![]() |
Oleh: Eko Yanche Edrie
(Wartawan dari Sumbar)
Derby sebenarnya adalah nama sebuah kota kecil di Inggris, persisnya di
Inggris Tengah. Tapi apakah kota tempat industri mobil mewah Rolls-Royce itu
penggila bola, sehingga pertandingan sepakbola antara klub satu kota disebut
partai derby? Entahlah.
Yang jelas partai derby selalu heboh, lantaran pendukungnya merupakan
warga dari kota yang sama. Derby yang acap ditungguh adalah play match antara Manchester United
melawan Manchester City. Keduanya jadi musuh bebuyutan dari kota Manchester. MU
berjuluk the Red Army tapi pendukung
garis keras menjuluki mereka the Red
Devils alias setan merah, bermarkas di pinggir kota. Tapi MC menggunakan
posisi homebase nya di pusat kota
untuk mengejek pendukung MU. MC menggunakan julukan Citizens, mereka merasa lebih jadi orang pribumi, tinggal di pusat
kota. Laga kedua M ini selalu panas dan polisi berjaga ketat.
Derby lain ada di Italia, antara Inter Milan dan AC Milan. Kedua klub
papan atas Italia itu membangun rivalitas sengit sejak zaman behaula. Inter Milan
yang berjuluk Il Nerazzurri (atau si
Biru Hitam) atau kadang disebut fans nya sebagai Il Biscone, memang selalu memantik histeria penggila bola Italia. AC
Milan juga agak mirip MU di Inggris, sama-sama menggunakan ‘setan merah’ (Il Diavolo) sebagai julukan.
Di Rusia derby direpresentasikan antara Spartak Moscow melawan Dynamo
Moscow. Di negeri kita derby Jatim antara Persebaya dan Arema FC bahkan membawa
kesedihan panjang dengan pecahnya kerusuhan di Stadion Kanjuruhan.
Pertandingan dengan laga sekandang memang bagus untuk ditonton bila
memang ditampilkan permainan yang cantik. Harus diingat, sehebat apapun yang
betanding, tapi tanpa penonton, fans dan pendukung, laga hebat itu tiada
bermakna.
Pagi ini terlalu panjang cerita saya tentang derby sepakbola. Semalam
saya begadang menonton derby yang lain malalui fasilitas video call teman.
Derby tanpa bola di arena Kongres PWI ke-25 di hotel El Bandung. Ini adalah the real derby, ketika tiga wartawan
senior berlaga pada konstestasi Pemilihan Ketua Umum (Pilketum). Karena
ketiga-tiganya sebenarnya berasal dari daerah yang sama. Petahana Atal
Sembiring Depari berasal dari Medan Sumatera Utara, begitu juga dengan Hendry
Chaerudin Bangun, dari namanya saja sudah menunjukkan alasan saya menuliskan
bahwa konstestasi ini adalah derby halak hita.Saya jadi tidak punya referensi
apabila dalam sebuah pertandingan sepakbola kalau pesertanya ada tiga klub dari kota yang sama, bagaimana
menyebutnya? Apakah tetap kita pakai derby? Masalahnya, di Kongres XXV ini ada
tiga calon Ketum. Selain yang dua itu ada nama Zulmansyah Sakedang. Meskipun ZS
adalah adalah Ketua PWI di Riau, tetapi dari namanya pun kita jadi tahu bahwa
laga segitiga ini adalah antar-halak hita. Sakedang adalah salah satu nama
marga saudara kita di Sumatera Utara atau berbatasan dengan Aceh di Tanah Alas.
Karena penumpukan dukungan sejak awal terasa berat ket dua kubu, bang
Atal dan bang Hendry, boleh kan kalau saya beri tamsil: dua gajah bertarung?
Hasilnya –dari yang saya ikuti di video call kawan—putaran pertama 40-39-9
untuk Atal-Hendri-Zulmansyah. Karena tidak mencapai 50% plus 1, maju ke putaran
dua. Jika pada tamsil dua gajah bertarung, mati pelanduk di tengahnya, itu
berarti Zulmansyah pelanduk. Tapi dalam hal ini, Zulmansyah bukan pelanduk
terhimpit, melainkan adalah lakon yang amat berperan besar. Berperan besar
sebagai ‘a king maker’ lantaran sembilan suara yang dikuasainya bisa diberikan
ke Bang Atal atau Bang Hendry. Terserah Zul, ke siapa ia melabuhkan kapalnya.
