Oleh: H. Gamawan Fauzi
Dalam dua kali pemilihan presiden di Sumatera Barat, Jokowi selalu kalah telak dari Prabowo Subianto. Namun ketika di akhir masa jabatannya yang kedua begitu derasnya kritik bahkan hujatan kepada Jokowi, ternyata orang Minang atau Sumatera Barat adem-adem saja. Mereka tidak ikut-ikutan menghujat presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya. Padahal, banyak di antara (bekas) pendukung Presiden Jokowi sendiri yang sudah 'balik badan' dari pemuji menjadi pencaci.
Tak lama setelah pemilihan presiden (pilpres) 2019 dan muncul hasil survei kepuasaan publik atas kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) pertengahan 2021, saya menulis artikel untuk media online dengan judul 'Ada Apa Lagi dengan Sumatera Barat?' Judul ini saya pilih karena begitu berbedanya hasil pilpres secara nasional dengan Sumatera Barat. Demikian pula hasil survei kepuasaan atas kinerja Jokowi per Juli 2021, di mana secara nasional tingkat kepuasan publik mencapai 59 persen, sementara di Sumatera Barat hanya 20-an persen, dan hampir 70 persen menyatakan tidak puas.
Dalam pemilu 2019, secara nasional pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin menang dengan perolehan suara 55,5% dibandingkan raihan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang 45,5% dengan suara beda hampir 17 juta.
Sementara di Sumatera Barat, Jokowi-Ma'ruf hanya meraih 14,08% suara dibandingkan Prabowo - Sandi yang berjaya meraup 85,92% (407.761 suara berbanding 2.488.733 suara). Padahal, pada pilpres kedua ini sebanyak 10 dari 18 kepala daerah (bupati dan walikota) di Sumatera Barat mendeklarasikan dukungan terhadap Jokowi - Ma'ruf.
Raihan suara Jokowi di Sumatera Barat kali ini lebih rendah dibandingkan yang diperoleh pada pilpres sebelumnya. Pada Pilpres 2014, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla meraih 23,08% dibandingkan 76,92% yang diraih Prabowo-Hatta Radjasa. Sementara secara nasional Jokowi menang dengan 53,15% berbanding Prabowo 46,86%.
Demikian pula dalam berbagai pengawasan kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi, baik pada periode pertama maupun kedua, ada perbedaan signifikan antara angka nasional dengan Sumatera Barat. Selama periode pertama (2014-2019), tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi di Sumbar selalu di bawah 50%. Hasil survei Indobarometer bulan Mei 2018, misalnya, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla secara nasional tercatat 68,5%, namun di Sumatera Barat di bawah 50%. Pada periode kedua, ada sedikit perbaikan dalam kepuasan publik atas kinerja pemerintahan Jokowi. Misalnya hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) tanggal 26 Juni - 10 Juli 2023, kepuasan publik Sumatera Barat atas kinerja Jokowi meningkat jadi 55%. Meski jauh di bawah tingkat kepuasan secara nasional yaitu 81%, namun menurut peneliti utama IPI, Burhanuddin Muhtadi, ini pertama kali kepuasan atas kinerja pemerintahan Jokowi di Sumatera Barat di atas 50%.
Burhanuddin mengatakan temuan ini baru pertama kali terjadi. Menurutnya, tingkat persetujuan atau tingkat kepuasan masyarakat Sumbar atas kinerja Jokowi tidak pernah mencapai tingkat nasional.
Ketika Pemuja Jadi Penghujat
Banyak orang bertanya tanya, kenapa suara Jokowi di Sumbar begitu rendah? Demikian pula, tingkat kepuasan masyarakat Sumatera Barat atas kinerja pemerintahan Jokowi juga selalu lebih rendah dari angka nasional. Apa yang tidak menyukai orang Minang dengan Jokowi hingga penilaian seperti itu?
