Oleh: Eko Yanche Edrie
Pemilihan Kepala Daerah untuk Provinsi dan 13 Kabupaten/Kota di Sumatera Barat kalau tidak ada halangan akan dilaksanakan pada Juni 2020 mendatang. Berbagai pendapat (yang pasti saling berbeda) mewarnai menjelang dibulatkannya tekad untuk menyerentakkan pelaksanaan Pilkada kali ini.
Riuh rendah antara yang mendukung penyerentakan dengan yang menolak penyerentakan lebih banyak terkonsentrasi pada masalah-masalah pembagian tanggungjawab ‘memodalai’ Pilkada antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota. Meskipun demikian semua sepakat untuk serentak, meskipun ada yang tidak sepakat dengan share anggaran dalam APBD masing-masing.
Tetapi dari keriuhrendahan persetujuan serentak atau tak serentaknya Pilkada, yang juga tidak kalah ‘bakucatak’ nya adalah soal rebutan dukungan antarcalon dengan partai politik pendukung.
Tak ada kata lain untuk bisa menjelaskan bahwa pada saat riuh rendahnya rebutan dukungan itu, maka parpol dan para pengurusnya sedang jadi bintang. Para ketua-ketua partai terutama yang karena dukungan kursinya di parlemen bisa mengusulkan satu paket (kepala daerah/wakil kepala daerah) untuk dicalonkan ke KPU, justru telah menjadi orang yang sangat penting.
Apa mau dikata, meskipun ada peluang bahwa calon kepala daerah boleh dari kalangan independen (tanpa mengantungi dukungan parpol) tetapi ternyata itu tidak mudah. Menghimpun dukungan dari masyarakat dengan cara mengumpulkan KTP mereka adalah bukan kerja gampang. Karena itu diperkirakan yang maju lewat jalur independen amat sedikit, bahkan mungkin tidak akan ada.
Dengan demikian arus loby ke arah para pengurus parpol makin gencar. Para kandidat yang berminat jadi Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota makin rajin berteleponan dengan para petinggi partai. Pertemuan-pertemuan silaturahmi jadi sering dilakukan. Sementara para punggawa yang bertugas jadi tim sukses juga tidak kalah gencar mendekati para petinggi partai.
Bagi kandidat yang sudah ‘dilampuhijaukan’ untuk tidak didukung oleh partai besar, melirik partai yang tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan sepaket. Meskipun untuk itu kontak juga harus dianyam dengan partai kecil lainnya untuk kawan koalisi.
Kata setengah peminat kursi Gubernur, lebih baik memilih partai besar saja atau tidak usah sama sekali daripada pertai-partai kecil dalam ikatan koalisi tapi ‘belanja’nya besar dan ruwet menyatukan suara mereka. Itu sah saja dan itu hak masing-masing kandidat untuk didukung oleh partai yang mana. Masalahnya, kata kuncinya adalah ‘kesepahaman’ para petinggi partai untuk mendukung si A si B. Jika tidak ada ‘kesepahaman’ tadi, maka habislah harapan.
Bahwa ada ‘belanja’ atau politik transaksi antara kandidat dengan partai agaknya tidak perlu kita berdebat soal itu. Ia bagai kentut, ada baunya tapi sulit diraba ujudnya. Bahkan untuk membikin bahwa politik transaksi adalah proses politik yang normal-normal saja kadang muncul olok-olok: “masuk TK aja mesti bayar, apalagi mau jadi gubernur”. Dan yang agak intelek bahasanya adalah: “no free charge for lunch” tidak ada makan siang yang gratis, semua ada maunya.
Saya pernah menemani seorang calon Bupati beberapa tahun lalu. Ketika sudah dekat ke acara pemilihan (waktu itu masih dipilih DPRD) beberapa tokoh partai datang. Mereka menawarkan jasa untuk ‘meloloskan’ kawan saya tadi dengan syarat ‘membelanjai’ beberapa anggota yang merupakan representasi partai politik di parlemen daerah itu.
