gamawan_fauzi |
Oleh: DR. H. GAMAWAN FAUZI Dt. Rajo Nan Sati
Tanggal 24 Oktober lalu waktu Abu Dhabi, atau
tepatnya sekitar Minggu dini hari, jam 01.10 Waktu Indonesia Barat, jutaan pasang mata menunggu
pertandingan perbutan juara MMA atau Bela Diri Campuran
kelas ringan
antara Khabib Nurmagomedov dan Justin Gaethje.
Dua petarung ini memang luar biasa. Masing
masing memiliki keunggulan dalam bertarung. Khabib Nurmagomedof pemegang sabuk
juara, adalah adalah petarung dengan basic bela diri gulat, memiliki reputurasi luar
biasa. Dari 28 kali pertandingannya di UFC belum satu kalipun mengalami
kekalahan.
Sementara itu, sang penantang Gaethje adalah
juara kelas bulu Ad interm juga punya track record yang hebat. Selama kariernya
di UFC, hanya pernah mengalami 2 kali kekalahan. Yaitu dari Edy Alvares dan
Porier. Terakhir Gaethje tampil, saat dia menghabisi perlawanan Toni Farkuson dengan TKO. Farkuson
yang oleh banyak pengamat digadang-gadang akan dapat menghentikan kedigdayaan Khabib dan dengan mudah
menghentikan Gaetje, ternyata kalah mengenaskan dari tangan Gaethje beberapa
waktu lalu, setdlah wasit menilai dia tak mampu lagi melanjutkan perlawanan. Sekujur
wajahnya bermandi darah dan mengalami luka menganga di beberapa tempat.
Tapi bukan jalannya pertarungan Khabib dan
Gaethje yang menjadi penting, melainkan sisi lain dari pertandingan itu yang
sangat mengesankan saya. Lewat menit pertama ronde kedua pertandingan itu,
Khabib telah berada pada posisi di atas Gathje. Sebenarnya dia dengan leluasa bisa
mendaratkan sejumlah pukulan keras ke wajah Gaethje dan bisa membuat Gaethje
berdarah-darah.
Dia juga bisa melakukan kuncian Ambar atau
Kimura, yang berakibat tangan Gaethje patah atau cidera berat. Tapi Khabib
tidak melakukan itu. Dia memilih kuncian Triangle choke untuk mengakhiri
perlawanan Gathje. Terlihat Gaethe kehilangan kesadarannya sejenak, lalu wasit
menghentikan pertarungan itu, dan beberapa detik setelah kuncian dilepaskan
Khabib, Gaethje kembali siuman. Khabib seperti biasa, langsung melakukan sujud
syukur dan meneteskan air mata.
Gaerhje yang sudah siuman dari pingsannya
menghampiri Khabib, dan mereka berpelukan. Terlihat dalam video mereka saling
bicara singkat. Belakangan isi ucapan mereka itu di ungkapkan masing-masing. Gaethje
mengatakan kepada Khabib, selamat, almarhum ayahmu pasti bangga dengan hasil
pertarunganmu hari ini. Sementara Khabib mengatakan kepada Gathje, hormati
kedua orang tuamu.
Lalu kenapa Khabib tidak menghujani Ghaethje
dengan pukulan atau mengunci Ghaethje dengan Ambar atau Kimura disaat dia dapat
melakukannya terhadap Gaethje? Daniel Cormer, mantan petarung kelas berat
sahabat Khabib mengatakan, bahwa dia tak ingin mematahkan tangan Gaethje, dia
merasa sungkan melakukan itu di depan ayah dan ibu Gaethje yang menyaksikan
langsung pertarungan itu disisi octagon.