Seorang kepala daerah di Sumatera Barat pernah bercerita kepada saya bahwa Presiden Jokowi pernah bertanya kepadanya, "Mengapa orang Sumbar tidak suka kepada saya?" Pertanyaan ini harusnya dijawab pula dengan survei atau bahkan penelitian yang lebih dalam tentang faktor apa yang menyebabkan rakyat Sumatera Barat sedikit yang memilih Jokowi dan mengapa merasa tak puas dengah kinerja Presiden Jokowi.
Saya menunggu-nunggu di senjakala jabatan Presiden Jokowi, di rembang petang kekuasaannya, seperti apa tingkat kepuasan atau bahkan mengecewakan publik terhadap Presiden Jokowi. Namun kurang hingga sebulan jelang Jokowi lengser, pengawasan itu tak kunjung datang.
Saya tak tahu kenapa lembaga survei sudah tidak berselera untuk menilai kinerja Jokowi di senjakala kekuasaannya. Di saat matahari terbit dan bergerak naik, lembaga pengawasan begitu antusias mengujinya. Namun ketika matahari hampir tenggelam ke dasar laut, lembaga pengawasan tak lagi bersuara. Apakah mereka segan menganggap tidak penting, atau berpikir: "ah untuk apa menguji yang akan turun, tak ada yang memuji yang akan pergi."
Adem di lembaga survei, namun suara di media sosial begitu bergemuruh. sepertinya banyak grup musik yang menyanyikan lagu sumbang, serta banyak pengamat dan penulis yang mengkritisi bahkan sampai mencaci maki Presiden Jokowi dan keluarganya. Mulai dari soal lolosnya Gibran (putra Jokowi) sebagai calon wapres setelah Mahkamah Konstitusi mengubah klausul batas usia cawapres, dan keputusan Mahkamah Agung yang sempat juga mengubah batas usia calon kepala daerah yang dianggap memberi jalan bagi putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep. Namun kemudian dibatalkan oleh Putusan MK.
Tak berhenti sampai di situ. Di usia jabatan Presiden Jokowi yang 'larut senja' muncul isu atau kasus jet pribadi Kaesang dan istri terbang ke Amerika, serta soal akun Fufufafa yang diduga kuat milik Gibran dan menjadi diskusi yang nyaris tak berujung hingga hari ini. Kontennya jelas, kritik pedas buat Gibran yang kemudian menyeret-nyeret nama Jokowi. Kritik juga mengalir sampai soal IKN Nusantara yang dianggap belum diperlukan, pemborosan dan mubazir, dan banyak lagi yang menjadi gunjingan publik yang bertimpa-timpa.
Namun anehnya, dalam riuhnya berita, komentar dan kritik keras dan tajam di tingkat nasional pada bulan-bulan terakhir ini, tak ada tulisan yang menyalahkan, apalagi menghujat dan mencaci Presiden Jokowi, yang berasal dari Sumatera Barat. Padahal dalam pemilu 2019 masyarakatnya hanya 14 persen yang memilih Jokowi dan tingkat kepuasan publik ranah Minang terhadap Jokowi nyaris selalu di bawah 50%.
Sebaliknya dari daerah-daerah yang sangat tinggi persentasenya memilih Jokowi menjadi presiden, muncul banyak kritik, hujatan, bahkan cacian yang sangat vulgar, yang terkadang membuat kita merinding membaca. Begitu pula para tokoh terkemuka, yang sebelumnya selalu berpihak, membela dan memasang badan buat Jokowi, kini banyak yang seperti kembali ke arah menyalahkan dan menghujatnya.
'Gue Kate Juga Ape?'
Dalam kumpul-kumpul saya dengan teman-teman di Jakarta, kami sering berbagi informasi untuk saling mengetahui siapa yang mendukung Jokowi sekadarnya, siapa yang membela dengan harga mati, bahkan bisa disebut pengikut die hard Jokowi.
Mereka juga sangat paham bahwa Sumatera Barat adalah wilayah Indonesia yang sejak pemilihan pertama menaruh simpati yang rendah terhadap Jokowi dan saya adalah anak bangsa yang berasal dari Ranah Minang. Oleh karena itu, meski dalam nada kelakar, saya seringkali berusaha menjadi representasi Minangkabau. Artinya apa, 'saluang' sajalah yang menyampaikan.
