Kantor Walinagari Sumpur, Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar. IST |
Sumpur,
Khazanah – Nagari Sumpur terkenal dengan kulinernya yang menggugah selera,
namanya pangek Sumpu. Selain itu Sumpur juga terkenal sebagai daerah penghasil buah
sawo. Buah yang rasanya sangat manis ini sering pula dipakai untuk
mengindentifikasi warna kulit seseorang. Berada di Kecamatan Batipuh Selatan,
Kabupaten Tanah Datar, nagari yang indah ini pernah meraih Anugrah Desa Wisata
Indonesia (ADWI) 2021. Nagari Sumpur juga merupakan Desa BRILian binaan Bank
BRI.
Pohon
sawo tumbuh di sekitar rumah warga Sumpur dan usia pohon itu umumnya lebih dari
100 tahun. Agaknya tak ada warga Sumpur yang tidak memiliki pohon sawo di
sekitar rumahnya. Daunnya yang rindang memayungi rumah warga. Ujung-ujung
ranting pohon saling bertemu satu sama lain. Tak mengherankan jika dilihat dari
Bukit Tubir, rindangnya pohon sawo memayungi nagari yang berada di kaki bukit
itu.
Nagari
ini memiliki 5 jorong, yaitu Jorong Nagari, Jorong Kubu Gadang, Jorong Subarang
Aie Taman, Jorong Batu Baraguang dan Jorong Suduik. Sebagian jorong berada di
daerah dataran tinggi di kaki Bukit Tubir dan
Bukit Kubang Cacang dalam gugusan Bukit Barisan. Sebagian lagi berada di
dataraan rendah dan berbatasan langsung dengan Danau Singkarak. Meski kedua
jorong ini berada di pinggir danau, tetapi di sekeliling rumah warga tetap
dipenuhi pohon sawo.
Warga
Sumpur sendiri menyebut buah ini dengan nama “manila”. Menurut warga ada pula
kisahnya. Salah satu cerita turun temurun menyebutkan jika bibit awal pohon
sawo itu berasal dari Pilipina yang ibukotanya Manila, sehingga orang
menyebutnya buah manila. Tetapi ada pula cerita lain yang mengatakan nama buah
manila berasal dari jawaban orang yang ditanya tentang rasa buah sawo itu.
“Orang
yang ditanya itu menjawab, “manih lah”, yang kemudian sering disebut buah
“manila”. Begitu cerita yang saya dengar,” tutur tokoh masyarakat Sumpur, H.
Yohanes yang akrab disapa H. Yos.
Tetapi
agaknya ada cerita lain dari para orangtua dahulu yang lebih masuk akal, tambah
H. Yos. Kisahnya, waktu itu Belanda menyuruh rakyat Sumpur untuk menanam
tanaman kopi dan cengkeh. Ketika panen, Belanda memonopoli untuk membeli kopi
dan cengkeh rakyat tetapi dibeli dengan harga murah. Tentu saha hal ini membuat
rakyat Sumpur kesal.
“Masyarakat
Sumpur kesal, lalu ramai-ramai mereka beralih menanam sawo. Ketika panen harga
sawo cukup tinggi, apalagi tidak ada pesaing,” ujar H. Yos.
Wali
Nagari Sumpur, Fernando St. Sati yang ditemui di kantornya menjelaskan, luas kebun
sawo mencapai 200 hektar, lebih luas dari areal persawahan yang hanya 125
hektar. Sedangkan luas Nagari Sumpur 7,87 Km2 dengan jumlah penduduk 2.031 jiwa
atau 681 Kepala Keluarga (KK). Mata pencaharian masyarakat beragam, ada
nelayan, petani, pedagang, PNS, TNI dan Polri.
“Pekerjaan
warga kami yang dominan adalah sebagai petani jumlahnya 368 orang dan
berikutnya sebagai nelayan 119 orang,” jelas Fernando.
Nagari
Sumpur berbatas dengan Nagari Bungo Tanjung dan Gunung Rajo di sebelah utara.
Sedangkan di selatan, berbatas dengan Nagari Padang Laweh dan Danau Singkarak.
Di sebelah timur, Sumpur berbatas dengan Nagari Tanjung Barulak dan Nagari Batu
Taba. Lalu disebelah barat, berbatas dengan Nagari Batipuh Baruh
Pekerja membersihkan buah sawo, menyortir dan kemudian memasukkan dalam kemasan kayu siap untuk dikirim. IST
Pemasaran Buah Sawo
Wali
Jorong Subarang Aie Taman, Erwan St. Sulaiman adalah salah seorang pemilik
kebun sawo di Sumpur. Jumlah pohon sawo milik keluarga besarnya mencapai 500
pohon. Masing-masing pohon ditanam dengan berjarak 8-15 meter. Tidak sulit
untuk menanam sawo, caranya hanya dengan dicangkok. Juga tidak ada perlakuan
khusus dalam pemeliharaannya. Sawo termasuk tanaman gurun yang bisa tumbuh di
mana saja.
“Pohon
sawo bisa tumbuh sendiri secara alami. Perawatannya cukup dengan memberinya
pupuk kandang hingga umur 15 tahun,” kata Erwan yang juga menjadi Penyuluh
Pertanian Swadaya.
Erwan
juga memiliki usaha sebagai pengumpul buah sawo dari warga lainnya, kemudian
mengirimkan kepada pelanggannya dari berbagai daerah.
“Kita
panen sawo itu setiap hari dengan hasil panen sekitar 2 ton. Untuk panen sawo
itu, saya dibantu oleh 10-15 orang karyawan,” katanya.
Panen
sawo juga bisa dilakukan berkali-kali dengan jarak 1 bulan setelah panen.
Tetapi ada pula masanya sawo sepi berbuah yang disebut masa buah salo. Untuk memenuhi
permintaan pasar, produksi sawo dari kebun Erwan tidak mencukupi, sehingga
Erwan menerima sawo dari petani lainnya.
“Harga
sawo di tingkat pertani Rp 3.000 per Kg. Setiap hari, mereka mengantarkan sawo
ke gudang yang jumlahnya mencapai 15 ton per hari,” terang Erwan.
Di
gudangnya, sawo ini lalu dibersihkan dengan mesin khusus yang disebut molen dan
mesin itu langsung melakukan sortir buah sawo. Buah yang terlalu matang dengan
sendirinya akan hancur di dalam mesin. Buah yang lolos sortir akan keluar dan
ditampung sebuah bak berisi air. Buah sawo yang rusak biasanya akan dijadikan
pakan ayam.
“Buah
sawo yang lolos sortir ini akan langsung dikemas dalam peti kayu. Setelahnya
langsung di kirim,” terang Erwan.
Dikatakan,
pengiriman buah sawo juga dilakukan setiap hari. Tujuannya ada yang dikirim ke
Jakarta, Medan, Pekanbaru dan Batam.
Sampai
saat ini, katanya, buah sawo dari Sumpur dijual dalam bentuk buah segar. Olahan
sawo pernah dilakukan, seperti diolah menjadi dodol dan bolu kukus. Tapi tidak
rutin dilakukan warga karena tergantung permintaan yang belum banyak. (devi)