Kelok 9 dibangun ketika hubungan dengan pemerintah pusat sangat mesra, bahkan Presiden SBY berkali-kali datang ke Sumbar (dok TVRI) |
Oleh : Prof Syafruddin Karimi
Rasionalitas adalah konsep yang berperan
penting dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pengambilan keputusan
politik dan ekonomi. Rasionalitas ekonomi mengacu pada pengambilan keputusan
yang didasarkan pada analisis logis tentang biaya dan manfaat dari suatu
tindakan, sedangkan rasionalitas politik sering kali melibatkan faktor-faktor
non-ekonomi seperti identitas, emosi, dan ideologi. Dalam konteks pemilu, kedua
jenis rasionalitas ini sering kali saling bertentangan, dan hal ini terlihat
jelas dalam pengalaman Sumatera Barat (Sumbar) selama dua periode pemerintahan
Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pada pemilihan presiden 2014 dan 2019, masyarakat Sumbar secara konsisten menolak Jokowi dan memilih Prabowo Subianto, meskipun Jokowi menang secara nasional dan membawa program-program pembangunan yang besar, khususnya di bidang infrastruktur. Pertanyaannya adalah, apakah penolakan ini merupakan cerminan rasionalitas politik, atau apakah masyarakat Sumbar mengabaikan rasionalitas ekonomi dalam memilih pemimpin yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi daerah?
Artikel ini akan mengeksplorasi perbedaan antara rasionalitas ekonomi dan rasionalitas politik, serta bagaimana kedua konsep ini tercermin dalam pengalaman Sumbar di bawah dua periode pemerintahan Jokowi.
Rasionalitas
Ekonomi: Fokus pada Manfaat dan Pembangunan
Rasionalitas ekonomi mengarahkan pemilih untuk memilih kandidat yang menawarkan kebijakan yang memberikan manfaat ekonomi terbesar dengan biaya paling kecil. Dalam konteks dua periode pemerintahan Jokowi, rasionalitas ekonomi seharusnya mendorong masyarakat Sumbar untuk mendukung kebijakan pembangunan infrastruktur besar-besaran yang diluncurkan oleh Jokowi. Jalan tol, bandara, pelabuhan, dan proyek infrastruktur lainnya merupakan investasi besar yang bertujuan meningkatkan konektivitas dan daya saing daerah, termasuk Sumbar.
Bagi pemilih yang rasional secara ekonomi, kebijakan-kebijakan ini seharusnya memberikan daya tarik besar. Dengan pembangunan infrastruktur, Sumbar memiliki kesempatan untuk meningkatkan aksesibilitas, mendorong arus distribusi barang dan jasa, serta menarik investasi baru. Semua ini merupakan faktor penting yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.
Namun, meskipun kebijakan-kebijakan ekonomi ini jelas menawarkan manfaat jangka panjang, masyarakat Sumbar tetap menolak Jokowi dalam dua pemilu terakhir. Mereka lebih memilih Prabowo, meskipun program-program ekonomi yang diusulkan oleh Prabowo tidak seagresif program infrastruktur Jokowi dalam mendorong pembangunan. Ini menimbulkan pertanyaan apakah masyarakat Sumbar benar-benar menggunakan rasionalitas ekonomi dalam menentukan pilihan politik mereka.
Rasionalitas
Politik: Faktor Identitas dan Emosi
Di sisi lain, rasionalitas politik lebih rumit karena mencakup faktor-faktor non-ekonomi seperti identitas, emosi, dan ideologi. Dalam dua pemilu terakhir, masyarakat Sumbar mungkin lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor ini daripada manfaat ekonomi yang diusulkan oleh Jokowi. Sebagai wilayah dengan tradisi budaya dan agama yang kuat, pemilih Sumbar cenderung memilih kandidat yang mereka anggap lebih mewakili nilai-nilai sosial dan keagamaan mereka, meskipun kebijakan ekonomi yang ditawarkan mungkin kurang relevan bagi kesejahteraan jangka panjang.
Prabowo Subianto dianggap lebih dekat dengan identitas dan aspirasi politik masyarakat Sumbar, yang pada dasarnya konservatif dalam pendekatan politik dan sosial. Jokowi, meskipun membawa kebijakan ekonomi yang progresif, dianggap tidak terlalu mencerminkan aspirasi sosial masyarakat Sumbar. Ini adalah contoh nyata di mana rasionalitas politik mengalahkan rasionalitas ekonomi dalam pengambilan keputusan pemilih.
