Irman Gusman |
Oleh: Irman Gusman, S.E, M.B.A
Tanggal 1 Oktober 1945, ditetapkan sebagai Hari jadi Provinsi Sumatera Barat. Tahun ini hampir sama dengan usia Republik Indonesia, mencapai 76 tahun. Karena penetapannya 22 Juli 2019, maka tahun ini baru ketiga kalinya diperingati.
Melihat Sumatera Barat
dari sisi pemerintahan formal Republik Indonesia, iya benar, baru berjalan
sejak kemerdekaan sesuai dengan pembentukan daerah-daerah keresidenan yakni pada 1 Oktober 945 yang
dipelopori oleh Engku Muhammad Syafei, Dr. M Djamil, Rasuna Said dll. Legal
formal pembentukan Provinsi yang pada awal kemerdekaan disebut Daerah Swatantra
Tingkat I Sumetera Tengah itu baru ada pada 9 Agustus 1957 dengan dilahirkannya
UU No 19 tahun 1957 tentang pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Provinsi
Sumatera Tengah. Sumatera Tengah itu meliputi Sumbar yang sekarang ditambah
dengan Riau dan Jambi.
Tetapi melihat
Sumatera Barat tidak bisa dipisahkan dari melihat Minangkabau sebagai sebuah
kesatuan budaya, yang sudah eksis sejak lama.
Jika ditanyakan
tentang bagaimana kita melihat perjalanan daerah ini, tentu seperti juga daerah
lain memiliki perkembangan yang dinamis dari waktu ke waktu disamping ada masa
pasang surut. Tetapi jika melihat pada apa yang dicapai Sumbar sejak
kemerdekaan atau sejak dibentuk pada permulaan kemerdekaan itu terutama pada
hasil-hasil pembangunan, maka saya perlu mengtaakan bahwa ada filosifi di
Minangkabau yang berbunyi mancaliak tuah
ka nan manang, mancliak conto ka nan sudah. Perjalanan pembangunan di
Sumbar tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai satu-satunya daerah di luar
Jawa yang dua kali memperoleh penghargaan Parasamya Purna Karya Nugraha.
Parasamya itu jika diibaratkan sepakbola, adalah piala dunia nya. Parasamya
didedikasikan oleh negara sebagai bentuk penghargaan kepada daerah yang setiap lima
tahun berhasil mencapai hasil paripurna. Parasamya Purnakarya Nugraha diperoleh
di masa Pelita III pada pemerintahan Gubernur Azwar Anas. Lalu pada Pelita III
di bawah Gubernur Hasan Basri Durin, Sumbar memperoleh Prayojana
Kriya Pata Parasamya Purnakarya Nugraha Pelita V (1989/1994). Capaiannya waktu itu adalah keberhasilan
Sumbar memacu
pembangunan infrastuktur dan perekonomian Sumbar. Kedua gubernur itu (Azwar dan Hasan) berhasil membawa Sumbar menjadi
provinsi yang berhasil menjalankan trilogi pembangunannya pemerintah orde baru
waktu itu yakni stabilitas nasional, pertumbuhan
dan pemerataan.
Lalu what next? Apa
yang mesti dicapai lagi oleh Sumbar? Wah, banyak sekali. Tetapi saya hanya
ingin mencatatkan gagasan yang pernah kami diskusikan dengan pak Hasan Basri
Durin ketika beliau jadi Gubernur, yakni menjadikan Sumbar segai pintu gerbang
ekonomi Indonesia Barat. Saya dan Pak Hasan sepakat bahwa pelabuhan Teluk Bayur
adalah kunci untuk menuju pasar Afrika, India, Pakistan, Timur Tengah.
Kemudian yang juga mesti dicapai adalah menjadikan sumber daya manusia Sumbar sebagai keunggulan komparatif di tengah ketidak tersediaan sumber daya alam yang melimpah.
Selalu saja ada pertanyaan begini: apa saja
potensi sumber daya alam Sumbar, selain semen dan batubara yang sudah sangat
dikenal?
