?Nasrul Abit mendengarkan keluh kesah para korban kerusuhan Papua |
Oleh: Alwi Karmena & Eko
Yanche Edrie
Bandar udara Sentani atau
Sentani International Airport dalam dunia penerbangan sipil diberi kode DJJ.
Bandara terbesar di pulau Papua (d/h Irian) itu merupakan bandara hub di
Indonesia timur.
Kabarnya tahun ini nama
bandara Sentani akan berganti menjadi Bandar Udara Internasional Theis Hiyo
Eluay. “Seturun pesawat setelah semalaman terbang dari Jakarta, saya langsung
menuju Sentani, di Kabupaten Jayapura. Saya diberi tahu bahwa saya ditunggu
oleh para perantau kita yang mengungsi ke sana,” kenang Nasrul Abit.
Sentani kira-kira berjarak
antara Padang ke Lubuk Alung. Maka rombongan Nasrul Abit pun bergerak menuju
Sentani. Sepanjang jalan, Nasrul Abit berdoa, baik untuk keselamatan rombongan
maupun untuk keselamatan dirinya. Sebab ia sudah diberitahu oleh Irjenpol Boy
Rafli Amar mantan Kapolda Papua yang urang
awak itu tentang kondisi terakhir di Papua. Melalui saluran-saluran yang
dipunyai oleh Boy Rafli Amar, Wagub Sumbar itu diconect kan dengan mereka.
“Saya berterimakasih kepada
Pak Boy Rafli Amar yang telah turut membantu membukakan jalan bagi saya
memasuki tanh Papua yang masih berasap pasca kerusuhan besar tersebut,” kata
Nasrul Abit.
Sabtu 28 September 2019, menjelang
tengah hari Nasrul Abit tiba di
Sentani, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua. Ia tak kuasa meneteskan air
matanya di tengah para perantau Minang yang menjadi pengungsi di Sentani.
Dalam kapasitasnya
sebagai Wagub Sumatera Barat, Nasrul Abit pun pun bertatap muka dan
mendengarkan langsung keluhan warga perantau. “Kami lumayan banyak di Papua ini
pak. Tapi sebagian besar dari kami ingin segera pulang ke kampung halaman untuk
menenangkan pikiran dan agar lepas dari kecemasan di sini,” kata mereka ketika
berdialog dengan Nasrul Abit.
Sungguh amat
mengenaskan cerita para pengungsi itu. Ada yang menceritakan tentang nasib yang
terkepung di tengah hujan panah. Orang-orang Papua mengamuk dan membakari
warung. “Walau sudah minta ampun tetapi masih saja warung kami
diporak-porandakan,” turur seorang perantau yang jadi penyintas dari kerusuhan
itu kepada Nasrul Abit dan rombongan.
Novi Hendra, Ketua
Ikatan Keluarga Minang di Kabupaten Jayapura menyebutkan pengungsi asal
Sumatera Barat yang tiba di Jayapura sekitar 160-an orang. Kata Novi, pagi itu
(28 September) sudah ada yang pulang ke Padang sebanyak 6 orang.
“Termasuk 9 jenazah dan
pendamping juga sudah dipulangkan ke kampung halaman. Pengungsi warga Sumatera
Barat di Sentani berpencar, ada di Gedung Tabita 62 orang dan di rumah
keluarganya,” ujar Novi terbata-bata kepada Nadsrul Abit.
Novi atas nama semua
keluarga Minang di seluruh Papua berterima kasih kepada Nasrul Abit yang sudah
sangat berani datang menjenguk mereka di Papua ini. “Kami bangga ketika
mendengar cerita saudara-saduara perantau dari provinsi lain, mereka menyatakan
salut dengan pemimpin Sumatera Barat yang tanpa kenal takut datang menemui
warganya di wilayah yang sedang kacau balau ini,” kata Novi Hendra.
Usai bertemu warga,
Nasrul Abit mengunjungi RSU Jayapura melihat beberapa korban yang terluka
akibat kerusuhan. Salah satunya adalah Putri. Ia tak kuasa menahan tangis
melihat dirinya dikunjungi Wakil Gubernur Sumatera Barat. “Terimakasih Pak,
terimakasih.....Bapak sudah datang menjenguk kami, lai tarasa bamamak
kami...ko, tarimokasih Pak Wagub,” ujar dia dengan air mata berderai. Nasrul
Abit juga tak kuasa menahan air mata dan mengusap matanya.
Menurut Nasrul,
kondisi psikologis perantau kita di sana memang sedang sangat buruk. Penuh
dengan ketakutan dan kecemasan, seakan kerusuhan bisa datang kembali. Sebab
hal-hal seperti itu sudah biasa terjadi di sana. Namun yang mengancam dan
membunuhi warga pendatang, barulah kali ini.
“Saya sempat berdialog
dengan Gubernur Papua. Secara pribadi ia meminta maaf atas ketidaknyamanan
perantau Minang yang menjadi warganya itu karena adanya kerusuhan di Wamena.
Beliau meyakinkan saya bahwa kondisi ini tidak akan berlarut-larut, akan segera
diselesaikan oleh aparat kemanan,” kata Gubernur Lukas.
Bahkan Gubernur Papua
itu juga menyatakan malu atas tindakan yang dilakukan warga Papua kepada
perantau Minang lantaran dirinya sudah menyandang gelar Sutan Rajo Palimo
Gadang dari Lintau.
Namun dengan rasa
was-was yang tidak mau hilang, Nasrul Abit memutuskan bahwa dirinya harus
berangkat ke Wamena lantaran masih banyak warga perantau Minang yang tertinggal
di sana.
“Jangan, jangan ke
sana bapa...belum aman,” kata Gubernur Lukas Enembe menegah niat Nasrul Abit.
Sang gubernur tentu saja merasa cemas bila terjadi apa-apa dengan tamunya dari
Sumatera Barat ini.
Sampai malam Nasrul
Abit mencari akal bagaimana caranya bisa menerobos Wamena yang masih dianggap
mencekam itu. Dalam pikirannya, apapun alasannya dirinya harus bisa sampai ke
Wamena. Ia sudah berbulat tekad, bahwa ini adalah tugas kemanusiaan.
“Saya bukan mencari
sensasi, bukan mencari nama, tetapi buat apa saya sudah sampai ke sini tetapi
tidak bisa mengunjungi dunsanak-dunsanak kita yang masih dicekam ketakutan di
Wamena. Mereka harus diberi semangat, dihibur dan diulurkan empati dari kita.
Saya sudah bertekad, harus ke Wamena,” kata dia. (bersambung)