Padang, Khazminang.id – Kongres Kebudayaan Minangkabau –sementara ini masih disebut
kongres—Insya Allah akan digelar pada 10 Oktober tahun 2022. Persiapan untuk helat
yang besar ini sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu oleh Yayasan Pusat
Kebudayaan Minangkabau (YPKM).
Minggu, dari selepas Isya' sebuah diskusi
yang digelar oleh Steering Committee Kongres, yang diketuai Prof, Muslir Kasim menerima
berbagai masukan tentang kongres, kebudayaan dan keminangkabauan. Sejumlah
anggota SC hadir dalam diskusi virtual yang dibuka oleh Ketua Umum YPKM, H.
Shofwan Karim. Sedangkan draf rencana kegiatan disampaikan oleh Dr. Rahmi
Fahmi.
Para peserta lebih
bersemangat ketika membicarakan kongres, kebudayaan dan keminangkabauan. Kajian-kajian
tentang keminagkabauan di Eropa, Amerika dan Australia sejak 1990 menurut
gurubesar Unand, Prof. Dr.
rer.soz.Nursyirwan Effendi sudah menyurut dan mengendur.
Yang agak miris
menurut saya adalah bahwa Malaysia saja ambil sistem ketatanegaraannya dari
Minangkabau (adat perpatih) , sebaliknya Indonesia malah ambil dari Eropa.
Maka saya sangat
surprise kalau PKM akan menggelar sebuah Kongres Kebudayaan tentang
keminangkabauan. Tapi menurut saya jangan kongres, tetapi sebaiknya menjadi
Culture Summit, karena spektrumnya sangat luas.
“Maka satu yang saya
harap, agar setelah kongres jangan hanya berakhir di atas kertas saja tetapi
sampai ada implementasinya. Sebab ada beberapa kegiatan yang membicarakan
kebudayaan Minangkabau maupun Kebudayaan nasional selama ini, tetapi seru
ketika dalam perdebatan di acara saja, setelah itu sepi, tidak ada tindak
lanjut,” kata Prof. Nursyirwan.
Kenapa suti tentang
Minangkabau jadi stagnan? Menurut Nursyirwan karena data tentang kekinian studi
Minangkabau tidak banyak ditemukan.
Padahal, katanya
Minangkabau mestinya menjadi modal besar bagi industri kreatif secara nasional.
Lihat orang Korea, apa-apa yang berhubungan dengan budaya Korea bisa menyebar
luas ke seluruh dunia. “Orang Korea jualan sayur di pinggir jalan menjadi
sangat viral, tapi bandingkan dengan kikta. Untuk jualan rendang ke seluruh
dunia harus bikin festival dulu baru laku. Harus kta upayakan, agar buaya
Minangkabau itu bisa memberi efek besar terhaap pendorong majunya industri
kreatif berbasis budaya Minangkabau,” kata dia.
Sementara itu Prof
Duski Samad melihat dari sisi bagaimana Minangkabau menjadi lokomotif kemajuan
bangsa dan kebudayaan Minangkabau adalah sumber inspirasinya. Tapi perlu
dipikirkan juga, bahwa sesungguhnya yang akan menjalankan keminangkabauan itu
adalah ninik mmak dan ulama serta cendekiawan di nagari. “Maka kalau para
ilmuwan membicarakan keminangkabauan sebaiknya di dalam kongres ini ada satu
sesi dimana diajak serta para pemangku adat dan ulama untuk merusmuskan mau
dibawa kemana Minangkabau masa depan,” katanya.
Sastrawan Prof. Harris
Effendi Tahar yang hadir dalam diskusi itu mempertanyakan posisi LKAAM.
Sementara Khairul
Jasmi, jika bicara kebuayaan, Minangkabau harus berkonsentrasi dulu ke
pertumbuhan ekonomi. “Bagaimana mau bicara dengan pemikian besar jika ekonomi
belum sehat. Menurut saya sejak zaman PRRI pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat belum
pernah sampai di atas 6 persen,” kata KJ.