Sumbar memang tidak
dikenal sebgai daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah seperti Riau, Sumsel, Kaltim
atau Papua. Tetapi daerah ini memiliki sejumlah potensi sumber daya alam
meskipun tidak besar, selain batu bara di Swahlunto dan sekitarnya, Ada sedikit
emas dan biji besi. Tetapi belakangan ditemukan geothermal sebagai sumber daya
alam yang bisa menghasilkan energi terbarukan, sumber energi yang bersih.
Paling tidak berdasarkan penelitian Kementerian ESDM terdapat 17 titik sumber
geothermal di Sumbar dan kini sudah diexplore oleh PT Supreme Energy di Solok
Selatan.
Tapi meski tidak
semelimpah provinsi tentangga, sumber daya alam dalam bentuk geografis yang
indah, iklim yang sejuk, danau-danau yang bertebaran, gunung-gunung, sungai
yang jernih adalah potensi alam yang sanggup mengundang tumbuhnya industri
tourisme. Dan orang Sumbar memanfaatkan itu dengan baik di tengah tidak
besarnya sumber daya mineral dan gas. Filosofi orang Sumatera Barat: Tak kayu rotan pun jadi, tak ameh bungka di
asah. Jadi tidak meratapi keminiman sumber daya alam mineral dan gas.
Maka, jika ia tidak dikenal sebagai provinsi yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, semua sudah tahu. Karena itu sejak lama Sumbar dikenal sebagai pusat pendidikan, yang di masa lalu melahirkan banyak tokoh nasional yang berperan dalam pembentukan negara.
Ada filosofi yang
hidup di kalangan masyarakat Minangabau yakni : Alam Takambang Jadi. Itu adalah gambaran yang menunjukkan orang
Minang atau orang Sumatera Barat menjadi pendidikan atau menuntut ilmu sebagai
bagian keseharian kehidupannya. Dengan akar ajaran Islam yang menganjurkan
umatnya sesuai pesan Rasulullah Tuntutlah
ilmu walau ke negeri China sekalipun. Ini tertanam sejak dini di masyarakat
Minangkabau.
Maka tak heran pada
permulaan abad ke 19 lembaga pendidikan tumbuh kembang dengan pesat di Sumatera
Barat, bahkan jumlah lembaga pendidikan baik yang dibuat oleh pemerintah
Belanda maupun oleh masyarakat, jauh
lebih banyak dibanding di Jawa. Ini menghasilkan sejumlah besar tokoh
Minangkabau yang kemudian berperan besar di pentas nasional pada masa
pergerakan, masa kemerdekaan, pasca kemerdekaan dan seterusnya. Hatta, Natsir,
Hamka, Rasuna Said, Agus Salim. Sjahrir, Sjafei, Tan Malaka, Abdul Muis, Rohana
Kuddus, Muhammd Yamin, Adinegoro, dan sebagainya. Bahkan ada periode dimana
tokoh-tokoh Minang banyak di kabinet, di
parlemen, di senat, di lembaga tinggi negara, di puncuk pimpinan BUMN.
Semua adalah sebagian dari produk
budaya menuntut ilmu orang Minang. Dan tentu saja sekarang jauh lebih banyak
lagi penerus-penerusnya di era milenial.
Kebudayaan dan adat Minang juga sangat kuat, dan dipelihara turun temurun sampai saat ini. Maka yang kerap menjadi bahan diskusi adalah bagaimana agar adat minang itu lestari dan dapat diwariskan turun temurun sampai kapanpun, tapi hari ini kita dihadapkan pada kenyataan alih generasi yang tak terhindarkan. Generai Z yang Bagaimana cara menjaga adat dan budaya ini, di tengah tengah generasi melineal yang sangat terbuka ini? Betul, Dalam pendidikan sekarang pun ada muatan lokal. Pada muatan lokal ini sangat penting dititipkan di kurikulum tentang adat Minangkabau. Perlu cara baru melestarikannys ke milenial, dan generasi Z. Generasi milenial atau generasi Y adalah generasi yang lahir antara tahun 1980 -1995 yang lebih banyak bermain dengan gadget. Sedang generasi Z adalah genarasi yang sama sekali tidak hidup atau tidak merasakan dunia tanpa teknologi.
