×

Iklan


Mengelola Kota ala Casino

05 Juli 2024 | 16:02:49 WIB Last Updated 2024-07-05T16:02:49+00:00
    Share
iklan
Mengelola Kota ala Casino

Coretan: INDRA GUSNADI

--

"Mengelola kota kecil itu ibaratnya sama dengan mengelola Casino, Diak, tidak lebih," kata teman "ngopi' saya di sore itu. Seorang paruh baya yang bicaranya spontan, apa adanya.

    "Seperti apa pula itu, Da?" ujar saya menanggapi.

    "Kota kecil yang luasnya hanya 23 km2, itupun hanya 1/3 yg potensial. Jumlah penduduknya 55 ribu. Jika 50 ribu saja kebutuhan warga setiap harinya, maka kota itu harus bisa menghasilkan 2,7 milyar/hari untuk menghidupi warganya. Dikalikan 365 hari, lebih kurang1 trilyun/tahun," lanjutnya berapi-api.

    *Wah, kencang juga "kali-kalinya'," kata saya dalam hati.

    Kemudian dia melanjutkan, ''Darimana itu semua?, kalau diandalkan APBD kota yg cuma 600 milyar, itupun separohnya untuk pegawai, bagaimana menghidupi masyarakat?"

    Sebelum sempat saya menjawab, dia menimpali, "makanya sisa uang APBD yang 300 milyar harus dimanfaatkan untuk mendatangkan uang dari luar, bukan untuk kegiatan-kegiatan yang tidak jelas dan tidak produktif!", timpalnya.

    Saya mulai paham kemana arah bicaranya. "Terus apa kaitannya dengan mengelola Casino?" pancing saya.

    Sambil tersenyum dia menjawab, "Ambo urang balai, cara pikir ambo baa pitih masuak dan baputa. Samakin banyak pitih masuak, samakin banyak pitih baputa, semakin panuah saku-saku....

    Kita bisa belajar dengan pengelola Casino, dengan modal ruangan meja, kartu dan pernak-perniknya mereka bisa mendapatkan banyak uang, banyak uang berputar disana. Pasti pengelola dan anak buahnya jadi sejahtera".

    "Kalau kita ibaratkan kota adalah sebuah Casino dan meja-meja itu adalah SKPD, dan operator meja itu adalah kepala SKPD. Maka yang perlu dilakukan operator meja itu adalah bagaimana membuat orang tertarik mengunjungi mejanya dan betah berlama-lama menghabiskan uang di meja itu.

    "Dengan modal kecil si bandar meja mendapatkan untung yang sebesar-sebesarnya," imbuhnya dengan wajah yang sumringah.

    "Artinya, setiap kepala SKPD membuat program/kegiatan yang menghasilkan orang datang dan mengeluarkan uangnya. Baik dalam bentuk pemasukan PAD, investasi, atau betah berlama-lama berada di kota ini. Ada jual-beli disitu. sehingga menambah uang beredar dan masyarakat bisa menghasilkan barang dan jasa," tambahnya.

    "Iko kan indak, kebanyakan hanyo berlomba-lomba mambuek program/kegiatan yang indak jaleh manfaatnyo bagi masyarakat dan perekonomian daerah. Mahabih-habihan pitih APBD sajo hasilnyo ndak jaleh, cukup puas dengan sertifikat-sertifikat penghargaan. Masyarakat sendiri indak marasokan manfaat keberadaannyo," pungkasnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.

    "Ambo permisi dulu diak, mancaliak kamanakan sabanta. Jan lupo bayia minum uda".., katanya sambil tertawa dan menampakkan gigi-giginya yang tidak lagi rapi.

    Berjalan menuju motor bututnya yang diparkir tidak beberapa jauh dari meja tempat kami ngopi.

    Sambil menghirup kopi yg tersisa, dan menghisap rokok yang masih ada setengahnya, saya jadi tersenyum sendiri.

    Ada benarnya juga ide teman ngopi ini. Meskipun dengan bahasa dan pemisalan yang tidak 'lazim" tapi substansi yang disampaikan, logis.

    Kadang kita terlalu berpikir yang terlalu rumit, dengan konsep-konsep pembangunan ekonomi dan kesejahteraan.

    Dari berbagai buku literatur konsep teori pembangunan kota, pertumbuhan ekonomi, ekonomi regional dll, yg saya pelajari mulai dari S1,S2,S3 kesemuanya itu selalu berdasarkan asumsi 'Ceterus Peribus"

    Dengan asumsi "ceterus peribus" inilah ilmu ekonomi selalu benar. Persoalannya asumsi "ceterus peribus" inilah yang seringkali terlanggar di "wakanda" dalam prakteknya.

    Apapun konsep dan Teorinya, Ekonomi itu tumbuh ketika  Nilai (output) barang/jasa yg dihasilkan lebih besar dari biaya (input) yang dikeluarkan untuk memproduksinya. Produktifitas, efektifitas, efisiensi, inovasi adalah 'tools' untuk mewujudkannya. Bisa disederhanakan sih konsep ekonomi.

    Kita lepaskan dulu teori ekonomi yang ruwet dan mesti dengan 'kalkulus" menjabarkannya. Pakaikan saja pituah "orang2 dulu', Alam takambang jadi Guru. seperti sebuah ungkapan sederhana;

    "Taroh saja gula, maka semut akan berdatangan dengan sendirinya".

    Tinggal menentukan, gula seperti apa? Semut seperti apa yang diharapkan akan datang? **

    *Penulis adalah pemerhati ekonomi, kini menjabat Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Kab. Solok.