Sejarawan Prof. Gusti
Asnan mengatakan bahwa semangat bersatu dan menyamakan pemikiran tentang adat
dan kebudayaan Minangkabau tidak pernah luntur sejak zaman dulu. Puncaknya
misalnya ketia dilaksanakan Seminar Kebudayaan di Pariangan tahun 1970. Di era
modern sejumlah kegiatan menyatukan dan mempertemukan pemikiran keminangkabauan
tetap ada, walaupun parsial. Kongres Kebudayaan yang digagas PKM ini adalah
sesuatu yang menurutnya penting didorong terlaksananya dalam rangka menyatukan
dan mempertemukan berbagai pemikiran tentang keminangkabauan di era modern ini.
“Agar ia menjadi kaya
dengan pemikiran, maka perlu juga alam kongres itu tokoh non-Minang berbicara
tentang Minangkabau,” kata sejarawan Unand.
Pengamat politik, Dr.
Asrinaldi melihat sisi ABS-SBK sebagai hal yang senantiasa memunculkan
perdebatan. ABS-SBK masih sangat abstrak, penting diterjemahkan lebih rinci
tentang ABS-SBK agar ia menjadi sesuatu yang dapat terimplementasi. “Ternyata
komitmen penerapatran ABS-SBK di tengah masyarakat tidak juga bisa memberi
jawaban pasti pada berbagai promblem yang ada di tengah masyarakat,” katanya.
Semua daerah Kabupaten/Kota
kecuali Mentawai mengaku sama-sama mendasarkan visi-misi mereka kepada
nilai-nilai ABS-SBK. Tapi saat diterjemahkan ke dalam program, sulit dicarikan
bentuknya. “Saya kira kongres kebudayaan Minangkabau kali ini adalah forum yang
tepat untuk merumuskan lebih lanjut hal-hal yang tadinya –ABS-SBK—masih abstrak
itu,” katanya.
Ekonom senior Pro.
Syafruddin Karimi menyentil soal posisi ABS-SBK dalam mempengaruhi kebijakan
publik. “Sering pejabat mengatakan bahwa orang Minang egaliterlah, punya
keunikan tanah ulayatlah, tak mau jadi buruhlah dan sebagainya. Bagaimana
mungkin ketika kita mengundang investor lalu kita sampaikan kesulitannya tanpa
mau meminimalisir kelemahan itu,” kata dia.
Ia melihat dari aspek
ekonomi, betapa kontradiktifnya dalam kehidupan ril orang Minang di Sumbar. Bagaimana
mau bicara pertanian maju kalau rata-rata kempilikan lahannya kurang dari satu
hekter per KK. Maka ia menyampaikan konsep baru yang dia sebut re-eventing
Minangkabau. Bagaimana mengubah prilaku buruk dalam kehidupan sehari-hari.
Kongres Kebudayaan Minangkabau hendaknya menjadi evaluasi juga dalam cara-cara
berminangkabau, bersumatera barat dan berindonesia.
Mantan Rektor UIN Imam
Bonjol Prof. Eka Putra Wirman mengatakan bahwa orang Minang menyebut dirinya
hebat, menurut Eka itulah salah satu ciri Minangkabau. Ciri dari sebuah
kepercayaan diri, meskipun orang lain menyebutkan itu adalah kelemahan. “Islam
dengan kebudayaan di Minangkabau belum tentu dalam keseharian inheren antara
agamanya dengan budayanya. Beda dengan di Bali, ketika bicara Hindu, orang Bali
sesungguhnya juga bicara budaya Bali, Jadi inheren,” katanya.
Feri Amsari, S.H.,
M.H., LL.M melihat kebudayaan Minangkabau itu sebagai sebuah kelebihan yang
mendorong Minangkabau lebih maju lagi di masa depan. “Saya setuju dengan Prof.
Nursyirwan bagaimana budaya Minangkabau itu menjadi daya dorong bagi industri
kreatif dan pariwisata misalnya,” katanya.