“Dek kami kalau nan ka jadi bupati, yo Apak juo lah, tapi…. Tantu bajalan iyo baaleh tapak,” ujar mereka seraya mengemukakan sejumlah angka rupiah.
Kawan saya tadi akhirnya berkata lunak. “Terimakasih atas dukungannya, namun saran saya kalau memang hendak memilih Bupati, pilihlah saya. Tapi kalau hendak memilih orang beruang (maksudnya orang yang punya banyak uang-red) pilihlah yang lain, keliru besar memilih saya. Saya hanya punya urang sebesar yang tempo hari saya sampaikan dalam visi misi saya, segitulah total kekayaan saya. Tapi dalam kepala saya ini tidak ingus saja isinya, nanti kalau saya sudah menang tentu akan ada ungkapan terimakasih dari saya namun saya tidak mau menjanjikan berapa besarnya sebab itu namanya pasti menyogok anggota dewan, saya tidak mau,” kata kawan ini.
Transaksi memang tidak tidak terjadi dan saya menyalami kawan tadi. Saya katakan bahwa dia telah mendapat hidayah dari Allah dengan berani berkata seperti itu. Saya hibur dia bahwa jabatan tidak diperoleh dengan membayar. Meskipun klise, tapi saya katakan bahwa satu ketika Allah akan memberi jabatan yang lebih pantas dari jabatan Bupati.
Pemilihan berlangsung, kawan tadi hanya dapat tiga suara saja. Tapi beberapa hari setelah itu ia menelepon saya sambil mengatakan bahwa dia akan diangkat untuk jabatan penting. Alhamdulillah.
Saya kira dalam musim Pilkada kali ini tentu akan ada juga orang-orang seperti itu. Yang mau menolak dan meredam syahwat kekuasaannya untuk membatalkan niatnya maju pada Pilkada kalau harus menyediakan ini dan itu sampai jumlah rupiahnya bermilyar segala untuk partai.
Dan semua pihak mestinnya ikut menggelorakan suara anti politik transaksional. Politik ‘bajalan baleh tapak’ mestinya diterjemahkan secara profesional saja. Misalnya, untuk keperluan kampanye calon diperlukan logistik dan oleh partai pendukung itu digariskan menjadi tanggungan dari calon yang bersangkutan. Itu sih tidak masalah. Sebab mana ada mencetak baliho gratis? Lagi pula pada saat seperti ini mana pula ada partai yang menyediakan dana untuk keperluan itu secara mandiri. Pastilah dana partai yang ada diperlukan untuk operasional partai.
Meneruskan rezim bajalan baaleh tapak ini pada akhirnya sama-sama berujung pada kekecewaan. Taruhlah si A sudah didukung penuh oleh partai X dengan berkontribusi sampai semiliar rupiah misalnya, tetapi begitu si A duduk jadi kepala daerah, rongrongan tidak akan berhenti dari partai pendukung atau kalangan yang menganggap dirinya sudah berjasa memenangkan si A. ‘Bajalan baaleh tapak’ berikutnya juga akan terjadi setelah kepala daerah duduk di kursinya. Kalau tidak dilayani, bisa-bisa ribut. Buntutnya, yang di parlemen memberi sinyal kuning akan mengajukan hak angket, interpelasi dan presure lainnya.
Jadi karenanya, tidak apalah dari awal kita berjelas-jelas. ‘Kita’ maksudnya di sini adalah kita para pemilih ini. Kita berjelas-jelas saja bahwa kita akan memilih Gubernur, memilih Bupati, memilih Walikota dan para wakilnya, bukan memilih orang beruang alias memilih karena uangnya. Sudah lama sekali kita mendustai kata hati kita, maka dengan kerentakan Pilkada kali ini, kita hantikan politik transaksional itu.*** (tulisan ini pernah dimuat pada tabloid DetikNerws 8 Maret 2010)