerasan seksual?

    Kata seorang kawan, menunda pembahasan RUU PKS sama artinya dengan pembiaran tindakan brutal itu terjadi. Dan diyakini penundaan akan mengakibatkan jumlah korban makin bertambah, termasuk di lingkungan keluarga sendiri. Lihat saja catatan Komnas Perempuan, sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019.  Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus (https://nasional.kompas.com/, 13 Agustus 2020).

    Karena itu, melanjutkan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan segera disahkan adalah harga mati yang tak bisa lagi ditawar-tawar. Nurani para anggota dewan itu harus digugah terutama wakil rakyat yang perempuan, untuk berkomitmen dengan sungguh-sungguh membahas RUU PKS, demi kepentingan terbaik korban kekerasan seksual, khususnya perempuan. (*)