×

Iklan


Permendikbud 30, Liberalisasi dan Afirmasi

29 November 2021 | 09:32:11 WIB Last Updated 2021-11-29T09:32:11+00:00
    Share
iklan
Permendikbud 30, Liberalisasi dan Afirmasi

Oleh: Prof. Dr. Duski Samad , M.A

(Ketua PP Tarbiyah Perti)

 



    Judul di atas dimaksudkan sebagai respon terhadap PERMENDIKBUD NOMOR 30 TAHUN 2021 TENTANG KEKERASAN SEKSUAL DI PERGURUAN TINGGI.. Pasal 5 Permendikbud yang disoroti dan mendapat kritik tajam adalah klausul "tanpa persetujuan korban'. 1. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

    2. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban; 3. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; 4. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

    Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 yang dikeluarkan tanggal 3 September 2021 dimaksud Mentri Mas Nadiem sebagai payung hukum kebijakan akademik kampus yang mengeser paradigma kekerasan seksual dari ruang privasi ke ruang publik. Permendikbud ini sekaligus membuka ruang tabu seksual menjadi ranah hukum yang tak boleh disembunyikan, terutamanya oleh korban.

    Beragam tanggapan, pro dan kontra meluas, itu adalah resiko kebijakan ambigu dan multi dimensi potensi mendatangkan kerusakan. Timbulnya kecurigaan motif dan kesan bahwa konten permendikbud itu bermasalah dan mengundang kebebasan atau liberalisasi di dunia perguruan tinggi. Bahkan ada yang menginterpretasi lebih jauh dengan menyebut regulasi tersebut otomatis melegelkan sex bebas dan prediksi lainnya.

    Tidak berlebihan pula bahwa diksi kecuali persetujuan korban pada beberapa pasal 5 di atas adalah tekstual dan kontekstual yang jelas memberikan kesempatan sex bebas di kampus. Masyarakat beradab memang ada kebebasan tetapi bukan kebebasan di luar norma. Norma wajib menjadi pijakan dan bingkai kebebasan.

    Analisis sosial keagamaan, budaya dan kemudian bersambung pula politik, telah membuat masalah menjadi di luar konteksnya. Namun satu hal yang harus disadari semua pihak bahwa kebijakan anti kekerasan seksual pada hakikatnya adalah keberpihakkan pada kemanusiaan dan keberadabaan.

     

    Berlindung dengan Afirmasi

    Keterangan Mas Menteri dan didukung pula Menteri Agama bahwa regulasi itu dimaksudkan untuk memberikan affirmasi terhadap perempuan korban kekerasan, pernyataan itubmemerlukan kejujuran nurani pemegang amanat bangsa ini, bukan tidak mungkin pernyataan dijadikan tameng untuk berlindung, ketika kedok asli terbongkar.

    Mengapa kecurigaan itu muncul karena mudah melacaknya bahwa regulasi itu berpihak pada kebebasan dari pada proteksi mahasiswa dari perlakuan kekerasan seksual. Mudah sekali menemukan bahwa  aturan dalam permendikbud itu lebih besar akibat buruk yang ditimbulkannya berupa liberalisasi dibanding affirmasi.

    Liberal, leberalisasi dan ketika ia menjadi paham ia disebut liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.

    Aslinya ciri-ciri dari liberalisme adalah anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh. Pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara terbatas.  Kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan hal yang buruk. Suatu masyarakat dikatakan berbahagia apabila setiap individu, sebagian besar individu berbahagia. Liberalisme klasik akan hilang begitu saja, tergantikan oleh liberalisme modern. Liberalisme modern tidak mengubah hal-hal mendasar, hanya saja mengubah hal-hal lainnya, dengan kata lain, nilai intinya tidak berubah tetapi hanya ada tambahan-tambahan saja.

    Paham liberal menjadi tantangan tersendiri bagi umat untuk mempertahankan ajaran syariat agama Islam. Karena pegiat liberalisasi dalam pemikiran keagamaan di Indonesia kini sudah tak terbendung lagi, terutama di perguruan tinggi.

