×

Iklan


Nevi, Guspardi dan Raudha Thaib Sepakat, SKB 3 Menteri Layak Dibatalkan

09 Mei 2021 | 13:24:57 WIB Last Updated 2021-05-09T13:24:57+00:00
    Share
iklan
Nevi, Guspardi dan Raudha Thaib Sepakat, SKB 3 Menteri Layak Dibatalkan
Nevi Zuairina, Guspardi Gaus dan Puti Reno Raudha Thaib

Padang, Khazminang,id – Perjuangan untuk membatalkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tetang pengaturan pakaian seragam sekolah oleh masysrakat Sumatera Barat patut diberi apresiasi. Khususnya kepada Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat yang berinisiatif menggugat SKB itu ke Mahkamah Agung.

Menurut anggota DPR RI, Hj. Nevi Zuairina apa yang diupayakan oleh LKAAM Sumbar dan dukungan moral dari berbagai pihak sudah ‘manuruik barih makan pahek’ (menurut baris makannya pahat-red) atau sudah langkah yang benar.

    “Dalam SKB itu tidak terlindungi apa yang kita sebut dengan kearifan lokal. Dan para hakim agung di Mahkamah Agung akhirnya memutuskan untuk memerintahkan membatalkan SKB tiga menteri itu,” ujar anggota Komisi VI DPR RI itu.

    Nevi sangat mengapresiasi soal perjuangan untuk tetap dibolehkan menggunakan hijab di sekolah-sekolah Sumatera Barat. Karena ia sendiri memiliki sejarah yang pahit dan sekaligus manis dengan penggunaan jilbab di sekolah.

    Menurutnya, ketika bersekolah di SMA Negeri 31 Rawamangun Jakarta pada penggalan tahun 80an, ia sembat tegang dengan Kepala Sekolah yang melarangnya menggunakan jilbab. Padahal sejak SD sampai SMP ia berjilbab ke sekolah dan tidak ada larangan. Tapi, kenang Nevi, setelah masuk SMA 31 itu, baru dilarang berjilbab oleh pihak sekolah.

    “Setelah melewati masa belajar beberapa hari, saya dipanggil kepala sekolah dan memberitahu saya bahwa menurut peraturan sekolah, siswa mesti mengenakan pakaian seragam yang ditetapkan. Tiddak boleh pakai jilbab. Saya meradang, kok mesti ada larangan pakai jilbab, padahal meskipun baru menggunakannya, saya merasa senang dan tenang jika menggunakan jilbab,” kata Nevi.

    Nevi menuturkan, meskipun dia sudah kemukakan berbagai argumen, tapi Kepala Sekolah tetap ngotot mengatakan tidak boleh. Karena kesal, ia sampai mendatangi Kakanwil Depdikbud DKI  meminta perlindungan soal jilbab ini. Tapi jawaban pihak pejabat di Kanwil Dikbud DKI Jakarta sama-sama membuat dirinya kecewa berat. Pejabat di situ mendukung keputusan Kepala SMA Negeri 31 bahwa saya tidak dibolehkan pakai jilbab,” kenangnya.

    Akhirnya ia hanya pasrah, ke sekolah tetap pakai jilbab tapi di gerbang dia buka. Setelah pulang, kembali ia pasang jilbabnya. “Dapat dibayangkan betapa risihnya saya ‘dipaksa’ tak berjilbab” kata Nevi. Ketika itu di Sumatera Barat tidak ada larangan berjilbab, yang mau pakai dibolehkan, tidak ada larangan.

    Menurut Anggota DPR RI dari Sumbar lainnya, H. Guspardi Gaus, di situlah letaknya kearifan lokal yang mesti dihormati dan dihargai oleh sebuah sistem nasional.

     (Baca juga: Gugatan LKAAM Sumbar Dikabulkan,SKB 3 Menteri Dibatalkan MA)

     “Jadi sudah jelas,  diktum nomor 2 di SKB 3 Menteri itu tidak sesuai dengan kearifan lokal di Ranah Minang. Maka dan sekolah juga tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama," ujar politisi PAN itu. 

    Selengkapnya  diktum kedua 2 di SKB 3 Menteri itu (Mendikbud, Menag dan Mendagri)  berbunyi: Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama. 

    Menyangkut putusan tersebut (putusan MA), Guspardi meminta  semua pihak  menghormati dan menerima putusan itu.

    Guspardi juga menguingatkan setelah ini jangan ada lagi SKB semacam itu yang  sesungguhnya berseberangan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah. “Apa artinya otonomi daerah, kalau urusan pakaian seragam seperti itu masih diatur oleh pusat?” ujar mantan  Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat ini.

    Penapat kedua legislator ini juga diamini oleh Ketua Bundo Kanduang, Prof. Hj. Raudha Thaib. Menurutnya, di Ranah Minang tidak ada yang melarang perempuan  non-muslim untuk tidak mengenakan jilbab atau penutup kepala. “Tapi jangan pula ada larangan perempuan Muslim menggunakan jilbab atau penutup kepalanya. Menutup kepala itu adalah local wisdom Sumatera Barat, jadi mesti dihargai,” ujar guru besar Faperta Unand yang juga penyair ini.

    ini.

    "Jadi atas putusan MA ini, Alhamdulillah kita ucapkan semakin jelas duduk perkaranya," kata penyair yang bernama pena Uphita Agustin ini. (eko)