Kepala Stasiun BMKG Padang Panjang Irwan Slamet (baju putih) |
Padang, Khazanah -- Bencana geologi (gempa, tsunami, gunung api, tanah longsor) sulit dicegah, tetapi penanggulangannya bisa dilakukan mitigasi struktural maupun non struktural.
“Mitigasi struktural adalah upaya untuk mengurangi kerentanan (vulnerability) terhadap bencana dengan cara rekayasa teknis bangunan tahan bencana,” kata Kepala Stasiun BMKG Padang Panjang Irwan Slamet ketika menjadi pembicara di acara Lokakarya Review Kontijensi Bencana Gempa dan Tsunami yang digelar PMI SUmbar di hotel Mariani, Padang petang ini (10/11).
Mitigasi non –struktural adalah upaya mengurangi dampak bencana selain dari upaya tersebut diatas. Bisa dalam lingkup upaya pembuatan kebijakan seperti pembuatan suatu peraturan. Undang-Undang Penanggulangan Bencana (UU PB) adalah upaya non-struktural di bidang kebijakan dari mitigasi.
Apa boleh buat,
struktur geologi Sumbar memang labil dan tidak kuat menerima guncangan gempa di
atas magnitudo 5. Maka secara berseloroh, Irwan mengatakan bahwa dirinya berharap kalaupun
frekwensi gempa di Sumbar sangat sering, janganlah sampai di atas 5 SR. Dengan
demikian, potensi 9 SR di lepas pantai Sumbar itu perlahan-lahan energinya bisa
berkurang.
Meskipun tidak bisa
diramal, tetapi gempa dapat dideteksi dan berbagai teknologi sudah dibuat oleh
manusia untuk mendeteksinya secara awal untuk membuat manusia bisa ‘bersiap’
menyelamatkan diri. Termasuk peralatan Early Earthquake Warning System (EEWS)
“Yang terbaru, kita
punya alat yang namanya WRS atau Sistem
Penerima Pesan (Warning Receiver System) Ini adalah
salah satu alat komunikasi yang
digunakan BMKG Pusat untuk menyebarluaskan peringatan tsunami kepada lembaga
perantara, dengan Pusdalops Daerah (Provinsi atau Kabupaten) sebagainya. (eko)