Satake Bayu saat berkumpul dengan wartawan media online di Cafe Nana Pink, kawasan GOR Haji Agus Salim. |
Padang, Khazminang.id--Bilangan tahun baru memasuki angka 1975, namun pasangan suami istri (pasutri) Alm Siswoyo dan Ambarwati (73 tahun) sepertinya menaruh harapan besar terhadap anak ke dua mereka yang baru dilahirkan pada 25 November 1968.
Ada harapan besar yang membuncah dalam sanubari pasutri ini. Mereka sepertinya menginginkan sang bayi kelak tumbuh bagai beras putih bersih yang bermanfaat dan disukai banyak kalangan.
Tak mengherankan bila pasutri yang berprofesi sebagai petani di Jawa Barat ini memberi nama anaknya itu Satake, merupakan merek mesin penggiling padi yang mampu mengupas kulit gabah dan kulit ari yang menutup permukaan biji beras hingga menjadi beras putih. Mesin penggiling padi sederhana yang populer kala itu adalah Satake Rice Milling Machine.
Hari berbilang, tahun pun bergerak menggenapkan hitungannya. Sang bayi bernama lengkap Stefanus Satake Bayu Setianto pun tumbuh remaja. Hubungan harmonis yang tercipta dengan kedua orang tua dan kakak tetuanya yang kini merupakan seorang Perwira Tinggi TNI, Brigjen TNI Ibnu Bintang Setiawan, S.I.P, M.M dan menjabat sebagai Kepala Staf Komando Daerah Militer VI/Mulawarman, membuat Satake muda tumbuh menjadi anak yang memiliki kesehatan mental yang bagus, psikis, fisik yang baik pula.
Tak mengherankan bila selepas SMA tahun 1988, Satake muda langsug mendaftar menjadi seorang tentara untuk mengabdi pada nusa dan bangsa. Ternyata Tuhan punya rencana sendiri untuknya, Satake muda hanya menjalani hidup belaka. Takdir menyatakan ia gagal menjadi seorang tentara seperti yang diimpikannya.
Tak mau larut dalam duka berkepanjangan lantaran tak bisa mewujudkan cita-cita menjadi tentara, Satake muda pun memutar haluan. Kebetulan kata Satake, Jumat 28 Januari 2022, di tahun yang sama juga ada lowongan penerimaan siswa di Akademi Kepolisian (Akpol). Kesempatan itu tak disia-siakannya, Satake dengan penuh optimis ikut mendaftar pula.
Lagi-lagi Tuhan belum “memuluskan” langkahnya. Dari beberapa kali seleksi yang telah dijalaninya, ia tersandung pada hasil tes Panitia Penentuan Akhir (Pantukhir).
Rasanya ia ingin berteriak lantang dan menangis sejadi-jadinya kala itu. Namun “kesadaran” segera menyapa dan mengingatkannya, bahwa langkah itu hanya milik manusia-manusia lemah.
Satake muda pun tersadar dan tak mau larut dalam kecewa berkepanjangan. Baginya gagal tahun ini bukan berarti “kiamat”, namun masih ada tahun depan yang siap menanti dengan “senyuman”.
Memasuki tahun 1989, ternyata Satake mampu meraih gemintang dengan gemilang, setelah mengikuti tes kedua kalinya sebagai siswa Akpol, sebuah lembaga pendidikan untuk mencetak Perwira Polri, ia dinyatakan lulus dan berhak mengikuti pendidikan.
Kecerdasan dan kesungguhan Satake selama pendidikan, mengantarkannya dilantik dan berhak menyandang pangkat perwira pertama pada tahun 1992. Haru bercampur bangga tercurah dari kedua orang tuanya saat itu, maklum anak seorang petani desa mampu menjadi Perwira Polri.
Hati orang tua mana yang tak akan luluh melihat sang buah hati mampu menggapai “derajat”, yang kelak diharap mampu mengangkat marwah keluarga. Tak berlebihan rasanya bila air mata sang ayah dan bundanya sempat membasahi pipi manakala menyaksikan Satake (mesin penggiling padi) yang mereka cinta dilantik menjadi Perwira Polri.
Manusia hanya menjalani, Tuhanlah penentu segala-galanya ! Belum lagi sang ayah, Alm Siswoyo, sempat berlama-lama melihat Satake (mesin penggiling padi) benar-benar mampu menghasilakan “beras putih bersih yang bermanfaat dan disukai banyak kalangan” dengan kapasitasnya sebagai Perwira Polri, sang ayah pun pergi beberapa bulan setelah ia dilantik. Pergi bukan untuk semata saja, tapi untuk selamanya !
