Nevi Zuairina, Guspardi Gaus dan Puti Reno Raudha Thaib |
Padang, Khazminang,id – Perjuangan untuk membatalkan Surat Keputusan
Bersama Tiga Menteri tetang pengaturan pakaian seragam sekolah oleh masysrakat
Sumatera Barat patut diberi apresiasi. Khususnya kepada Lembaga Kerapatan Adat
Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat yang berinisiatif menggugat SKB itu ke
Mahkamah Agung.
Menurut anggota DPR
RI, Hj. Nevi Zuairina apa yang diupayakan oleh LKAAM Sumbar dan dukungan moral
dari berbagai pihak sudah ‘manuruik barih makan pahek’ (menurut baris makannya
pahat-red) atau sudah langkah yang benar.
“Dalam SKB itu tidak
terlindungi apa yang kita sebut dengan kearifan lokal. Dan para hakim agung di Mahkamah
Agung akhirnya memutuskan untuk memerintahkan membatalkan SKB tiga menteri itu,”
ujar anggota Komisi VI DPR RI itu.
Nevi sangat
mengapresiasi soal perjuangan untuk tetap dibolehkan menggunakan hijab di
sekolah-sekolah Sumatera Barat. Karena ia sendiri memiliki sejarah yang pahit dan
sekaligus manis dengan penggunaan jilbab di sekolah.
Menurutnya, ketika
bersekolah di SMA Negeri 31 Rawamangun Jakarta pada penggalan tahun 80an, ia
sembat tegang dengan Kepala Sekolah yang melarangnya menggunakan jilbab.
Padahal sejak SD sampai SMP ia berjilbab ke sekolah dan tidak ada larangan.
Tapi, kenang Nevi, setelah masuk SMA 31 itu, baru dilarang berjilbab oleh pihak
sekolah.
“Setelah melewati masa belajar beberapa hari, saya dipanggil kepala
sekolah dan memberitahu saya bahwa menurut peraturan sekolah, siswa mesti
mengenakan pakaian seragam yang ditetapkan. Tiddak boleh pakai jilbab. Saya meradang,
kok mesti ada larangan pakai jilbab, padahal meskipun baru menggunakannya, saya
merasa senang dan tenang jika menggunakan jilbab,” kata Nevi.
Nevi menuturkan, meskipun dia sudah kemukakan berbagai argumen, tapi Kepala Sekolah tetap ngotot mengatakan tidak boleh. Karena kesal, ia sampai mendatangi Kakanwil Depdikbud DKI meminta perlindungan soal jilbab ini. Tapi jawaban pihak pejabat di Kanwil Dikbud DKI Jakarta sama-sama membuat dirinya kecewa berat. “Pejabat di situ mendukung keputusan Kepala SMA Negeri 31 bahwa saya tidak dibolehkan pakai jilbab,” kenangnya.
Akhirnya ia hanya
pasrah, ke sekolah tetap pakai jilbab tapi di gerbang dia buka. Setelah pulang,
kembali ia pasang jilbabnya. “Dapat dibayangkan betapa risihnya saya ‘dipaksa’
tak berjilbab” kata Nevi. Ketika itu di Sumatera Barat tidak ada larangan
berjilbab, yang mau pakai dibolehkan, tidak ada larangan.
Menurut Anggota DPR RI
dari Sumbar lainnya, H. Guspardi Gaus, di situlah letaknya kearifan lokal yang
mesti dihormati dan dihargai oleh sebuah sistem nasional.
Selengkapnya diktum kedua 2 di SKB 3 Menteri itu (Mendikbud, Menag dan Mendagri) berbunyi: Peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara: seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
Menyangkut putusan
tersebut (putusan MA), Guspardi meminta semua pihak menghormati dan menerima putusan itu.
Guspardi juga
menguingatkan setelah ini jangan ada lagi SKB semacam itu yang sesungguhnya
berseberangan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah. “Apa artinya otonomi daerah,
kalau urusan pakaian seragam seperti itu masih diatur oleh pusat?” ujar
mantan Wakil Ketua DPRD Sumatera Barat
ini.
Penapat kedua
legislator ini juga diamini oleh Ketua Bundo Kanduang, Prof. Hj. Raudha Thaib.
Menurutnya, di Ranah Minang tidak ada yang melarang perempuan non-muslim untuk tidak mengenakan jilbab atau
penutup kepala. “Tapi jangan pula ada larangan perempuan Muslim menggunakan
jilbab atau penutup kepalanya. Menutup kepala itu adalah local wisdom Sumatera Barat, jadi mesti dihargai,” ujar guru besar
Faperta Unand yang juga penyair ini.
ini.
"Jadi atas putusan MA ini, Alhamdulillah kita ucapkan semakin jelas duduk perkaranya," kata penyair yang bernama
pena Uphita Agustin ini. (eko)