×

Iklan

SETAHUN TRAGEDI TANAH PAPUA (3)
Nasrul Abit Mencari Akal Menerobos Wamena

26 Oktober 2020 | 21:04:28 WIB Last Updated 2020-10-26T21:04:28+00:00
    Share
iklan
?Nasrul Abit mendengarkan keluh kesah para korban kerusuhan Papua

Oleh: Alwi Karmena & Eko Yanche Edrie

 

Bandar udara Sentani atau Sentani International Airport dalam dunia penerbangan sipil diberi kode DJJ. Bandara terbesar di pulau Papua (d/h Irian) itu merupakan bandara hub di Indonesia timur.

    Kabarnya tahun ini nama bandara Sentani akan berganti menjadi Bandar Udara Internasional Theis Hiyo Eluay. “Seturun pesawat setelah semalaman terbang dari Jakarta, saya langsung menuju Sentani, di Kabupaten Jayapura. Saya diberi tahu bahwa saya ditunggu oleh para perantau kita yang mengungsi ke sana,” kenang Nasrul Abit.

    Sentani kira-kira berjarak antara Padang ke Lubuk Alung. Maka rombongan Nasrul Abit pun bergerak menuju Sentani. Sepanjang jalan, Nasrul Abit berdoa, baik untuk keselamatan rombongan maupun untuk keselamatan dirinya. Sebab ia sudah diberitahu oleh Irjenpol Boy Rafli Amar mantan Kapolda Papua yang urang awak itu tentang kondisi terakhir di Papua. Melalui saluran-saluran yang dipunyai oleh Boy Rafli Amar, Wagub Sumbar itu diconect kan dengan mereka.

    “Saya berterimakasih kepada Pak Boy Rafli Amar yang telah turut membantu membukakan jalan bagi saya memasuki tanh Papua yang masih berasap pasca kerusuhan besar tersebut,” kata Nasrul Abit.

    Sabtu 28 September 2019, menjelang tengah hari Nasrul Abit tiba di Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Ia tak kuasa meneteskan air matanya di tengah para perantau Minang yang menjadi pengungsi di Sentani.

    Dalam kapasitasnya sebagai Wagub Sumatera Barat, Nasrul Abit pun pun bertatap muka dan mendengarkan langsung keluhan warga perantau. “Kami lumayan banyak di Papua ini pak. Tapi sebagian besar dari kami ingin segera pulang ke kampung halaman untuk menenangkan pikiran dan agar lepas dari kecemasan di sini,” kata mereka ketika berdialog dengan Nasrul Abit.

    Sungguh amat mengenaskan cerita para pengungsi itu. Ada yang menceritakan tentang nasib yang terkepung di tengah hujan panah. Orang-orang Papua mengamuk dan membakari warung. “Walau sudah minta ampun tetapi masih saja warung kami diporak-porandakan,” turur seorang perantau yang jadi penyintas dari kerusuhan itu kepada Nasrul Abit dan rombongan.

    Novi Hendra, Ketua Ikatan Keluarga Minang di Kabupaten Jayapura menyebutkan pengungsi asal Sumatera Barat yang tiba di Jayapura sekitar 160-an orang. Kata Novi, pagi itu (28 September) sudah ada yang pulang ke Padang sebanyak 6 orang.

    “Termasuk 9 jenazah dan pendamping juga sudah dipulangkan ke kampung halaman. Pengungsi warga Sumatera Barat di Sentani berpencar, ada di Gedung Tabita 62 orang dan di rumah keluarganya,” ujar Novi terbata-bata kepada Nadsrul Abit.

    Novi atas nama semua keluarga Minang di seluruh Papua berterima kasih kepada Nasrul Abit yang sudah sangat berani datang menjenguk mereka di Papua ini. “Kami bangga ketika mendengar cerita saudara-saduara perantau dari provinsi lain, mereka menyatakan salut dengan pemimpin Sumatera Barat yang tanpa kenal takut datang menemui warganya di wilayah yang sedang kacau balau ini,” kata Novi Hendra.

    Usai bertemu warga, Nasrul Abit mengunjungi RSU Jayapura melihat beberapa korban yang terluka akibat kerusuhan. Salah satunya adalah Putri. Ia tak kuasa menahan tangis melihat dirinya dikunjungi Wakil Gubernur Sumatera Barat. “Terimakasih Pak, terimakasih.....Bapak sudah datang menjenguk kami, lai tarasa bamamak kami...ko, tarimokasih Pak Wagub,” ujar dia dengan air mata berderai. Nasrul Abit juga tak kuasa menahan air mata dan mengusap matanya.

    Menurut Nasrul, kondisi psikologis perantau kita di sana memang sedang sangat buruk. Penuh dengan ketakutan dan kecemasan, seakan kerusuhan bisa datang kembali. Sebab hal-hal seperti itu sudah biasa terjadi di sana. Namun yang mengancam dan membunuhi warga pendatang, barulah kali ini.

    “Saya sempat berdialog dengan Gubernur Papua. Secara pribadi ia meminta maaf atas ketidaknyamanan perantau Minang yang menjadi warganya itu karena adanya kerusuhan di Wamena. Beliau meyakinkan saya bahwa kondisi ini tidak akan berlarut-larut, akan segera diselesaikan oleh aparat kemanan,” kata Gubernur Lukas.

    Bahkan Gubernur Papua itu juga menyatakan malu atas tindakan yang dilakukan warga Papua kepada perantau Minang lantaran dirinya sudah menyandang gelar Sutan Rajo Palimo Gadang dari Lintau.

    Namun dengan rasa was-was yang tidak mau hilang, Nasrul Abit memutuskan bahwa dirinya harus berangkat ke Wamena lantaran masih banyak warga perantau Minang yang tertinggal di sana.

    “Jangan, jangan ke sana bapa...belum aman,” kata Gubernur Lukas Enembe menegah niat Nasrul Abit. Sang gubernur tentu saja merasa cemas bila terjadi apa-apa dengan tamunya dari Sumatera Barat ini.

    Sampai malam Nasrul Abit mencari akal bagaimana caranya bisa menerobos Wamena yang masih dianggap mencekam itu. Dalam pikirannya, apapun alasannya dirinya harus bisa sampai ke Wamena. Ia sudah berbulat tekad, bahwa ini adalah tugas kemanusiaan.

    “Saya bukan mencari sensasi, bukan mencari nama, tetapi buat apa saya sudah sampai ke sini tetapi tidak bisa mengunjungi dunsanak-dunsanak kita yang masih dicekam ketakutan di Wamena. Mereka harus diberi semangat, dihibur dan diulurkan empati dari kita. Saya sudah bertekad, harus ke Wamena,” kata dia. (bersambung)