×

Iklan


Rumah Baca Rimba Bulan, Untuk Anak Masa Depan

22 Juni 2020 | 12:44:30 WIB Last Updated 2020-06-22T12:44:30+00:00
    Share
iklan
Rumah Baca Rimba Bulan, Untuk Anak Masa Depan
Kegiata anak di Rumah Baca Rimba Bulan.

Padang Panjang, Khazminang – Tiga kanak-kanak asyik membaca di bangku yang dibuat dari papan tong. Ketiganya tak menghiraukan orang-orang disekitarnya yang keluar masuk Rumah Baca Rimba Bulan. Menurut Alvin sang pengelola, ketiga anak itu adalah murid SD yang tinggal ajak jauh dari Rumah Baca Rumba Bulan, mereka menjadi pelanggan setia di situ.

Beda dengan kanak-kanak yang lain, ketiganya justru tidak mengantungi gadget atau gawai. Mereka hanya butuh buku yang ada di rak-rak Rumah Baca Rimba Bulan. Nampaknya mereka tak tertarik dengan gadget.

Memang, harus diakui oleh Alvin Nur Akbar bahwa Rumah Baca Rimba Bulan (RBRB) yang didirikannya sedang dalam persaingan yang teramat keras melawan dunia digital. “Satu kondisi dimana kita harus benar-benar telaten meyakinkan anak-anak bahwa membaca buku adalah sesuatu yang tidak kalah hebatnya dibanding menyimak media sosial,” kata Alvin.

Pada mulanya memang sulit mendatangkan anak-anak dan remaja ke RBRB. Tetapi lama kelamaan dan karena bantuan para pegiat literasi, akhirnya upaya meramaikan Rumah Baca Rimba Bulan berhasil juga.

“Kini tidak kurang dari 100 orang yang berkunjung ke sini. Mereka tidak saja membaca, tetapi ada berbagai kegiatan misalnya menyelesaikan tugas sekolah, mencari bahan untuk skripsi, berdiskusi bahkan menjadi tempat berkumpul merumuskan sesuatu yang akan dikerjakan  bersama,” kata Alvin.

Rimba Bulan adalah rumah baca yang pertama lahur di Padang Panjang, setelah itu beberapa yang lain muncul. Ini menurut Alvin membahagiakan, bukannya membuat dia merasa tersaingi. “Justru makin banyak rumah baca atau TBM (Taman Bacaan Masyarakat) malah semakin bagus. Anak-anak dan remaja bisa menemukan ‘dunia yang hilang’ kembali. Budaya baca akan berkembang lagi,” kata guru di sebuah pesantren di Padang Panjang ini.

Rumah Baca Rimba Bulan hanyalah sebuah teras rumah milik keluarga Alvin di Silaing Bawah, bersisian dengan Hotel Rangkayo Basa. Semua perabotan, kursi dan rak buku diupayakan sendiri oleh Alvin dan adiknya. Mereka mengorek kantung sendiri untuk pembiayaan awal rumah baca ini.

“Untuk selanjutnya, kita perlu biaya perawatan buku, listrik dan tambahan rak, kursi dan sebagainya. Maka kita menyediakan ‘kacio literasi’ yang dibuat dari bambu dan digantung di tiang-tiang teras rumah. Siapa saja boleh mengisi seberapa suka. Dan Sepenuhnya digunakan untuk keperluan rumah baca,” kata Alvin.

Kini tidak kurang dari 2000an judul buku sudah dikoleksi oleh RBRB yang diterima dari berbagai simpatisan baik di dalam maupun di luar negeri.

Ketika ditanya, apakah sudah ada bantuan dari pemerintah setempat? Alvin menggeleng. “Belum, tapi kita sudah memperoleh izin dari Kementerian Pendidikan. Sedangkan kalaupun disebut bantuan adalah berupa koran-koran yang dikirimkan setiap tiga hari oleh Dinas Kominfo ke sini sebagai bahan bacaan pengunjung,” katanya.

Menurutnya, bantuan itu tidak diberikan mungkin  karena pengelola RBRB tidak mengajukan proposal peromohonan bantuan kepada Pemda. Namun kepada siapa saja yang datang ke RBB, Alvin menyampaikan pesan kalau ada yang bisa membantu, silahkan dibantu. Sebaiknya berupa benda-benda, seperti kursi baca, meja, lemari buku, komputer, kipas angin, mesin foto kopi, peralatan untuk merawat buku, koleksi buku dan majalah dan sebagainya. “Silahkan saja kalau ada yang berkenan membantu. Kami tidak meminta uang, tapi hanyalah kebutuhan agar yang datang membaca menjadi senang dan nyaman,” ujar Alvin.

Untuk melayani pengunjung, selain adiknya, Alvin juga dibantu para relawan pegiat literasi. Semuanya bekerja sukarela. Paling-paling yang bekerja mendapat lontong dari orang tua Alvin yang memang membuka warung di samping rumah baca. Ada 20an relawan berbagai usia yang datang bergantian menjadi ‘pustakawan’ di situ.

Jika Anda datang berombongan ke RBRB, dan memberi tahu terlebih dulu kepada pengelola, maka tuan rumah akan menyediakan penyambutan gratis pula dengan menyuguhkan kesenian tradisional seperti talempong atau musik.

Di dinding ada pesan-pesan pengunjung yang ditempel. Semuanya mengapresiasi Rimba Bulan. Dari yang berbahasa Indonesia sampai berbahasa Jerman dan Prancis ada di situ. Setiap kali dinding tempat penempel pesan itu penuh, maka pesan-pesan beralih ke sebuah album dan menjadi koleksi Rimba Bulan.

Rimba Bulan, sebuah tempat yang sederhana tetapi bertujuan tidak sederhana: membentuk manusia Indonesia yang berbudaya melalui kebiasaan membaca dan menulis. “Anak masa depan hendaklah yang suka membaca dan menulis,” kata Alvin. (Eko Yanche Edrie)