Tapi dalam kelompok bincang-bincang saya itu, belakangan diskusi soal Presiden Jokowi makin terasa hambar, "karena kayu di tungku tak bersilang" lagi. sepertinya sekarang semua merasa tak lagi mendukung, apalagi membela Jokowi. Yang terjadi adalah "pertaubatan" politik massal, bahkan eksodus dari kubu Jokowi ke kubu lain yang tak jelas namanya, tapi yang penting keluar dari sana.
Namun, dalam higar bingar cacian, dan kata-kata menyalahkan Jokowi itu, justru tak terdengar suara dari Sumatera Barat yang ikut menyela atau meramaikan. Ranah Minang justeru "hening" dan membisu. Apakah dalam diam itu ada suara yang tak terdengar? Yang mengungkap satu kata atau kalimat yang sangat bermakna? Seperti kata orang Betawi: "Gue kate juga ape?"
Orang minang bukan suku bangsa yang suka memaafkan, tapi suku bangsa yang arif bijaksana. Dalam petatah petitihnya ada nasehat sebagai bentuk kearifan dalam memilih, 'pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna'. Mereka berusaha menyikapi apa yang terjadi di alam, dan arif membaca tanda-tanda sebelum memutuskan suatu masalah.
Sebelum memilih, orang Minang diajari untuk pandai membaca gelagat. Demikian pula pada saat menentukan pilihan, ada ungkapan “diindang ditampi tareh, dipiliah atah ciek ciek”. Artinya benar-benar penempatan, ditimbang-timbang secara matang, tidak ikut-ikutan, dan tidak terpengaruh tren. Silahkan yang lain memilih seseorang tapi pilihannya tidak ditentukan oleh banyaknya orang yang berbondong ke sana. Mereka mandiri, lebih dahulu dari Bank Mandiri. Dia tidak memikirkan masalah kalau itu konsekuensi dari sikap kemandirian itu.
Pemilih yang Rasional dan Mandiri
Setelah pilpres 2014 berlangsung, banyak kalangan yang khawatir dan bahkan menyalahkan pilihan masyarakat Sumbar. Berbeda dengan beberapa tokoh Minang sendiri, karena akibatnya saja Sumbar akan dapat kue pembangunan yang kecil dari pusat dan akan semakin tertinggal dari provinsi lainnya, karena berbeda pilihan dari masyarakat Indonesia pada umumnya.
Tapi itulah Sumatera Barat. Itulah integritas masyarakatnya. Petatah petitihnya mengajarkan: “Dek hati mati, dek mato buto”. Masyarakat sepertinya siap menanggung segala risiko atas pendiriannya itu. Dan mereka juga yakin bahwa tak mungkin pemerintah pusat akan menganak tirikan Sumatera Barat hanya karena pilihan yang berbeda. Perbedaan-perbedaan seperti itu dalam masyarakat Minang galib terjadi selama ini dan sudah menjadi "aia mandi" alias keseharian bagi mereka. Berbeda tak harus berselisih.
Lihatlah betapa keras dan banyaknya para Founding Fathers berdebat dan berdiskusi saat merumuskan pembentukan negara Indonesia tahun 1945. Tanpa disertai dan bertukar pikiran, tak mungkin lahir Piagam Jakarta, lalu kemudian menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah disepakati tidak akan mengubahnya karena di sanalah ada rumusan Pancasila. Yang berbeda itu hanya pikiran, bukan hati atau perasaan. Kerasnya berbeda dan terjadi dalam Sidang Konstituante antara Mohammad Natsir (Masyumi) dengan Aidit (PKI) tidak menghalangi mereka ngopi bersama bahkan berboncengan naik sepeda.
