?Wakil Gubernur Sumbar Nasrul Abit di tengah perantau Minang di Papua |
Oleh: Alwi Karmena & Eko
Yanche Edrie
Bumi hitam di ujung Timur
Indonesia, adalah sebuah kekayaan bangsa yang mahahebat. Laut, gunung, sungai,
lembah dan kemurnian kultur, sungguh memesona dan sangat eksotik. Ditambah
kekayaan alam yang luar biasa besar, terutama migas dan mineral. Tambang emas
Timika sungguh menjadi sebutan yang tak akan pernah mengurangi rasa kagum
bangsa ini kepada Papua.
Karena itu banyaklah
pendatang yang mencoba mengadu peruntungan di bumi cendrawasih itu, termasuk
orang Minang yang memang tidak akan menyisakan satu titik pun dalam peta bumi
untuk dijelalajahi sebagai wilayah perantauannya.
Urang awak
umumnya berdagang di Papua disamping menjadi apartur pemerintah, TNI/Polri dan
bekerja pada perusahaan-perusahaan besar yang ada di sana.
“Orang Minang telah ikut
memberi kami makan, masakan Minang teramat enak. Saya bahkan diberi gelar Sutan
Rajo Panglimo Gadang, hormat saya untuk orang Minang,” kata Gubernur Papua,
Lukas Enembe, seperti dikutip dari suara.com.
Tapi kedamaian antara Minang-Papua
itu tercabik sudah ketika meletus kerusuhan besar di bumi cendrawasih itu
setahun silam. Kerusuhan yang bernuasa rasis itu telah memorakporandakan
sejumlah fasilitas umum dan banyaknya kaum pendatang yang terbunuh, termasuk
sejumlah orang Minang yang sesungguhnya tidak sato-sato dalam pertikaian yang terjadi di sana.
Kerusuhan yang terjadi di Wamena, Papua menjadi kisah kelam bagi seluruh warga perantau yang berada di daerah tersebut dalam beberapa waktu terakhir.
Tak terkecuali, Erizal (42) yang berasal dari Sungai Rampan, Koto Nan Tigo IV Koto Hilie, Batang Kapas, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Erizal menjadi salah satu penyintas yang selamat saat kerusuhan di Wamena karena berpura-pura mati.
"Alhamdulillah saya berhasil selamat dari peristiwa waktu itu, namun sayang anak dan istri saya meninggal dunia karena terbakar," kata Erizal, seperti dikutip dari Antara.
Menurut keterangan dari Zal, saat peristiwa tersebut, ia sedang berada di sebuah kios tempatnya bekerja dan melihat sejumlah orang berkerumun mendatangi beberapa kios, termasuk ke kios tempatnya bekerja.
"Jumlah mereka sekitar 30-an orang dan kami sama sekali tidak mengenal mereka," ujarnya.
Ia beserta istri, anak dan beberapa orang lainnya mencoba menyelamatkan diri, namun terkepung di dalam rumah yang ada di belakang kios tersebut.
Kerumunan tersebut mengetahui keberadaan mereka dan memaksa untuk membuka pintu.
"Salah seorang kemenakan saya yang bernama Yoga mencoba menahan pintu, namun mereka berhasil mendobraknya, sehingga kami dilempari, ditembaki dengan panah dan kami semua sudah pasrah mati," katanya.
Ia melanjutkan, kemenakannya yang bernama Yoga tersebut beserta anak dan istrinya meninggal dunia karena ditikam dengan parang oleh mereka.
Sedangkan, ia berhasil menyelamatkan diri karena berpura-pura mati di dalam rumah tersebut. Namun, Zal tetap terkena luka bakar.
"Karena setelah kami ditikam, rumah itu dibakar namun saya cepat bangkit dan menyelamatkan diri tapi tetap saja kepala dan tangan saya terbakar," sambungnya.
Ia mencoba meminta bantuan kepada teman-teman yang ada di Kodim, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa lantaran mobil tidak bisa masuk ke sana.
"Dua jam setelah itu barulah bantuan datang, saya langsung dibawa ke rumah sakit diobati pihak medis karena mengalami luka bakar di beberapa badan saya," ujarnya.
Erizal mempunyai dua orang anak, anak pertama bernama James Lugian Rizal (13) tengah sekolah di SMP Serambi Mekah, Padang Panjang dan anak keduanya telah meninggal dunia beserta istri tercinta.