“Saat ayah meninggal dunia, ketika itu saya sedang mengikuti pendidikan Tahap II, Pendidikan Kejuruan (Dikjur) Lalu Lintas selama 3 bulan. Saya masih beruntung, meski masih dalam pendidikan, saya diizinkan menghadiri pemakaman ayah,” kata Satake mengenang.
Kendati Alm Siswoyo tak bisa melihat Satake tumbuh seperti diharapkannya, namun ia meyakini arwah sang ayah akan terus memantaunya dengan penuh rasa cinta. Makanya ia berjanji tak akan mengecewakan arwah almarhun sang ayah.
Bersama putaran bilangan tahun, dari perwira pertama Satake pun kini telah menggapai pangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol), pangkat tertinggi dalam jajaran kepangkatan Perwira Menengah Polri, bergambar pangkat tiga bunga melati emas. Ia pun berhak menggunakan nama lengkap Kombes Pol Stefanus Satake Bayu Setianto, S.I.K, M.Si.
Berdasarkan surat mutasi jabatan yang tertuang dalam surat telegram nomor 2854/KEP/2019 tertanggal 12 Oktober 2019 lalu, Satake Bayu dipercaya menduduki jabatan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Sumbar, yang dilantik pada bulan November 2019 lalu.
Disinilah harapan ayah bundanya mulai terlihat nyata, mantan Dirpamobvit Polda Gorontalo ini ternyata mampu tumbuh menjadi “mesin penggiling padi” yang menghasilkan beras putih bersih yang bermanfaat dan disukai banyak kalangan. Buktinya, ia mampu menjadi perekat hubungan antara Polri dengan wartawan.
Baru beberapa hari menjabat sebagai Kabid Humas Polda Sumbar, Satake tak sungkan datang bersilaturahmi dengan para wartawan. Bahkan ia tak sungkan duduk di warung-warung sederhana tempat wartawan sering berkumpul, meski hanya menyeruput teh panas plus gorengan.
Satake sepertinya menyadari betul bahwa sebagai spoke person atau juru bicara (jubir) Polda Sumbar, ia harus menjaga hubungan baik dengan para wartawan dan menjadi garda terdepan Harkamtibmas (pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat), serta harus piawai dan andal menganalisis, mengelola dan me-manage media massa, menaikkan isu positif dan menekan isu negatif, dengan semasif mungkin “membombardir” berita, tayangan positif ke masyarakat di media massa.
Satake mengaku, perjalanan karier di Humas Polda Sumbar adalah pengabdian yang asyik, enjoy, menantang tapi sekaligus bermakna dan membanggakan, karena mewakili nama baik institusi Polri.
Karena itulah pria kelahiran Bekasi, Jawa Barat, 25 November 1968 itu terus berupaya bersinergi dengan awak media yang ada di Sumbar, salah satunya dalam memberantas hoax.
Bahkan pada suatu hari, sekitar bulan Agustus 2020 lalu, mana kala belasan orang wartawan Kota Padang sedang berkumpul di sebuah warung sederhana di depan cafe Soerabi Enhaii, dalam suasana hujan lebat, Satake datang.
Kendati baju dinasnya sempat basah terkena guyuran hujan karena turun dari mobilnya berjenis Grand Vitara warna abu-abu, namun tak mengurangi keramahannya untuk menyapa sekitar 19 orang wartawan yang sedang menyeruput kopi kala itu.
Ia pun mengatakan bahwa kedatangannya menemui para wartawan ke warung tempat nongkrong para jurnalis itu adalah dalam rangka melaksanakan bakti sosial untuk para wartawan terdampak perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4.
Satake juga mengatakan, atas perintah Kapolri, Polda Sumbar akan berusaha memberikan dukungan bantuan sembako kepada para wartawan sebagai mitra pihak Kepolisian.
“Salah satu tujuan pemberian bantuan ini agar para wartawan terdampak Covid-19 tidak merasa sendiri dalam kesusahan ini. Mari bersama-sama kita berkolaborasi berjuang melawan Covid-19," ajak Satake yang datang untuk membagikan sekitar 30-an paket sembako kepada para wartawan media online pada hari itu.
Sebelumnya, Cafe Nana Pink yang berada di kawasan Gelanggang Olahraga (GOR) H. Agus Salim, Jalan Siak Rimbo Kaluang, Kecamatan Padang Barat, Kota Padang, juga menjadi saksi bahwa Satake Bayu memang merupakan sosok yang memiliki hubungan emosional yang dekat dengan para wartawan, dan menjadi bukti bahwa inilah Polri Humanis menuju Presisi Polri Presisi (prediktif, responsibilitas, transparasi, dan berkeadilan) yang tengah diperjuangkan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. (Febriansyah Fahlevi)