×

Iklan

FAUZI BAHAR :
Peran Presiden atau Kepala Daerah Hampir Sama dengan Manajer

13 Februari 2022 | 21:20:11 WIB Last Updated 2022-02-13T21:20:11+00:00
    Share
iklan
Peran Presiden atau Kepala Daerah Hampir Sama dengan Manajer
FAUZI BAHAR – Mantan Walikota Padang Fauzi Bahar.

Padang, Khazminang.id—Diakui atau tidak, fakta membuktikan jamak ditemui di setiap momen menjelang proses pemilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada), di semua negara maupun daerah akan berasa “gerah”, karena proses demokrasi memungkinkan banyak muncul figur yang merasa berkompeten untuk terjun ke konstelasi politik.

Saat itu pula masyarakat akan disuguhkan pada banyaknya pilihan calon pemimpin yang siap bertanding dengan keragaman gagasan dan latar belakang pemikirannya. Sampai pada titik ini muncul pertanyaan sederhana, seberapa besar dampak kualitas kepemimpinan (leadership) seorang kepala pemerintah terhadap kualitas pembangunan di wilayahnya?

Untuk mengulik persoalan ini, khazanah berupaya menggali pendapat Letkol Laut (P) (Purn) Dr. H. Fauzi Bahar, M.Si gelar Datuk Nan Sati, dosen Program Studi Manajemen Bencana Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan Indonesia dan juga mantan Walikota Padang dua periode, (2004–2009) dan (2009–2014).

Kata Fauzi Bahar, sebagai negara yang menganut sistem ekonomi Pancasila, peran negara sangat kuat dalam alokasi, distribusi dan stabilisasi sumber daya. Ini membawa konsekuensi seorang pemimpin dalam proses pembangunan tidak bisa disebutkan dalam level ekstrem seperti "sangat absolut" atau "sangat minor", tetapi berorientasi pada penciptaan kesejahteraan bagi masyarakat (welfare state).

“Kenapa saya katakan demikian, karena pada konsep permulaannya, komposisi partisipasi pembangunan justru lebih besar diberikan kepada rakyat sebagai representasi prinsip demokrasi, dan seorang pemimpin justru hanya berfungsi sebagai stabilizer.

Itu artinya kata mantan Pasiminpers Satuan Pasukan Katak (Sapaska) Komando Armada Barat (Koarmabar) dan mantan Paban (Perwira Pembantu) Perawatan Personel (Warpers) Staf Personel (Spers) Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) ini, bila muncul ketimpangan kesejahteraan, peningkatan kemiskinan, dan instabilitas sosial muaranya tentu pada “lakek tangan” seorang pemimpin.

Pada tahap inilah kata pria yang juga dikenal sebagai Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatra Barat dan juga Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Agama Islam (PB PGAI) Sumatera Barat ini, figur pemimpin layaknya seorang Satria Piningit atau penyelamat sangat diharapkan kehadirannya.

Jadi karena itulah, kata pria kelahiran 6 Agustus 1962 ini, idealnya masyarakat harus jeli ketika saat memilih orang yang akan dijadikan pemimpin. Artinya jangan menunggu Satria Piningit datang setelah munculnya ketimpangan kesejahteraan, peningkatan kemiskinan, dan lainnya.

“Masyarakat perlu berhati-hati dalam memilih seorang pemimpin, jangan hanya lihat covernya saja. Karena bisa jadi apa yang ada di balik tubuh seorang pemimpin, ia adalah merupakan wajah pembangunan di masa depan,” kata putra asli daerah Ikua Koto, Koto Tangah, Kota Padang ini.

Itu artinya kata Fauzi Bahar, dengan kuasa politiknya, seorang pemimpin justeru bisa menggunakan sumber daya (resources allocated) untuk menentukan target-target pembangunannya.

“Sebenarnya tahapan-tahapan pembangunan tidak jauh-jauh dari konsepsi ilmu manajemen dasar yang terdiri tahap perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (actuating), dan pengawasan (controlling). Prinsip manajemen sangat diperlukan untuk mengawasi dan memonitor aspek sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di wilayahnya,” ujar anak keempat dari enam bersaudara dari ayah bernama Baharudin Amin, lebih dikenal dengan sebutan Wali Bahar, karena pernah menjabat sebagai wali nagari pada zamannya dan ibunya bernama Nurjanah Umar, seorang guru agama sekolah dasar di Ikur Koto yang juga aktivis Muhammadiyah.