Ia memberi contoh
lain, betapa orang Minang terkenal dengan pabrik kata-kata, tapi pada berbagai
sisi kehidupan saat ini hal itu tidak kita temui. Misalnya, di rumah-rumah
makan, restoran, hotel, gedung pertemuan, bertebaran kata-kata hebat dari para
tokoh Minang. “Ini sesuatu yang akan menarik para tamu dan orang luar yang datang
ke ranah Minang,” kata Feri. Ia pun menytentil bagaimana cagar-cagar budaya
benar-benar terjaga sebagai cagar budaya sehingga terlihat ciri budayanya.
Tentang kekinian,
menjadi hal penting dilirik Prof. Werry Darta Taifur. Mantan Rekgtor Unand ini
mengingatkan tentang bagaimana keminangkabauan berada di tangah generasi
milenial. Tiap generasi memiliki karakteritisnya sendiri. “Maka melestarikan
nilai-nilai keminangkabauan, ABS-SBK dan sebagainya perlu dicarikan cara
bagaimana proses transformasinya kepada generasi baru bisa terterima dengan
baik. Caranya harus disesuaikan dengan karakteristik generasi yang akan
menerima warisan,” katanya.
Nagari harus menjadi
perhatian, karena banyak hal di nagari semakin terjadi kemerosotan pemahaman
budaya apalagi agama. Jika bicara soal
adat, pastilah basisnya Nagari. Maka mulailah berangkat membangun dari nagari
dulu.
Tokoh muda, Dalmenda
Dt. Pamuncak Alam sepakat dengan apa yang disampaikan Prof. Wery dan Prof.
Duski Samad bahwa jika mau bicara adat dan budaya kita mesti bicara nagari. Ia
mengingatkan agar jangan ada upaya yang memancing poerpecahan di nagari.
Pemerintah daerah mesti paham dan mendalami bagaimana kehidupan di nagari.
Muhammad Ilham bicara bagaimana
soal kebesaran masa lalu menjadi modal besar dalam kehidupan berminangkabau
hari ini dan masa depan. Perkawinan campuran hendaknya bisa dijawab oleh
keminangkabauan masa depan agar anak-anak hasil perkawinan campuran Minang-Non
Minang tidak ragu-ragu memiliki kebanggan mereka atas Minangkabau.
Ketua Dewan Pembina
PKM, H. Irman Gusman yang menjadi pembicara pamungkas dalam diskusi mengatakan
soal keminangkabauan masih menjadi arus utama dalam diskursus kehidupan
berbangsa hari ini.
Ia mengingatkan
tentang bagaimana pandangan Presiden SBY tentang demokrasi Minangkabau.
Menurutnya pandangan SBY tentang demokrasi nasional perlu terus dibangun. Tapi
perlu model, yang digali dari kebudayaan nusantara. “Nilai-nilai Minangkabau
menurut pak SBY adalah nilai-nilai demokrasi yang patut menjadi model demokrasi
nasional itu,” katanya.
Secara demografi, orang Minang di Sumatera Barat mungkin hanya 5 juta saja populasinya, tapi di luar Sumatera Barat bisa sampai tga atau empat kali lipat jumlahnya orang Minang. Jumlahnya mungkin tidak termasuk besar dibanding etnis Jawa atau Sunda, tetapi pengaruhnya harus kita kita akui besar dan masih sangat besar. “Saya kira di masa depan, daya pengaruh ini masih relevan untuk dipertahankan dengan catatan sumber daya manusianya harus terus menerus dibangun dengan selalu membawa ciri keminangkabauan itu sendiri,” kata dia.
Kongres Kebudayaan Minangkabau adalah salah satu program PKM yang dirancang untuk memberi kontribusi pemikiran tentang keminangkabauan masa depan. "Bentuknya adalah mungkin sebuah festival Minangkabau yang terdiri dari tiga bagian, kongres kebudayaan yang bicara lebih luas dengan mengundang tokoh Minang dan Minang untuk bicara yang inttinya menyumpang gagasan dan pemikiran bagi kebaikan bangsa ke depan atau dari Minangkabau untuk Indonesia. Lalu Pada sesi berikutnya adalah agenda membicarakan lebih intens tentang Kebudayaan Minangkabau dan Keminangkabauan dan bagian lain adalah penampilan kesenian Minangkabau," kata Ketua Harian PKM, Hasril Chaniago. (eko yanche edrie)