Bagaimana adat Minangkabau bisa kita ajarkan kepada mereka dan mereka bisa menerima serta menjalankannya?
Dalam pepatah adat
Minang ada dikatakan: Adat dipakai lamo,
baju dipakai usang. Artinya adat adalah sesuatu yang diupayakan abadi dan
terpakai dalam jangka waktu yang panjang, sedang baju hanya temporer, sesaat.
Karena itu dalam kultur Minangkabau yang menganut Matrilinial ini, berlaku
pepatah Anak dipangku kamanakan
dibimbiang. Maka wajib hukumnya bagi mamak untuk mewariskan nilai-nilai
adat yang luhur itu kepada kemenakannya.
Dulu kepada generasi X dan generasi sebelum itu, adat diajarkan di surau-surau atau di rumah
gadang. Semua cara hidup, dengan mengacu kepada filosofi adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah
atau ABS-SBK itulah anak-anak Minangkabau
dituntun.
Tapi bagaimana dengan masa milenial ini, bagaimana kaum milenial dan generasi Z menyambut warisan luhur itu? Menurut saya ini adalah tantangan baru para pemangku adat, para penghulu dan mamak. Kondisi kekinian yang diakibatkan migrasi yang luas dari suku Minang pergi merantau, sehingga jarak memisahkan antara mamak di kampung denga kemenakan di rantau atau kemenakan di kampung mamak nya di rantau. Mesti dicari pola pewarisan nilai adat yang pas untuk kaum milenial agar bisa terterima dengan baik. Karena kini dengan kultur keluarga inti, maka kemenakan kita lebih banyak dekat ayahnya ketimbang dekat mamaknya. Saya hanya menawarkan saja, sekali lagi menawarkan tentang perlunya pola pengajaran adat yang disesuaikan dengan kebutuhan milenial, apakah misalnya sebagian fungsi mamak tadi diembankan kapada ayah. Ini akan menjadi penting dalam rangka Sumbar menuju era baru.
Ini penting dipikirkan lantaran tantangan zaman
kian kompleks untuk membuat agar adat Minang tetap menjadi penuntun sekaligus
membentuk karakter Minang. Adat Minang mencetak karakter Minang yang dikenal
juga sebagai perantau yang berani (berani dengan kebenaran) dan membentuk juga
jiwa wirausaha.
Saya ingin memberi
catatan bahwa orang Minang sangat kosmopolitan. Mereka sangat terbuka
dan adaptatif. Terbuka menerima pendatang dan ketika menjadi pendatang
menyesuaikan dengan lingkungan setempat tanpa meninggalkan agama dan budayanya.
Filosofinya aalah Dima bumi dipijak
disitu langik dijunjung.
Dan seperti disebutkan
oleh sosiolog almarhum Dr. Mochtar Naim, Merantau adalah Pola Migrasi orang
Minang. Merantau bagi orang Minang adalah bagian dari ciri khas, karena ada
pantun nasehat adat; Karatau madang
dihulu, babuah babungo balun, marantau lah bujang dahulu, di rumah paguno balun.
Adi merantau adalah anjuran. Rantau adalah tempat berpraktek bagi semua ilmu
yang sudah dituntut selama ini.
Lalu soal keberanian
dan semangat kewirasahaan orang Minang. Keberanian itu tidak berarti ‘jago’
atau nekat dan berani mati. Justru orang Minang Berani Hidup. Jika memilih
berani mati, setelah itu tidak ada apa-apa lagi. Maka akal dan budi membuat
orang Minang di perantauan berani hidup. Jauh dari kampung halaman mengasah
semangat enterpreneurship orang Minang di manap-mana. Menjadi saudagar, adalah
ajaran yang diterima sejak di kampung halaman, karena itu adalah ajaran Islam
juga. Bukankah Rasulullah juga berniaga?