Ali Muchtar Ngabalin dan Musni Umar pada saat hampir bersamaan, di luar octagon terjadi pula
perseteruan Staf Ahli Utama Presiden, Ali Muchtar Ngabalin yang populer itu
dengan Prof. Musni Umar, Rektor Universitas Ibnu Khaldun. Ketika ada ucapan Ali
Mukhtar Ngabalin yang berharap agar polisi menangkap Refly Harun dan Ustad Muhamad Yahya Maloni,
muncul tanggapan Musni Umar, bahwa apa yang di sampaikan Ngabalin itu adalah
politik bumi hangus.
Tak senang dengan komentar Musni, kemudian
Ngabalin menanggapi dengan kalimat
"katanya Rektor, tapi isi kepalanya hanya sampah".
Musni pun tak surut, komentar Ngabalin di tanggapi dengan mengatakan, bahwa
"sampah itu kalau isi kepalanya hanya berpikir menjilat"
Saya masih menunggu apa lagi balasan Ngabalin
dengan kata kata Musni tersebut, saat tulisan ini dibuat. Sulit ditebak, apakah
akan ada kalimat sejuk ataukah "Bumi Makin Panas".
Dari dua peristiwa yang terjadi di saat umat Islam
merayakan Maulid Nabi Muhammad Saw, saya dapat memetik pelajaran berharga.
Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah berkata, Innamal buistu liutamimma makrimak Akhlaq., tidak lah aku diutus Allah, melainkan untuk memperbaiki budi pekerti
dan akhlaq manusia.
Dari kandang Octagon yang sering berdarah
darah, seorang petarung muslim tak terkalahkan dari 29 kali pertandingannya,
mengajarkan kepada saya, betapa mulianya akhlak Khabib. Dia mengajarkan kepada
saya bagaimana dia "menenggang perasaan" lawan tandingnya di depan orang tua
lawannya itu dengan menang tanpa mau mencederai, padahal dia bisa melakukannya.
Kemudian, dia pun berbisik, "Hormati kedua orang tuamu".
Setelah pertandingan usai, dia pun
memproklamirkan pengunduran dirinya dari olahraga itu, demi memenuhi janjinya
kepada ibunya, bahwa tanpa didampingi ayahnya dia tak akan bertanding lagi, dan
laga ke 29 itu adalah laga terakhirnya di Octagon. Dia pun menepatinya. Karena janji
adalah utang dan utang wajib untuk dibayar.
Khabib, bukanlah ulama, Khabib juga bukan
pendakwah. Tapi sikapnya, perilakunya dan kata-katanya yang sedikit itu penuh dengan ajaran. Dia
mengajari saya dan mungkin jutaan orang lain berakhlaqul karimah. Dia tak
bicara "melukai" orang lain, sekalipun lawan tandingnya. Bahkan dia
mengajarkannya untuk memuliakan lawan tandingnya agar memuliakan orang tuanya,
kendatipun dia tak merujuk hadis yang berbunyi ”Ridhallahi fi radha
walidain, wa sukhtullahi fi sukhti walidain",
yang artinya, Ridha Allah terletak pada keredhoan ibu bapak, dan kemurkaan Allah terletak
pada kemurkaan ibu bapak.
Lalu apa yang saya perdapat dari perseteruan
Ngabalin? Tak lain hanya berharap, semoga dari hati dan lidah yang sepenggal
ini, tak keluar kata-kata kasar yang merendahkan orang lain. Karena pangkat, kedudukan dan
harta, bukanlah ukuran mulia, tapi kemuliaan seseorang terletak pada akhlaknya
dan ketaqwaannya.
Mudah-mudahan negeri ini akan banyak melahirkan manusia-manusia berakhlak mulia
seperti di contohkan, dan melalui dakwah bilhal nya Khabib, sehingga bangsa ini tumbuh
menjadi bangsa yang makmur, sekaligus berakhlak mulia. Bukankah salah satu
program Presiden Jokowi adalah Revolusi mental?
Kita tunggu dengan sabar waktu untuk
membuktikan.
Wassalam --GF
(Penulis pernah menyandang sabuk hitam karate Lemkari/Inkanas)