Kisah-kisah tragis itu
dialami sejumlah orang Minang di sana. Waktu itu kondisi amat mencekam. Semua
yang selamat dari kerusuhan mencoba mencari selamat atau mencari jalan agar
bisa pergi dari wilayah maut itu. “Tapi kepada siapa kami hendak mengadu?” kata
Erizal. Pemerintah dan aparat keamanan setempat juga tidak berdaya. Ia hanya
berdoa agar ada yang mau memperhatikan keluh kesah para perantau Minang di sini
yang nasibnya sama saja dengan para perantau dari daerah lain.
Seorang atau sebuah lembaga
yang mau berjibaku mengevakuasi orang Minang dari situ sangat diperlukan. Tapi
siapa dan lembaga yang mana?
Cerita dan berita tentang
kekalutan atas nasib orang Minang di daerah konflik itu sudah diberitakan
berkali-kali oleh media. Tapi hingga akhir September 2019, belum ada
tanda-tanda para perantau Minang yang diperkirakan hampir seribu orang itu akan
bisa dievakuasi dari tanah Papua.
Api menyala di Wamena Papua. Serasa kita semua terluka. Meski pulau Papua jauh dari pesisir pulau Sumatera, rintih pedih warga tak berdosa, dunsanak seperinduan, sampai mengiris ke relung hati. Terbayang mengambang di fikiran dan mata, sanak saudara yang tak berdaya itu menggelepar menerima amukan ganas yang sama sekali tidak mereka duga.
Terdengar-dengar ke sanubari, mereka memanggil, minta tolong. Suara terputus-putus parau dari kepulan api dan asap. Suara yang hampir putus asa, meratap meminta, adalah kiranya tangan yang menyahut jambaan tangannya . Tangan mereka yang tengah hangus membara... Padahal, tangan itu, bukan kayu bakar. Tapi tangan kurus anak manusia, “dunsanak” kita yang biasa berkuras pagi-petang mencari makan. Kini mereka di lidah api.
Duh, jauh-jauh mereka menapa, merantau, pergi menyisih dari kampung halaman, bukan karena mencari wujud mimpi senang. Tapi “mengadu untung” berkuras, mencari kain buruk penutup punggung, mencari beras agak segantang. Ditempuh bentang lautan luas, Ditinggalkan ranah dan tepian. karena di kampung telah sesak pencaharian, pun orang orang seakan telah “mengadu ujung penjahit”
Kabar tentang parasaian urang awak di Papua itu masuk menyeruak ke ruang kerja Wakil Gubernur Nasrul Abit. Ia termenung mencari cara untuk mengevakuasi urang awak di Papua yang terjebak dalam kerusuhan.
Siapakah sosok yang dibutuhkan negeri ini di saat seperti itu ? Pendendangkah ? Atau pencerita yang menggembar-gemborkan – dirinya pecinta yang akan berbuat dan bekerja memperbaiki yang telah ada. Orang yang tanpa malu malu menyatakan dirinya cinta. Sering benar dia menyaksikan orang mengibarkan panji-panji. Slogan yang melambangkan rencana tak terkira. Konon negeri ini akan diubahnya sedemikian rupa.
“Mereka dunsanak kita, yang perlu ditolong,” kata Nasrul Abit bergegas mengemasi tas kerjanya. Lalu mendatangi Gubernur Irwan Prayitno, mendiskusikan kondisi warga Minang yang terjebak di Papua itu.
Tidak gampang masuk Papua. Kata Gubernur Irwan Prayitno, seperti dituturkan Nasrul Abit, diperlukan jalan berliku karena kondisinya amat sulit diprediksi.
Tapi sepanjang jalan pulang ke rumah dinasnya di Jl Raden Saleh, Nasrul Abit sudah berketetapan hati bahwa perlu ada tindakan nyata menolong dunsanak kita di Papua itu. Akhirnya ia mendapat restu dari Gubernur Irwan Prayitno untuk berangkat ke Papua.
Jumat malam tanggal 27 September 2019, Nasrul Abit akhirnya dengan niat hendak menolong dunsanak kita di Papua itu, pun terbang ke Jakarta. Kemudian menyusul ikut bersamanya tim dari Kesbangpol, Dinsos Sumbar, Biro Bintal, serta Biro Pembangunan dan Kerjasama Rantau. “Kalau tidak sekarang kapan lagi, kita harus segera menolong mereka (perantau di Papua-red) kami berlindung kepada Allah dan berdoa sepanjang perjalanan menunu tanah Papua,” ujar Datuak Malintang Panai itu. (bersambung)