YURNALISMAN SYAM DT. SIMARAJO |
"Kami masyarakat Nagari Gunung, terzalimi dengan PPDB sistem zonasi ini. Bayangkan, sekolah berdiri di nagari ini, tapi dari 545 orang anak-anak kami, tidak satupun yang terfasilitasi"
Padang Panjang, Khazminang.id— Polemik Penerimaan Peserta Didik Baru (PPBD) online dengan sistem zonasi untuk tingkat SMA dan SMK, terus bergulir. Masyarakat Nagari Gunung Padang Panjang Timur, Kota Padang Panjang, melayangkan protes keras terhadap kebijakan yang dinilai menzalimi dan sangat merugikan anak nagari.
Ketua KAN Nagari Gunung, DR Ir. H. Yurnalisman Syam, MM Dt. Simarajo yang dihubungi khazminang.id tadi malam mengatakan, terkait zonasi, seharusnya Dinas Pendidikan bersama sekolah melibatkan mahasiswa memeriksa data alamat yang direkayasa. Pemalsuan alamat itu sebutnya, jelas merupakan tindak pidana dan negara seharusnya tidak memfasilitasi kecurangan tersebut.
"Dari data yang kami punya, calon siswa yang berada di sekitar SMAN 1 Padang Panjang dan SMAN 2 Padang Panjang ada sekitar 545 orang. Untuk SMAN 1, jarak terjauh yang dapat difasilitasi melalui jalur zonasi ini adalah 0.85 km, sedangkan SMAN 2 0.92 km. Al hasil, kami yang di Nagari Gunung, tidak satupun yang terfasilitasi di kedua sekolah itu," kata Yurnalisman.
Walaupun sebelumnya sempat tersiar kabar akan ada rencana pengembangan tambahan lokal, yakni satu lokal di SMAN 1 dan dua lokal di SMAN 2, namun hal tersebut juga diakui belum akan mampu memfasilitasi dan menampung sebanyak 545 orang siswa pendaftar jalur zonasi, yang semuanya adalah anak Nagari Gunung.
Jikapun kebijakan penambahan lokal itu jadi diterapkan di Padang Panjang terang Yurnalisman, pihaknya meminta agar penambahan tidak dilakukan SMAN 1 dan SMAN 2 Padang Panjang, melainkan dua atau tiga lokal luar asrama di SMAN 1 Sumatera Barat, yang berlokasi di Nagari Gunung.
"Sehingga, konsep zonasi ini benar-benar bersifat adil. Jika tidak, berarti kami masyarakat kenagarian Gunung sudah terzalimi dengan sistem zonasi ini. Bayangkan, sekolah berdiri di nagari kami, tapi anak-anak kami tidak terfasilitasi," tegas Yurnalisman, yang juga adik kandung Walikota Padang Panjang 2003-2013, yang kini menjabat anggota Komisi X DPRI, dr H. Suir Syam, M.Kes MMR itu.
Namun, kabar penambahan lokal itu, terbantahkan ketika Yurnalisman menemui langsung Gubernur Sumbar, Irwan Prayitno. Disebutkan Gubernur Irwan seperti disampaikan ulang Yurnalisman, tidak ada wacana penambahan lokal seperti yang dikatakan Walikota Padang Panjang, Fadly Amran.
"Seperti dikatakan Gubernur, tidak ada penambahan lokal dan rombongan belajar. Yang ada adalah penambahan siswa di setiap kelas. Misalnya dari 36 menjadi 40. Ini adalah regulasi dari Kemendikbud yang juga baru akan diterima dalam satu dua hari ini. Jadi, tidak benar ada penambahan lokal seperti yang dikatakan Walikota Padang Panjang itu," tandasnya.
Sementara itu, Yurnalisman juga sangat menyayangkan adanya temuan terkait pemalsuan surat keterangan domisili (SKD) dalam proses penerimaan calon siswa di Padang Panjang. Diketahui, akibat praktik pemalsuan SKD itu, sebanyak 69 orang calon siswa di kota berjuluk Serambi Mekkah tersebut telah dibatalkan kelulusannya oleh Disdik setempat.
