Jakarta — Hingga
akhir 2023, capaian Perhutanan Sosial di Sumbar sebanyak 205 unit, dengan luas
akses kelola 287.553 hektare dan telah memfasilitasi 175 ribu Kepala Keluarga
(KK). Capaian ini merupakan sumbangsih dan bentuk komitmen Pemprov Sumbar untuk
mencapai target Perhutanan Sosial Nasional sebesar 12,7 juta hectare.
Sejauh ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)
sudah mengalokasikan kawasan hutan untuk dikelola masyarakat Sumbar seluas 700
ribu hektare lebih. Sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah, Pemprov
Sumbar terus berkomitmen untuk meningkatkan kolaborasi demi kemajuan Perhutanan
Sosial di Sumbar.
“Perhutanan Sosial sudah masuk dalam RPJMD Sumbar tahun
2021-2026 dengan target luas 50.000 hektare per tahun,” kata Gubernur Sumbar,
Mahyeldi saat menghadiri Peringatan 10 Tahun World Resources Institute (WRI)
Indonesia di Thamrin Nine Ballroom, Jakarta, Senin (05/08/2024).
Dalam hal ini, lanjut Mahyeldi, WRI Indonesia secara
khusus telah bekerja sama dengan Pemprov Sumbar dalam Fasilitasi Perhutanan
Sosial, baik dalam proses penyiapan maupun pengembangan usaha. Untuk itu
pihaknya memberikan apresiasi dan ungkapan terima kasih kepada WRI dan
Kementerian LHK RI, yang terus mendukung komitmen Pemprov Sumbar dalam
pengelolaan Perhutanan Sosial di Sumbar.
Ia merinci, sejak 2021, WRI Indonesia bersama Pemprov
Sumbar telah berkegiatan di lebih 20 nagari (desa), meliputi kegiatan
percepatan akses kelola kawasan hutan oleh masyarakat, yang telah berjalan
hingga pertengahan tahun 2024 dengan capaian 12.409 hektare dan dua skema Hutan
Adat seluas 445 ha yang lokasinya berada di luar kawasan hutan.
“Kami juga bermohon kepada Ibu Menteri LHK, agar
pengakuan terhadap Hutan Adat seluas 445 hektare tersebut dapat segera terbit
persetujuannya,” ujar Mahyeldi dalam acara yang juga dihadiri oleh Chairman of
The Board WRI Indonesia, Dino Patti Djalal, serta Board Member WRI Indonesua
dan Global Board of Directors WRI, Mari Elka Pangestu tersebut.
Bukan saja akses kelola, sambung Mahyeldi, kolaborasi WRI
dengan Pemprov Sumbar juga telah mendorong lahirnya unit-unit usaha berbasis
kehutanan di pinggir hutan, dan berkembangnya komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu
yang mendukung ketahanan pangan di Sumbar. Beberapa unit usaha yang telah
berkembang tersebut antara lain, KUPS Agroforestri, KUPS Ekowisata, KUPS Madu
Galo-Galo, KUPS Asam Kandis, dan lainnya.
“Pada 2020, pendapatan petani hutan sekitar Rp1,5 juta
rupiah per bulan. Pada 2021 meningkat jadi Rp1,7 juta. Tahun 2022 meningkat
lagi jadi Rp1,9 juta, serta pada tahun 2023 berdasarkan hasil survei pendapatan
petani hutan Sumbar menjadi Rp 2,3 juta/bulan,” terang Mahyeldi.
Selain itu, Pemprov Sumbar juga telah mengesahkan Perda
Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perhutanan Sosial. Serta, untuk mendukung
pengelolaan data dan informasi Perhutanan Sosial, Pemprov telah membangun
Sistem Informasi Perhutanan Sosial Sumatera Barat (SIPS SUMBAR), yang
menyajikan data progres Perhutanan Sosial dan perkembangan Kelompok Usaha
Perhutanan Sosial (KUPS) di dalamnya.
Sementara Direktur WRI Indonesia, Nirarta Samadhi
menyebutkan, 10 tahun usia WRI memang masih terhitung muda bula dibandingkan
dengan ruang lingkup dan jaringan organisasi masyarakat sipil lain yang telah
hadir lebih dulu di Indonesia. Namun, usia itu bukan faktor penghalang WRI
untuk berkarya.
“Terutama untuk membangun reputasi dan jaringan dalam
kerja dan karya di bidang lingkungan hidup dan pembangunan, baik secara
nasional maupun global. Selama satu dekade terakhir, semangat inilah yang
mendorong kami untuk terus membangun momentum dan memanfaatkan peluang untuk menjadi perubahan
sistemik,” ujar Nirarta. (devi/adpsb)