Keempat tahapan tersebut kata Fauzi Bahar, menjadi sebuah siklus yang ideal dan akan terus dilakukan sepanjang usia kepemerintahan masih tetap berjalan. Ia pun meanalogikan bagaimana tahapan proses pembangunan yang ideal dalam sebuah siklus kepemerintahan.

Menurutnya, tahap perencanaan bisa diperumpamakan seperti memilih gerbang mana yang paling dekat dengan cita-cita kesejahteraan. Seorang pemimpin akan dibekali dengan sumber daya keuangan (dari APBN/ABPD) dan ruang manajemen politik yang leluasa untuk menentukan strategi-strategi pembangunannya.

“Dalam hal ini perencanaan dianggap sebagai proses vital karena mencakup keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan alternatif penggunaan sumber daya yang efektif dan berkesinambungan. Strategi pembangunan akan menentukan cara yang terbaik untuk mencapai kombinasi sumber daya yang ideal di tengah hadangan berbagai keterbatasan, sehingga pemerintah harus mampu menyusun hierarki target prioritas yang tepat dan sesuai dengan visi politiknya. Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang kuat agar tujuan kegiatan terfokus pada pencapaian yang sudah ditetapkan,” kata suami dari Dra. Hj. Mutiawati, wanita kelahiran Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, yang merupakan adik kelasnya di IKIP Padang (UNP).

Ia pun mengingatkan, kendati perencanaan itu terlihat sederhana, namun bukan berarti tugas perencanaan selalu terasa semudah membalikkan tangan. Karena pada kenyataannya seorang pemimpin sering bermasalah di balik proses-proses perencanaan yang begitu ambisius.

Sementara dalam tahap organizing, seorang pemimpin akan mulai mendeterminasi visi-misi politiknya kepada struktur pemerintah di bawahnya dan bisa jadi akan berhadapan dengan banyak kepentingan dari sektor-sektor tertentu.

Ketiga, tahap actuating atau pelaksanaan, kata Fauzi, ada beberapa prinsip yang amat penting dalam proses pelaksanaan pembangunan, yang sebetulnya lebih ideal jika dilakukan sejak tahap perencanaan. Prinsip-prinsip ini terdiri atas unsur partisipatif, dinamis, dan berkesinambungan. Prinsip partisipatif memiliki arti bahwa pemerintah mengakomodasi banyak pihak yang berkompeten untuk terlibat dalam tahap pelaksanaan pembangunan.

Keempat, yakni proses controlling atau pengawasan atau evaluasi. Terkadang kata Fauzi Bahar, justru tahap inilah yang menentukan langkah awal berikutnya, karena tahap evaluasi akan mengurai bagaimana jalannya tahap-tahap sebelumnya dan menghimpun kesimpulan yang sifatnya komprehensif, untuk kemudian menjadi rekomendasi kebijakan berikutnya.

Jika ada sektor-sektor yang tidak mencapai target, pemimpin harus memberikan sanksi dan pembinaan. Begitu juga sebaliknya, jika pemimpin sektoral mampu berkinerja sesuai dengan target harus diberikan insentif yang memadai, apalagi jika mereka mampu memunculkan inovasi-inovasi baru.

Jadi kata Fauzi Bahar, peran seorang presiden atau kepala daerah kurang lebih hampir sama dengan seorang manajer atau pimpinan direksi dari sebuah perusahaan. Karakter pemimpin yang ideal adalah mereka yang memiliki visi yang tajam dan terukur, fokus dalam perencanaan, inovatif dan dinamis dalam pelaksanaan, serta mampu mengombinasikan keragaman sumber daya yang ada di dalamnya untuk mewujudkan pembangunan yang adil, produktif, dan inovatif. Untuk itu ia mengimbau masyarakat sama-sama menjadi mitra kritis dalam pengawalan proses demokrasi, agar pemerintah tetap semangat dan konsisten menjalankan visi-misi pembangunan di negeri ini. (Febriansyah Fahlevi)