Faktor emosional juga berperan besar. Banyak pemilih yang mungkin dipengaruhi oleh narasi politik nasional yang menggambarkan Jokowi sebagai pemimpin yang tidak sepenuhnya sejalan dengan kepentingan daerah-daerah seperti Sumbar. Meskipun kebijakan ekonomi Jokowi jelas membawa manfaat, narasi-narasi ini mampu menggerakkan emosi pemilih untuk mendukung Prabowo yang dianggap lebih representatif bagi aspirasi daerah.
Pengalaman
Sumbar: Memenangkan Identitas, Kehilangan Pembangunan?
Selama dua periode pemerintahan Jokowi, Sumbar sering kali dianggap sebagai wilayah yang "tertinggal" dalam menikmati buah pembangunan. Meskipun proyek infrastruktur besar-besaran terus berlanjut di banyak provinsi lain, Sumbar tidak menerima perhatian yang sama. Jalan tol, misalnya, masih tertunda di beberapa bagian Sumbar, sementara provinsi lain menikmati manfaat ekonomi dari infrastruktur yang baru dibangun. Apakah ini merupakan akibat dari keputusan politik Sumbar untuk menolak Jokowi dalam dua pemilu? Ataukah ini lebih karena kegagalan komunikasi politik antara pemimpin daerah dan pemerintah pusat?
Masyarakat Sumbar mungkin harus mengevaluasi kembali rasionalitas keputusan politik mereka. Meskipun pilihan politik mereka didasarkan pada pertimbangan sosial dan emosional yang valid, hasil akhirnya adalah Sumbar tertinggal dalam pembangunan infrastruktur yang seharusnya mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Gagalnya Sumbar dalam mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah pusat dapat dikaitkan dengan fakta bahwa komunikasi politik antara pemimpin daerah dan pusat kurang optimal. Gubernur dan pemimpin daerah lainnya seharusnya lebih proaktif dalam memastikan bahwa Sumbar mendapatkan manfaat dari kebijakan pembangunan nasional.
Interaksi
Rasionalitas Ekonomi dan Rasionalitas Politik
Pengalaman Sumbar selama dua periode pemerintahan Jokowi menunjukkan betapa pentingnya keseimbangan antara rasionalitas ekonomi dan rasionalitas politik dalam pengambilan keputusan pemilih. Meskipun rasionalitas politik sering kali didorong oleh faktor identitas dan emosi, rasionalitas ekonomi tidak boleh diabaikan begitu saja. Kebijakan ekonomi yang kuat memiliki dampak jangka panjang yang signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Jika masyarakat Sumbar terus membuat keputusan politik berdasarkan rasionalitas politik yang mengabaikan dampak ekonomi, provinsi ini akan terus tertinggal dalam hal pembangunan. Pemilih harus mulai menyeimbangkan antara nilai-nilai sosial yang mereka anggap penting dan pertimbangan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Pelajaran
dari Pengalaman Sumbar
Pengalaman Sumbar di era Jokowi mengajarkan kita pentingnya mengintegrasikan rasionalitas ekonomi dan politik dalam pengambilan keputusan pemilu. Pemilih harus mempertimbangkan bukan hanya identitas politik dan nilai-nilai sosial, tetapi juga manfaat ekonomi jangka panjang yang ditawarkan oleh kebijakan yang diusulkan. Meskipun identitas dan ideologi memiliki tempat yang penting dalam politik, kebijakan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan akan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.
Kesimpulan
Rasionalitas ekonomi dan rasionalitas politik adalah dua konsep yang saling berinteraksi dan memengaruhi keputusan pemilih. Dalam pengalaman Sumbar selama dua periode pemerintahan Jokowi, rasionalitas politik yang lebih didorong oleh faktor identitas dan emosi tampaknya mengalahkan pertimbangan ekonomi yang rasional. Akibatnya, Sumbar tertinggal dalam pembangunan infrastruktur yang seharusnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Untuk masa depan, pemilih Sumbar harus belajar menyeimbangkan antara rasionalitas politik dan ekonomi agar keputusan mereka tidak hanya berdasarkan sentimen sosial, tetapi juga pada kebijakan yang memberikan manfaat jangka panjang. (Penulis: Guru Besar FE Unand)