Itulah masyarakat demokrasi, masyarakat egaliter yang merasa setara dalam mengeluarkan pendapat. Berbeda pendapat adalah biasa. “Lawan berdebat adalah kawan yang berpikir,” kata Natsir. Bagi orang lain mungkin dimaknai berbeda dan membuat mereka berisiko seperti itu. Tapi di Minangkabau, hampir tak dikenal pola paternalistik, apalagi feodalistik. Setiap orang bebas mempunyai sikap, pandangan, dan pilihan masing-masing. Dalam menentukan pilihan mereka sangat independen.
Mereka tidak mau sekadar mengikuti apa kata tokoh, karena mereka juga memandang dirinya juga tokoh pula yang berhak punya suara dan pendapat sendiri. Kalaupun mereka kemudian memiliki pilihan yang sama dengan sang tokoh, itu bukan karena sikap “nurut”, tapi karena memang merasa sepaham, bisa diterima akal atau alasan tokoh tersebut memang masuk akal.
Raja Alim Raja Disembah...
Orang Minang tidak silau karena pangkat, kedudukan, kekayaan, atau kepintaran orang lain bila yang bersangkutan tidak berakhlak dan beretika yang baik. Ada ungkapan yang lazim dalam masyarakat egaliter ini: kok kayo kami ndak ka mamintak, kok bagak kami ndak ka bacakak, kok cadiak kami ndak ka batanyo. Hanyo dek budi kami sagan. Artinya, kalau Anda kaya kami takkan meminta, kalau Anda bagak (pemberani) kami tidak akan berkelahi, kalaupun Anda pintar kami takkan bertanya. Kami hanya segan (hormat) karena budi (akhlak) Anda.
Dalam buku Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif Sejarah, Prof. Tsuyoshi Kato, guru besar sosiologi asal Jepang, mengatakan bahwa dalam masyarakat Minangkabau tidak dikenal stratifikasi sosial. Mereka memandang semua manusia sama dan setara, kecuali hanya karena umur dan kemuliaan budi (akhlak)nya.
Namun dalam masyarakat yang cendrung paternalistik apalagi feodal, kadang berlaku ungkapan "raja tidak bisa berbuat salah" (raja tak pernah salah). Tetapi dalam masyarakat Minangkabau yang egaliter dan demokratis, ungkapan yang populer adalah “raja alim raja disembah, raja lalim raja dianggah”. Artinya, hanya raja yang benar dan adil yang disembah (dihormati), dsedangkan raja yang salah apalagi lalim (zalim) harus disanggah.
Lalu kenapa di saat Jokowi memasuki fase kekuasaannya tinggal menghitung hari banyak orang yang dulunya mendukung dan memuja-muji kini berbalik arah memcaci-maki dan bahkan membencinya? Namun sebaliknya masyarakat Sumatera Barat yang mayoritas tidak memilihnya dalam dua kali pilpres, sekarang justru diam, hening dan membisu. Mengapa mereka tidak ikut serta dalam higar bingar mengeluarkan caci maki? Saya kira tak cukup "rabab" saja yang disampaikan.
Meskipun saya tidak ingin mengambil kesimpulan terlalu dini, namun menurut saya perlu ada kajian sosiologis dan kultural atas fenomena atau perilaku memilih dan cara menghormati orang Minang ini. Makanya, ketika mendengar informasi dari sahabat saya wartawan senior Hasril Chaniago, bahwa saat ini Profesor Asrinaldi, guru besar ilmu politik Universitas Andalas, sedang melakukan penelitian hal mengenai itu, atau setidak tidaknya berkaitan dengan perilaku memilih orang Minang ini, saya merasa menaruh harapan. Ingin mendengar penjelasan ilmiah tentang perilaku, sikap dan pilihan yang berbeda itu.
Terlepas dari apa hasil penelitiannya kelak, namun secara empiris saya melihat bahwa sikap masyarakat yang ditopang oleh rasionalitas, kemandirian, sikap egaliter dan percaya diri itu menunjukkan kematangan masyarakat Minangkabau dalam berpolitik dan berdemokrasi.