"Sangat aneh dan sangat disayangkan. Di kota yang hanya seluas 23 kilometer persegi ini, masih bisa juga terjadi kecolongan soal domisili. Kita minta ini disikapi serius. Ada permainan apa di balik ini semua. Yang pasti, kita juga akan melihat keseriusan walikota dalam menindak oknum-oknum yang bermain dengan SKD ini. Kita juga minta pihak kepolisian mengusutnya," ujar Yurnalisman.
Tokoh masyarakat Padang Panjang, Masri Edwar terpisah mengatakan, polemik yang terjadi seputar PPDB beberapa waktu belakangan, merupakan ekses dari keterlibatan dua sisi pemerintahan, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Sumbar dan Pemko Padang Panjang dalam sebuah sistem bernama PPDB.
"Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar memberikan ruang untuk mendaftar dengan mempergunakan SKD. Sementara pejabat yang berwenang, "tidak jeli" dalam menerbitkan SKD," kata Masri.
Setidaknya imbuh Masri, kondisi ini juga terjadi sebagai akibat dari penyelenggaraan pemerintahan yang terkesan saling merenggut kepentingan. Yakninya dengan menggeser urusan dari pemerintahan kabupaten/kota, menjadi urusan pemerintah pusat melalui pemerintah provinsi.
"Di balik semua itu, apapun tindakan yang dilakukan orangtua dengan melampirkan SKD palsu, yang mungkin dan bisa-bisa saja difasilitasi pula oleh oknum pejabat berwenang, adalah perbuatan tidak terpuji. Bahkan jelas-jelas bertentangan dengan UU Adminduk No. 24/201. Dan ini adalah pidana," kata Masri yang juga Ketua DPD LPM Padang Panjang Barat itu.
Diberitakan harian ini sebelumnya, sebanyak 69 dari 78 orang siswa di Kota Padang Panjang yang telah dinyatakan lulus, namun terbukti melampirkan surat keterangan domisili (SKD) palsu, telah dibatalkan kelulusannya oleh Disdik setempat.
Mulanya, temuan ini terungkap dengan adanya pengaduan masyarakat melalui Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, terkait dugaan pemalsuan SKD yang diterbitkan Camat Padang Panjang Timur. Dari keterangan pelapor, mereka yang terindikasi curang, mengganti alamat domisili sehingga menjadi lebih dekat dengan sekolah.
"Masyarakat merasa ada pergerakan yang aneh, dari komposisi pengumuman sementara atau uji publik yang terdapat pada website PPDB Sumbar, khususnya untuk SMA 1 Padang Panjang. Mereka yang tadinya lolos, tiba-tiba gagal lolos, atau terlempar dari zona terdekat," kata Kepala Ombudsman Perwakilan Sumbar, Yefri Heriani.
Praktisi hukum Sumbar, Rimaison Syarif mengatakan, pihak-pihak yang terbukti menggunakan SKD palsu, bisa dipidana. "Dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan No. 24 Tahun 2013, sudah dijelaskan soal pemalsuan surat keterangan domisili ini. Pelakunya bisa dipidana, karena ini jelas pemalsuan data" kata Rimaison.
Dia menyebutkan, dalam UU itu dijelaskan, jika ancaman bagi pengguna surat keterangan domisili palsu itu adalah 6 tahun penjara. "Bagi orangtua yang menggunakan surat keterangan domisili ini bisa dijerat pidana 6 tahun," kata Rimaison.
Sedangkan untuk orang atau badan yang mengeluarkan surat itu bisa dikenai pidana 10 tahun. Kemudian untuk perantara pembuatan surat keterangan domisili palsu itu bisa dijerat 7 tahun penjara. "Jadi, tidak bisa main-main dalam surat keterangan domisili,” tandas Rimaison. **
(Ryan Syair/Paul Hendri)