Padang,
Khazanah – Peringatan hari lahir wartawan,
sastrawan dan penyair kawakan Indonesia asal Sumbar, Rusli
Marzuki Saria yang ke 88, berlangsung semarak, Selasa (27/02/2024) di Padang. Para
penyair kondang Ranah Minang tampil bergantian membacakan puisi karya Rusli
Marzuki Saria yang akrab disapa Papa.
Sebut
saja Sastry Yunzarti Bakry, Fauzul El Nurca, Syarifuddin Arifin dan lainnya
tampil memukau para hadirin. Bahkan tokoh masyarakat Minang, Buya Masoed Abidin
juga turut membacakan puisi karya sang adik tercinta Hammid Djabar yang
berjudul Beri Aku.
Meski
sudah sepuh, kepiawaian Buya Masoed dalam membaca puisi patut diacungi jempol.
Tepuk tangan hadirin pun membahana usai Buya Masoed membaca puisi. Puncaknya,
sang penyair Rusli Marzuki Saria membacakan puisinya yang berjudul Sembilu Darah.
Ketua Panitia HUT 88
Papa, Isa Kurniawan menyebut, helat
hari lahir Papa ini digelar oleh Komunitas
Pemerhati Sumbar (Kapas) dan
Himpunan Media Sumbar (Hamas) bertajuk Sembilu Darah, yang merupakan salah satu kumpulan puisi
karya Rusli Marzuki Saria.
“Kita
sengaja menggelar parade puisi ini dalam memperingati hari lahir Papa, dengan
tujuan berkesenian untuk menghaluskan nurani. Di tengah kesibukan sehari-hari, kita
perlu sesekali berkesenian agar kebijakan yang dihasilkan berpihak kepada
rakyat,” katanya.
Tahun ini, Rusli Marzuki Saria atau yang akrab disapa Papa
itu, genap berusia 88 tahun. Dia lahir pada 26 Februari 1936 di Kamang Mudiak,
Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Papa tak hanya seorang wartawan, sastrawan, dan
penyair kawakan Indonesia asal Ranah Minang, tetapi Papa juga seorang veteran
pejuang Kemerdekaan RI. Beliau juga pernah menjadi Anggota DPRD Padang.
Penyair,
Pengamat Teknologi dan Transformasi Digital, Ketua Komunitas Jagat Sastra
Milenia, Riri Satria juga tampil memeriahkan hari lahir Papa dalam diskusi
bertajuk “Dunia Perpuisian di Era Kecerdasan Buatan”. Menurut Riri yang
merupakan Dosen Fakultas Ilmu Komputer UI ini, pada era kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) saat ini, banyak jenis profesi
yang hilang.
“Lalu,
apakah profesi penyair atau pencipta puisi bisa pula digantikan oleh AI. Maka mari
kita bahas dalam diskusi ini,” ujar Riri.
Dijelaskan,
pada 1997, untuk pertama kalinya computer berhasil mengalahkan pecatur top
dunia, Gary Kasparov dalam sebuah pertarungan legendaris beberapa putaran di
New York. Butuh waktu 40 tahun penelitian di bidang kecerdasan buatan (AI) khususnya
dalam algoritma permainan catur.
Jika
dibawa ke dunia perpuisian, lanjutnya, ada aplikasi di komputer yang bisa
membuat puisi. Pada awalnya, semua puisi yang dihasilkan masih sangat kaku. Namun
seiring waktu, puisi yang dihasilkan makin bervariasi wujudnya, bahasanya serta
semakin puitis. Meski demikian, computer membuat puisi menggunakan pola dan
bahasa yang diajarkan kepadanya.
“Jadi
walau komputer ini melakukan kreativitas, namun itu adalah kreativitas yang
algoritmatik, tanpa melibatkan rasa atau proses batiniah. Jadi bukan kreativitas
yang sebenarnya,” terang Riri. (devi)