Mereka merasa tidak perlu ikut menghujat dan mencaci-maki Jokowi dan keluarganya, karena dalam pemilu tahun 2014 dan juga pilpres 2019 sudah menyatakan sikap dalam bentuk pilihan. Hanya orang yang salah pilih, yang merasa terbeli kucing dalam karung, yang akhirnya menggerutu ketika sadar pilihannya salah. Sedangkan yang sudah menyatakan sikap sedari awal tak perlu lagi ribut-ribut.
Masyarakat Sumbar atau Minangkabau merasa tidak perlu mengadakan tobat nashuha politik secara massal, karena telah salah memilih. Mereka tak perlu pula menyampaikan suara koor penyesalan. Sebab, sedari awal mereka sudah menyatakan sikap, bahwa maminteh harus sabalun anyuik, malantai harus sabalun luluih. Artinya, langkah antisipasi harus dilakukan sedari awal sebelum timbul penyesalan di kemudian hari. Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna.
Apalagi mereka sejak awal sudah melihat: "Cewang di langit tanda kan panas, gabak di hulu tanda kan hujan. Membaca tanda-tanda itu diajarkan oleh fasafah adat mereka: "Alam terkembang jadi guru".
Dahulu, sejumlah putra-putri Minangkabau telah tampil sebagi tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan, kini seluruh masyarakat Sumbar menjadi penting bagi orang lain untuk mengetahui mengapa sejak awal mayoritas tak memilih Jokowi dan mengapa tidak ikut nimbrung saat banyak orang mencelanya?
Masa jabatan Jokowi 10 tahun sebagai presiden akan berakhir. Apakah memang Sumatera Barat telah menjadi anak tiri selama masa itu? Apakah memang kucuran dana pusat ke ranah Minang mandeg? Saya kira perlu melihat angka statistik, sehingga dalam menilai bisa objektif. Tapi hingga kini saya tidak mendengar keluhan itu. Saya yakin bahwa Presiden Jokowi dan pemerintah pusat tidak akan seperti itu.
Tidaklah akan mengisyaratkan kekanak-kanakan dalam berpolitik. Kalaupun fakta menunjukkan adanya diskriminasi anggaran ke Sumatera Barat atau dana pemerintah pusat yang mengalir agak kurang ke ranah Minang ini, bisa juga disebabkan oleh faktor lain, bukan (semata) karena perbedaan pilihan dalam politik.
Namun terlepas dari itu semua, rakyat Sumbar juga menerima apa yang ada. Bagi masyarakat Minang, demi tegaknya sikap dan pendirian, ada kata kata pahit yang sering terdengar, bahwa kalau perlu "sapikkan lidah ka lantai". Maknanya, kalau harus menahan selera sebagai konsekuensi dari sikap dan pilihan yang berbeda, ya harus dijalani. Begitu cara menerima konsekuensi dari setiap sikap atau pilihan politik yang diyakini benar.
Orang Minang paling tidak suka melihat orang yang tidak berpendirian, orang yang seperti "baling-baling di atas bukit" atau "mucikari dilereng bukit". Ke mana arah angin ke situ pula condong mereka. Orang Minang tidak seperti itu.
Kini, satu fase kepemimpinan nasional era Presiden Jokowi akan segera berakhir. Sebentar lagi matahari kekuasan itu akan tenggelam di ufuk barat. Tapi saya bangga menjadi anak bangsa, seperti saya juga bangga menjadi bagian dari suku bangsa Minangkabau yang menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Harap dicatat, NKRI dulu pernah hilang ketika kita menerima negara ini dalam bentuk RIS (Republik Indonesia Amerika).
NKRI kemudian hidup kembali setelah adanya Mosi Integral dari seorang Mohamad Natsir, putra Minangkabau yang menyuarakan kembali Indonesia sebagai negara kesatuan. Fakta ini tidak akan pernah terhapus dari sejarah.
Jakarta, 26 September 2024
* Gamawan Fauzi, mantan Mendagri
* Artikel ini sudah dimuat sebelumnya di news.detik.com/kolom/d-7559006/senjakala-presiden-jokowi-di-mata-orang-minang