    Kalangan umat Islam sendiri memiliki pandangan yang berbeda tentang paham liberalisme yang mendewakan akal ini. Sebagian kalangan memandang liberalisme sebagai titik balik kebangkitan pemikiran Islam. Namun, jika mau melihat lebih dalam lagi, akan banyak ditemukan ajaran Islam yang kini dibuat menyimpang dari jalannya.

    Selama ini umat membayangkan pelecehan terhadap agama Islam hanya datang dari non-Muslim. Padahal, tanpa disadari hal itu juga tengah masif dilakukan oleh umat Islam sendiri. Mereka dengan seenaknya menyebut Alquran sebagai hasil proses kebudayaan. Bahkan, ada yang menyebut Alquran harus diedit ulang.

    Dalam kasus homoseksual dan lesbian pun yang tengah marak diperbincangkan saat ini mereka juga membolehkannya. Sementara, kaum Muslimin yang menolak homoseksual dianggapnya sebagai kaum primitif.

    Peralihan generasi adalah saat yang tepat untuk mengubah pemaham keagamaan, termasuk soal pengabaikan ibadah dan gaya hidun hedon mengikuti syahwat. "Kemudian datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan sholat dan mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat,"(QS. Maryam 19: Ayat 59)

    Liberalisme yang keras dan mencemaskan bagi umat Islam Indonesia dibawa oleh kalangan terdidik yang mendapat pengaruh langsung dari budaya liberalisme, khususnya Amarika Serikat. Mahasiswa yang belajar AS, pulang ke tanah air, lalu ia menjadi pejabat negara, penentu kebijakan, bahkan Menteri pembantu Presiden, mereka silau dengan kebebasan individual di AS, lalu mereka mencoba menerapkannya di Indonesia. Mereka percaya bahwa untuk maju harus disediakan ruang kebebasan bagi mahasiswa dan orang cerdas yang sudah dewasa mampu mengatur diri sendiri.

    Penerapan Hak-Hak Azazi Manusia (HAM) secara bebas dan sepenuhnya mengikuti mazhab liberalisme hedonisme tanpa mengindahkan tradisi dan norma Islam adalah pangkal bala dari kerusakan kehidupan kolektif bangsa Indonesia yang mayoritas muslim.

    Penerapan gaya hidup, tradisi dan norma barat liberal individual pada bangsa yang sudah mengakar budaya kolektif, berdasarkan norma agama, adat dan budaya yang dilandasi nilai-nilai religius telah menjadikan sepertinya urusan agama dengan negara tidak akan pernah selesai. Mengapa, konsepsi yang diperhadapkan antara HAM versi Barat dengan Islam dan peradaban timur. Artinya  melaksanakan ajaran agama itu adalah hak, dimana negara menjamin bangsa untuk memeluk agama dan beribadah menurut kepercayaannya. Masalah menjadi heboh, ketika HAM barat disusupkan ke dalam kehidupan umat, contoh teranyar itu kebebasan seksual. Maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa tidak sedikit pejabat yang menjadikan HAM sebagai kedok untuk mendegradasi nilai beragama.

    Krisis kepercayaan dan saling menghujat di media sosial yang dipicu tindakan orang perorang, seperti trending topik tagar bubarkan MUI adalah wujud nyata dari paham dan pikiran liberalisme barat yang terjadi di tengah komunitas direacuni Barat. Kiranya aparat negara harus jujur dan tegas dalam menjaga marwah dan kepribadian bangsa. Mereka penggagum dan antek-antek Barat sudah menuai buah kebebasan yang dalam waktu tidak lama akan meruntuhkan bangsa Indonesia.

    Kembali pada Permendikbud nomor 30 tahun 2021 mengunakan bahasa hukum adalah satu bentuk regulasi yang berpotensi  menghancurkan moral mahasiswa. Padahal makna pragmatik dan kontek dari pasal 5 itu maknanya jelas memberikan kesempatan sex bebas bagi mahasiswa yang sudah dewasa.

