Raihan Al Karim. |
Oleh: Raihan Al Karim
(Wartawan Muda)
Kepada yang terhormat, Bapak Presiden Joko Widodo di tempat.
Izinkan saya menyampaikan banyaknya kecemasan rakyat Indonesia. Sebelumnya, saya ingin menghaturkan terima kasih kepada Bapak Presiden yang telah menjaga hak politik kami dengan melanjutkan Pilkada 2020, sekalipun pandemi Covid-19 ini belum kunjung membaik di tanah air yang kita cintai ini.
Pada Senin 21 September 2020 lalu, melalui Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman, Bapak menegaskan tetap nekat menyelenggarakan Pilkada serentak di 270 daerah ini, guna menjaga hak konstitusi rakyat untuk memilih dan dipilih.
Memang benar, hak politik setiap warga begara Indonesia itu diatur tegas dan tertuang dalam Undang-undang Dasar (UUD) Tahun 1945. Pada Pasal 1 ayat (2) menjamin hak memilih dan dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 juga menjamin hak warga negara untuk dipilih. Tetapi, ingatkah Bapak, juga ada Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang isinya menjamin hak hidup sebagai salah satu hak mendasar seluruh warga negara sebagai manusia, Pak?
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun," begitulah kira-kira bunyi Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 itu.
Tak hanya itu, ada juga ihwal jaminan negara terhadap kesehatan warganya, dan bukankah itu juga diatur konstitusi, Pak Jokowi? Kalau saya tidak salah membaca, dalam Pasal 28 A UUD 1945 disebutkan "Semua orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Kemudian ditegaskan kembali dalam Pasal 28H ayat 1 bahwa, "Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan".
Bagi saya dan juga sebagian warga negara lainnya, jika diminta datang ke TPS untuk memilih, mungkin kami akan mengutamakan dan meminta hak hidup dan hak untuk sehat kami terlebih dahulu, Pak. Dan mungkin tak akan jadi masalah jika hak kami untuk memilih dan dipilih tertunda hanya untuk beberapa saat. Seperti yang diungkapkan Anggota DPD RI, Alirman Sori, kalau Pilkada ini ditunda, tidak akan kiamat kan republik ini, Pak? Toh, ada 70 negara yang telah memutuskan penundaan pemilu sejak pandemi Covid-19 melanda.
Proses Pilkada serentak yang sedang berlangsung saat ini, tampaknya benar-benar mesti segera dihentikan, Pak. Keselamatan masyarakat harus diutamakan di atas kepentingan pribadi dan partai politik. Jika tidak, Pilkada seretak di 270 daerah ini, bisa saja menjadi Pilkada berdarah.
Percayalah, di tengah pandemi Covid-19 yang kian mengganas, pesta demokrasi itu sangat mudah berubah menjadi pesta penularan virus, sekalipun pesta demokrasi itu direncanakan akan dilaksanakan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
KPU memang telah mengeluarkan peraturan baru untuk memastikan pilkada aman. Dalam aturan KPU sebelumnya, kampanye tatap muka boleh diikuti maksimal 100 orang, sedangkan kini hanya boleh diikuti separuhnya. Peraturan KPU juga melarang penyelenggaraan rapat umum, konser musik, pertunjukan seni, jalan dan sepeda santai, perlombaan, serta aneka kegiatan sosial yang memungkinkan terjadinya pengumpulan orang.
Tetapi Pak, ketika di lapangan, tak ada jaminan peraturan bakal dipatuhi. Saya pribadi, pesimis terhadap suksesnya rencana penerapan protokol kesehatan yang ketat saat Pilkada serentak ini. Setidaknya ada 2 alasan yang menguatkan perasaan pesimis saya ini.
Pertama, kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pentingnya menerapkan aturan protokol kesehatan. Kedua, penegakan aturan oleh pemerintah yang masih lemah untuk memaksa masyarakat menerapkan aturan tersebut. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya kasus Covid-19 di tengah-tengah masyarakat kita.
Berdasarkan data yang saya himpun hingga hari ini, Sabtu 24 Oktober 2020, rata-rata kematian akibat Covid-19 di Indonesia saat ini 3,4%. Di mana tercatat angka kematian sempat mencapai angka 4,3% pada 30 Agustus lalu dari jumlah terakumulasi Covid-19. Sementara itu, tercatat kasus Covid-19 bertambah 4.070 kasus. Sehingga akumulasi sebanyak 385.980 orang.
Sementara, dikutip dari laman World O Meters, per Sabtu pagi, 24 Oktober 2020, penambahan kasus di dunia tercatat sebanyak 467.775 orang. Di Asia Tenggara (ASEAN), Indonesia dan Filipina menjadi dua negara dengan kasus Covid-19 terbanyak.
Kini, Tanah Air berada di peringkat 5 Asia dan 19 dunia dengan mengonfirmasi kasus baru sebanyak 4.369 orang. Indonesia juga menempati peringkat pertama di ASEAN, dan ketiga se-Asia untuk kasus kematian akibat Covid-19.
Seperti isi surat 'terbuka' dari seorang dokter jantung di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) M Djamil Padang, dr. M. Fadil untuk Gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Irwan Prayitno pada akhir bulan Agustus lalu, benteng terakhir hampir kolaps, kita hampir kalah, Pak.
Saya sangat setuju dengan kalimat yang sering bapak ucapkan, yaitu "Tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi berakhir". Tetapi, saya rasa, Bapak bisa memastikan amanat UUD 1945 tentang "Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia" dapat ditunaikan oleh negara yang Bapak pimpin dengan cara menunda Pilkada. Terakhir, dengan data itu, sungguh penundaan Pilkada adalah opsi terbaik saat ini agar pesta demokrasi itu tidak menjadi pesta penularan virus. (*)