Oleh: Eko Yanche Edrie
Heran, pemerintah pusat sulit sekali
menerapkan aturan pembatasan iklan rokok Sementara di Padang Panjang, ketika Walikota dijabat Suir Syam, menerbitkan aturan
pelarangan iklan rokok tak ada yang heboh. Sebegitu hebohnya rencana pembatasan
iklan dan pembatasan peredaran rokok sampai-sampai pernah tiga hari
berturut-turut di Harian Kompas 22-24 Februari 2010 yang silam, Aliansi
Masyarakat Tembakau Indonesia ketika
itu memasang iklan full color setengah halaman. Tagline
dari iklan itu adalah: ‘Giliran Kami Bicara’.
Maksudnya masyarakat pertembakauan yang terdiri dari pengusaha pabrik rokok, petani tembakau, pekerja industri rokok meminta Menteri Kesehatan yang sedang menyiapkan rencana pembatasan rokok agar memikirkan kembali niatnya. Disebutkan ada jutaan pekerja pabrik rokok dan petani tembakau serta cenkeh akan menganggur. Lalu ditambahi pula pesan menakutkan bahwa akan ada Rp55 triliun cukai tembakau yang akan hilang dari kas negara setiap tahun.
Kembali ke soal perang melawan rokok. Upaya-upaya untuk mencegah agar bahaya rokok tidak makin meluas, sesungguhnya patut dimulai dari bawah saja. Misalnya seperti yang dibuat Pemko Padang Panjang, Pemprov DKI, Pemko Surabaya dan beberapa daerah Kabupaten/Kota lainnya.
Pabila pemerintah di tingkat bawah sudah sama-sama sepakat melahirkan Perda-perda serupa, secara perlahan urusan membuat aturan pamungkas berupa UU tentu tidak memerlukan kerepotan untuk melawan resistensinya.
Karena itu, antara lain yang juga perlu (dan paling penting) adalah bagaimana para pengambil keputusan menyikapi tembakau. Secara literal sudah jelas, tembakau mengandung nikotin dan nikotin adalah zat yang berbahaya. Dalam RPP yang akan dibuat pemerintah memang disebut bahwa produk tembakau mengandung zat aditif. Nah sekarang bagaimana para pemimpin daerah/DPRD sama-sama menyamakan suara: bahwa rokok berbahaya! Dan itu hendaknya tanpa reserve.
Konsekwensi dari persepakatan bahwa rokok adalah berbahaya bagi kesehatan dan ekonomi adalah integritas. Bahwa memalukan kalau sudah mengaku kalau rokok berbahaya tetapi tidak mau memeranginya. Dengan demkian barulah lahir upaya-upaya hukum tadi, membuat Perda, Perwako, Perbup, Pergub untuk memperkecil wilayah rokok.
Sekarang belum terlihat upaya gencar ke arah itu segencar kita melawan narkoba, HIV-AIDS, korupsi dan Covid-19. Kampanye-kampanye antirokok perlu digalakkan. Di Malaysia, Singapura atau Thailand semangat antirokok makin jelas ujudnya.
Sebagai mantan perokok yang kini jadi perokok pasif (kadang merokok kadang tidak) saya dapat merasakan betapa tersiksanya para ‘ahli hisap’ (sebutan saya untuk perokok) selama melancong ke negeri yang tak menghargai kaum perokok. Di Bandara KLIA rokok hanya ‘diduduik’ di tempat tertentu saja. Di terminal Pudu Raya Kuala Lumpur sebagai ‘ahli hisap’ kita harus bertobat sebenarnya dari palutan ketergantungan pada candu nikotin. Maklum di sana para ‘ahli hisap’ dihilangkan tuahnya oleh polisi pelancongan.
Tak boleh merokok di setiap level (lantai) kecuali di basement tempat bus-bus diparkir. Kalau hanya parkir sih tak apalah. Semua bus dalam keadaan mesin hidup, asap knalpotnya ‘mangkapopoh’. Maka berkatalah polis pelancongan kepada ahli hisap: “Sila encik sekalian habiskan rokok di sini”. Maka tinggallah para ahli hisap bercampur baur dengan gas CO2 yang keluar dari knalpot. Saya tak tahu, apakah geretekan kretek Jie Sam Soe menjadi makin bikin fly para ahli hisap atau malah paru-paru harus menyisakan space buat asap baru selain asap tembakau.
Space iklan media luar ruang yang mengiklankan rokok nyaris tak terlhat di Thailand dan Malaysia. Yang terlihat justru makin meluas tempat pelarangan merokok. Di Hatjay, kota pelancongan selatan Thailand mulai menolak rokok. Di hotel, merokok hanya dibolehkan di kamar. Di loby kalau mau kena ‘uang rokok’ alias denda 2000 bath (equivalen dengan 200 ringgit Malaysia) silahkan menyulut rokok.
Perang melawan rokok makin menghebat di Thailand. Rokok merk Mildseven dibuat oleh Jepang di Thailand, harganya RM7 atau sekitar Bt70. Khusus yang diedarkan di Thailand, diluar kemasan Mildseven bukan saja dicantumkan peringatan tertulis mengenai bahaya rokok dengan teks namun dimuat juga gambar jantung manusia dan bagian tubuh manusia yang dirusak oleh nikotin.
Sekarang tinggal di kita, mau atau tidak melawan rayuan rokok dan berhenti jadi ahli hisap?
Akan halnya sikap kita mendengar ‘ratapan’ masyarakat tembakau yang menyebut bahwa petani tembakau akan kehilangan penghasilan sebenarnya perlu kita hitung ulang kembali. Seberapa besar kerugian yang ditimbulkan baik kesehatan maupun ekonomi akibat rokok dibanding dengan seberapa besar kontribusi rokok untuk kebaikan nasional.
Soal ada yang tereliminasi itu benar. Tapi kan
pemerintah tidak frontal menghabisi rokok. Departemen Pertanian mesti
menyiapkan upaya alih komoditas kepada para petani tembakau. Sedang pabrik
rokok, silahkan ekspor saja rokoknya dan kemudian melakukan diversifikasi usaha
secara perlahan. Secara perlahan tiap daerah mulai menghisab (menghitung) seberapa
besar kerugian yang ditimbulkan oleh ‘ahli hisap’ dan seberapa besar
manfaatnya.***