     

    Perspektif Agama dan Peradaban

    Dalam pandangan seluruh agama dipastikan haram, dilarang keras, perbuatan tidak bermoral dan bertanggung jawab apapun bentuk perbuatan yang dapat disebut sebagai kekerasan seksual. Akhlak dan moral agama apapun tidak ada yang membolehkan,  membiarkan dan mendorong pemeluknya melakukan kekerasan seksual. Agama sangat memberi kehormatan pada hubungan seksual lawan jenis melalui institusi perkawinan.

    Islam tegas menyatakan haram (dosa besar) mendekati, dan  menyediakan kesempatan terjadinya pelecehan sosial dan atau hubungan yang tidak legal, zina dan lebih lagi dilakukan dengan kekerasan. Jangan sama sekali kamu dekati zina, itu adalah bejat dan cara yang paling buruk,(QS.17:32).

    Islam tegas dan menolak sama sekali apapun bentuk prilaku menyimpang dengan alasan apapun. Sesungguhnya orang yang senang melakukan perbuatan maksiat dan bohong bagi kaum muslim, mereka akan mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat kelak, (QS.24:19).

    Tindakan pencegahan kekerasan terhadap perempuan diperintahkan Allah swt, agar kaum perempuan muslim tidak mudah disakiti, dan mengalami kekerasan. Perempuan para isteri Nabi, perempuan muslim dan anak perempuannya wajib mengunakan busana muslimah karena itu menjadikan ia mudah dikenal dan terhindar dari kekerasan seksual, (QS.33:59).

    Proteksi kaum perempuan dari kekerasan seksual adalah pegejewantahan dari penghargaan terhadap martabat manusia yang universal. Manusia yang memiliki gender laki-laki dan perempuan, ada bangsa dan suku adalah untuk saling mengenal dan memuliakan, kemuliaan tertinggi ada dalam genggam ilahi, (QS. 49:13).

    Peradaban umat manusia sejak lama anti dan menolak kekerasan seksual, karena itu perempuan dalam jejak sejarah memiliki kedudukan terhormat. Permaisuri, Sultanah ( Raja Perempuan), dan perempuan hebat telah dinobatkan sebagai pilar peradaban bangsa. Dalam budaya Nusantara ada beberapa adat kebiasaan yang protektif terhadap kaum perempuan, di Makassar dikenal dengan budaya sirri. Pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan adalah perbuatan tercela dan berakibat hukum serius. Budaya sirti mengizinkan karib kerabat membunuh laki-laki yang melakukan kekerasan terhadap perempuan saudara dan kerabatnya.

    Adat Minangkabau memposisikan kaum perempuan sebagai induk dan pangkal dari semua aktivitas budaya. Sebutan Bundo Kanduang mengandung makna perempuan sebagai ibu kandung dan mememiliki otoritas kepemilikan harta kaum (pusako tinggi), yang tentu sekaligus membuat kaum perempuan menjadi penting dan wajib dijaga dari bentuk kekerasan dan perlakuan tidak baik.

    Akhirnya ingin ditegaskan bahwa maksud permindikbud untuk mengaffimasi dan memproteksi mahasiswi (kaum perempuan) dari kekerasan seksual menjadi tidak dapat diterima. Kemasan affirmasi untuk liberalisasi adalah nyata. Paradigma dengan mengemasnya melakui regulasi  liberalisasi yang hendak disusupkan dalam perguruan tinggi adalah berbahaya bagi kehadiran peradaban Pancasila yang menjadi cita-cita bangsa sejak awalnya.

    Pengetahuan yang utuh, keyakinan tangguh, dan ketulusan niat yang bersisian dengan kecendikiawan adalah modal moral yang akan dapat menjamin terpeliharannya anak bangsa dari kekerasan dan sikap terpuji lainnya. Meregulasikan moral tidak selalu bermakna positif, ada balikkannya yang menjadi negatif. Semoga diarifi.