Karena itu membangun keberanian dan berwirausaha, adalah sesuatu yang turut serta diajarkan di surau dan di lapau-lapau Minangkabau bagi generasi mudanya. Jadi penting di sini artinya meluaskan nilai-nilai ABS-SBK itu ke semua anak Minang di seluruh pelosok dunia.
Solidaritas Minang
Lalu bagaimana setelah 76 tahun Sumatera Barat, apakah semangat ‘banagari’ yang sesungguhnya bisa disebut solidaritas bernagari masih ada?
Saya kira itulah salah satu keunggulan Minang. Senantiasa ingat pada kampung halamannya (meskipun ia sendiri tidak dilahirkan di Ranah Minang) dimana pun ia berada. Ini potensi yang sesungguhnya sangat besar untuk membangun Sumatersa Barat.
Pak Harto bahkan menginspirasi lahirnya Gebu Minang, itu
fakta sejarah. Ketika pada awal 1980an pak Harto berkunjung ke Aripan Solok,
beliau mengingatkan potensi perantau Minang yang bisa dimanfaatkan membangun
Sumatera Barat di tengah keterbatasan anggaran pemerintah. Pak Emil Salim dan
kawan-kawan menyambut dengan menyelenggarakan
Musyawarah Besar di Bukittinggi yang akhirnya melahirkan apa yang disebut
GERAKAN SERIBU MINANG. Intinya orang Minang di rantau dengan minimal seribu
rupiah saja setiap bulan menyumbang ke kampung halamannya akan sangat membantu
pembangunan daerah.
Gebu Minang mendapat
perhatian besar dari publik tanah air. Sehingga di Sumatera Utara pun lahir apa
yang disebut dengan MARSIPATURE HUTANABE yang kurang lebih juga menyentuh rasa cinta
kampung halaman. Dalam filosofi Minang dikenal dengan istilah: tagak bakampung paga kampuang, tagak banagari
paga nagari, barek samo dipikua,
ringan samo dijinjiang.
Jika pertanyaan nya,
apakah Gebu Minang masih ada? Maka jawaban saya adalah: Masih, tetapi lebih
kepada substansi gerakan itu. Orang rantau masih terus membantu kampung
halamannya, walau tidak terkumpul ke Gebu Minang nya. Dulu Gebu Minang adalah
sebuah gerakan, bukan sebuah organisasi massa, belakangan sudah berkembang jadi
organisasi massa. Tapi tidak masalah, karena toh
substansinya tetap saja menjalin solidaritas kampung halaman dan perantauan.
Menurut saya,
Pemerintah dan Masyarakat Sumatera Barat sedang menghadapi tantangan bagaimana menyiapkan satu generasi yang kuat
menuju Sumbar 2045 dan seterusnya. Tantangannya akan sangat besar, tetapi jika
disiapkan dari sekarang Insya Allah Sumbar akan sukses di masa depan. Menjauhi
pertengkaran dan menyatukan visi untuk menuju masa depan atas semua elemen di
Sumatera Barat saya kira sangat penting.
Menyiapkan satu
generasi masa depan dan kerangka masa depan yang siap melaju bersama era
milenial ini adalah sebuah keniscayaan yang harus kita lakukan bersama-sama.
Lalu dimana kuncinya? Sumbar harus berkonsentrasi pada pembangunan berbasis
keunggulan sumber daya manusia di tengah keterbatasan sumber aya alam. Memajukan
pendidikan yang link and match menjawab tantangan zaman, mengutamakan
kompetensi.
Pada akhirnya Sumatera Barat akan melahirkan kembali elang-elang baru yang siap mengepakkan sayapnya di seluruh nusantara dan dunia, memberi arti lebih besar bagi kebaikan manusia.