![]() |
Padang, Khazanah – Gempa Pasaman pada Februari 2022 lalu
menyebabkan pecahnya patahan semangko, sehingga jumlah segmen patahan Semangko
bertambah 1 lagi di Sumbar dari sebelumnya terdapat 7 segmen. Patahan baru ini berada di sekitar pusat gempa tepatnya di
Nagari Kajai, Kecamatan Talamau, Kabupaten Pasaman Barat dan dinamakan sesar
Talamau.
Tujuh segmen patahan semangko yang telah ada
sebelumnya di Sumbar itu adalah segmen Siulak, Suliti, Sumani, Sianok , Sumpur,
Angkola dan Barumun, dan bertambah satu lagi yaitu segmen Talamau. Semua patahan
ini membentang paralel dengan zona subduksi
sebagai pengaruh onvergensi Lempeng Eurasia dengan Lempeng Indo-Australia.
“Seluruh patahan itu bepotensi sebagai penyebab terjadinya gempa bumi. Oleh sebab itu,
mitigasi kebencanaan harus dilakukan, begitu pula peningkatan sumberdaya
masyarakat melalui edukasi dan sosialisasi kebencanaan secara terus menerus,”
kata Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Sumbar, Fajar Sukma dalam sambutannya
pada kegiatan Pelatihan Jurnalistik Kebencanaan memanfaatkan pokir dari anggota
DPRD Sumbar, Hidayat di Padang, Kamis (16/11/2023).
Bencana yang mengintai itu tak
hanya gempa bumi, tetapi juga longsor, banjir, banjir bandang dan angin kencang.
Namun mitigasi kebencanaan di Sumbar masih jauh dari
harapan. Karenanya sangat diharapkan peran serta stakeholder terkait lainnya
dalam penanganan bencana atau yang dikenal dengan pentahelix, yaitu pemerintah
daerah didukung akademisi, komunitas, pelaku usaha dan media.
“Kegiatan saat ini adalah salah satu dari wujud
pentahelix itu. Media menjadi jembatan untuk menyampaikan informasi serta
penanganan kebencanaan kepada masyarakat,” katanya.
Sementara itu, anggota DPRD Sumbar, Hidayat saat
membuka kegiatan pelatihan yang diikuti sekitar 100 peserta menyebutkan, belajar
dari pengalaman gempa dahsyat Sumbar tahun 2009, meski beberapa tahun telah
berlalu namun masih menyisakan kepanikan di tengah masyarakat setiap kali
terjadi gempa. Mitigasi kebencanaan yang sering dilakukan tidak lagi mereka
ingat. Sehingga saat terjadi gempa, mereka langsung evakuasi diri.
“Sangat nyata, jika sampai hari ini masyarakat kita
tidak siap menghadapi gempa. Mereka langsung panik dan lupa dengan proses
penyelamatan diri saat terjadi gempa. Padahal, evakuasi itu dilakukan jika gempa
berpotensi tsunami,” katanya.
Sedangkan Jepang, lanjutnya, sebagai negara yang menjadi
langganan gempa bumi, tetapi setiap kali terjadi gempa masyarakat Jepang
meresponnya dengan biasa, seakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jepang
mampu meminimalisir risiko bencana dengan mitigasi yang konsisten.
“Dalam hal ini, peran media sangat diharapkan untuk memberikan
informasi yang benar sekaligus sebagai media sosialisasi dan mitigasi bencana,”
ucap Hidayat.
Soal mitigasi ini, diakui Fajar Sukma, mitigasi bencana
di Sumbar masih jauh dari harapan. Salah satu penyebabnya adalah minimnya
anggaran. Meski demikian, pihaknya tetap melakukan edukasi dan sosialsiasi
mitigasi bencana dengan menggandeng stakeholder pentahelix, seperti melalui
program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) dengan anggarannya di Dinas Pendidikan
dan kegiatan mitigasi lainnya. (unni)