×

Iklan

WEBINAR MODERASI BERAGAMA FKPT SUMBAR-BNPT-GURU
Multikulturalisme kita Hebat, Tapi Sekaligus Sensitif Memicu Perpecahan

23 Agustus 2021 | 11:01:53 WIB Last Updated 2021-08-23T11:01:53+00:00
    Share
iklan
Multikulturalisme kita Hebat, Tapi Sekaligus Sensitif Memicu Perpecahan
Prof. Saifullah (kiri bawah) dan Faizal Yan Aulia (kanan)

Padang, Khazminang.id -- Multikultural dan multiagama di Indonesia adalah sebuah hal yang baik saja di Indonesia, tetapi tidak terhindarkan pula bahwa keberagaman ini amat sensitif memicu perselisihan dan akhirnya perpecahan.

“Maka tidak ada jalan lain kecuali merawat multikultural dan multiagama di Indonesia dengan sebaik-baiknya. Majauhkan kondisi multikultural dan multiagama ini dari gangguan orang-orang yang ingin negara ini pecah belah, menjauhkan kondisi multikultural dan multiagama bahkan multietnis ini dari paham radikalisme yang cenderung hanya membenarkan pahamnya sendiri dan sangat intoleran,” kata Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang, Prof. Saifullah ketika tampil pada Webinar, bertajuk ‘Guru Pelopor Moderasi Beragama di Sekolah’ yang digelar oleh FKPT (Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sumbar dan Badan Nasional Pananggulangan Terorisme (BNPT).

Pada Webinar yang dimoderatori oleh Kabid Agama & Sosbud FKPT Sumbar, Aidl Mubaeq itu, tokoh Angkatan 66 Sumbar itu, menyinggung pentingnya menerapkan nilai-nilai multikultural di semua lembaga pendidikan. “Itu akan mendukung apa yang kini menjadi isu nasional yakni moderasi beragama,” kata Saifullah.

    Maka menurut dia, untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme yang disebar oleh kaum radikal kepada kaum muda dan kaum milenial, sekolah-sekolah melalui para guru agama mesti menjadi pelopor dalam mengajarkan anak didiknya menjadi orang yang toleran, saling menghargai, kebersamaan dan saling menghormati.

    “Dunia pendidikan kita kurikulumnya atau setidak-tidaknya para gurunya memiliki kompetensi yang tiap kali tampil di hadapan murid-muridnya mensyiarkan nilai-nilai washatiyah (moderat), tasamuh (toleran), musaawah (persamaan), tasawuth (moderat) dan ukhuwah (persaudaraan). Nah itu adalah bagian dari cara menyemai moderasi beragama,” kata mantan Ketua FKPT Sumbar itu.

    Bahwa teroris tidak lagi menyasar kaum tua untuk jadi kader mereka yang radikal, tetapi menyasar anak-anak dan remaja diakui oleh Plt. Kasubdit Pengawasan Badan Nasional Pananggulangan Terorisme (BNPT), Faizal Yan Aulia.

    Para pentolan teroris tidak lagi menyasar kaum yang sudah mapan usia sebagai kader-kader mereka, melainkan kini lebih memilih sasarannya adalah kaum muda yang melek IT untuk direkrut sebagai kader teroris dengan terlebih dulu diindoktrinasi paham radikalisme.

    “Maka, barisan harus dirapatkan, sedini mungkin bentengi anak-anak, remaja-ramaja dari paham radikalisme yang diam-diam disalurkan para perekrut melalui dunia maya yang memang sangat dekat dengan anak dan remaja,” kata  Faizal Yan Aulia.

    Faizal menyebutkan bahwa salah satu pintu masuk radikalisme itu lewat pendidikan keagamaan. “Pelan-pelan mereka mencokoki anak-anak dan remaja dengan paham-paham yang sesat. Mendoktrin anak dan remaja milenial bahwa yang benar adalah kelompok mereka, yang lain adalah sesat, karenanya layak untuk dilawan bahkan akhirnya dihabisi,” ujar Faizal.

    Maka, untuk mencegahnya tak ada jalan lain kecuali membuat benteng yang kuat. Para guru, khususnya guru agamalah yang diharapkan bisa berbuat banyak sebagai pencerah kepada anak didik bila ada yang sudah terpapar paham radikal itu.

    “Moderasi beragama adalah salah satu cara yang diyakini efektif. Bagaimana sekolah menumbuhkan kesadaran bahwa tidak boleh ada diskriminasi tidak boleh ada intolerasi, membangun kesadaran kerukunan, saling menghargai meskipun agama para siswa berbeda-beda,” kata dia.

    Ia berharap sekolah-sekolah berlomba menjadikan lingkungan pendidikan tersebut sebagai sebuah rumah yang nyaman, tempat yang rukun, penuh dengan warga sekolah yang saling menghargai satu sama lain, damai dan jauh dari permusuhan, saling curiga, saling benci dan seterusnya hal-hal buruk yang bisa memicu perpecahan. (eko)