Eng ing eng…..Pilketum jilid II berlangsung sampai dini hari, Ketika
mendekati subuh, palu pimpinan sidang berdentam: Hendry Chaerudin Bangun, jadi
Ketua Umum! Delapan dari suara Zul dan pendukungnya diberikan ke HCB, satu
suara diserahkan ke ASD. Skor berakhir dengan 47-41 untuk kemenangan HCB.
Siapa yang menang? Seara bercanda saya dan Bung Zulnadi menyebut bahwa
yang menang adalah halak hita juga. Tapi sesungguhnya ini adalah kemenangan
bersama. Kemenangan untuk niat memperbaiki PWI menjadi organisasi profesi yang
benar-benar baik dan on the track. Kenapa saya sebut demikian? Karena
ketiga-tiga wartawan hebat ini sama-sama mendeklarasikan niat ‘membangun PWI
yang lebih baik’. Tak ada yang berniat buruk untuk maju jadi Ketum, semua
menyatakan bahwa mereka akan maju untuk sama-sama mewakafkan waktu dan
tenaganya menggelindingkan roda organisasi ke depan lebih, cepat, lebih
harmonis, lebih berdayaguna dan berhasilguna.
Selain sejumlah isu besar yang selama ini mengguncang PWI, sejumlah
pekerjaan rumah yang kadang sering terlupakan oleh PWI perlu jadi perhatian. Misalnya,
penggunaan nomenklatur ‘wartawan’ dan ‘pers’ oleh para anggota PWI. Para
pendahulu sudah berjuang mencarikan padanan kata ‘journalist’ ke dalam bahasa
Indonesia, yakni ‘wartawan’ kenapa tidak kita budayakan terus menggunakannya?
Bukankah itu lebih nasionalis? Dalam banyak pemberitaan kata ‘kepada pers’
sudah hampir terlupakan, berganti dengan ‘kepada awak media’. Apakah semua awak
media adalah wartawan? Begitu juga dengan ‘Bung’. Para pendahulu PWI
membudayakan prinsip kesetaraan sapaan dengan menggunakan kata Bung, tapi
belakangan mulai tak kita gunakan, Semua sudah menyapa, ‘bapak’, ‘abang’.
Egalitarianisme yang ada dalam jurnalisme menjadi terpinggirkan rasanya.
Pernah kan kita para wartawan mengurus administrasi kependudukan, SIM,
KTP, Pasport dan sebagainya? Pada form isian (borang) yang merujuk ‘pekerjaan’
tidak akan ditemukan pilihan ‘Wartawan’. Yang ada PNS, TNI, Polri, Guru,
Pengusaha, Dokter atau Karyawan Swasta. Kita jadi dianggap tak layak
mencantumkan pekerjaan kita ‘Wartawan’ di KTP atau SIM atau Pasport. Kita hanya
punya pilihan ‘Karyawan Swasta’
Marwah wartawan juga jatuh ke titik nadir, ketika berurusan dengan bank.
Jika mencantumkan profesi sebagai wartawan, jangan harap urusan kredit yang
diajukan akan kelar dengan mudah.
Tidakkah semua itu ‘hal kecil’ yang menggelisahkan, bung?
Kini derby sudah selesai, semua sudah salaman dan berangkulan. Pengurusan yang dipimpin duet Bang Hendry dan Mas Sasongko tentu tidak boleh mengulangi apa-apa yang kurang pada kepengurusan sebeumnya, tetapi meneruskan apa-apa yang sudah baik dan menyempurnakannya. Kata orang Minang, setelah pertandingan ‘biduk lalu kiambang bertaut’. Kiambang adalah para pendukung biduk-biduk yang lewat, begitu biduk maju, kiambang-kiambang (jenis eceng gondok) yang tadi bercerai berai bersatu kembali. Kita dukung bersama-sama. Semangat Bandung,….Ayo Bung, Rebut kembali….