×

Iklan

LEBIH DEKAT DENGAN IRJEN POL FAKHRIZAL
Kisah Anak Kolong, Pramugari Tersesat dan Polisi yang Dikeroyok

12 Juni 2020 | 19:25:37 WIB Last Updated 2020-06-12T19:25:37+00:00
    Share
iklan
Kisah Anak Kolong, Pramugari Tersesat dan Polisi yang Dikeroyok
IRJEN Pol. Drs. H. Fakhrizal, M.Hum dan istri tercinta, Ny. Ade Fakhrizal. IST

TERLAHIR sebagai anak seorang tentara, Fakhrizal menghabiskan waktu kecilnya selama 12 tahun di asrama Batalyon Infanteri (Yonif) 133, Air Tawar, Padang. Bapaknya, Sabri yang kini sudah berusia 80 tahun, merupakan anggota TNI AD dengan pangkat terakhir Pembantu Letnan Satu (Peltu).

Layaknya anak kolong -sebutan bagi anak polisi atau tentara kebanyakan-, Fakhrizal menjalani hari-harinya di asrama. Namun, hidup yang dijalaninya jauh dari kata mapan.

 

    Secara ekonomi, masa kecil Fakhrizal memang beda dengan kebanyakan anak tentara lainnya. Dia lebih gandrung bermain sepakbola dibandingkan berkumpul tanpa melakukan kegiatan berfaedah. Jika tak main bola, dia tanding voli, atau memilih membaca Alquran saja di rumah. Jarang dia bauru-uru. Setiap hari baginya mesti memberi arti, baik pada keluarga, atau lingkungan.

     

    Memiliki seorang bapak dengan pangkat rendah dan bergaji yang tak seberapa, membuat keluarga Fakhrizal hidup seadanya, jauh dari kata mapan.

     

    “Hidup enak waktu itu hanya ada dalam bayangan, maklum, Bapak hanya tentara dengan pangkat rendah. Gajinya kecil, kadang untuk makan saja sulit,” ungkap Fakhrizal, mencoba kembali merawikan kisah hidupnya di masa-masa sulit, ketika Benz Maharajo menyambangi rumah pribadinya di kawasan Siteba, Kota Padang. Senyum jenderal bintang dua asal Agam itu lebar, dengan alis yang agak terangkat ketika meluncurkan kalimat.

     

    Meski hidup melarat, sang bapak tak pernah membiarkan anaknya tak bersekolah. Segala hal diupayakan agar enam buah hatinya bisa menempuh pendidikan yang layak.

     

    Kalau bapak mengajarkan Fakhrizal bagaimana cara hidup disiplin, bertanggungjawab dan tahu diri, ibunya bernama Asmi (76), justru lebih fokus dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan, seperti berbagi kepada sesama, dan tidak jumawa. Ajaran kedua orang tua itulah yang membentuk karakter Fakhrizal.

     

    Hidup serba kekurangan, tak membuat keluarga asal Pakan Sinayan, Kamang Mudiak, Agam itu patah arang, terutama Fakhrizal. Sebagai anak tertua dari enam bersaudara, Fakhrizal tahu diri. Dia lelaki Minang, sedari kecil diajarkan beragama, beradat dan tahu tanggung jawabnya.

     

    “Di bahu saya terpikul masa depan keluarga, saya adalah pengharapan bapak dan ibu untuk mambangkik batang tarandam, menaikkan derajat keluarga dan menjaga kehormatannya,” papar Fakhrizal.

     

    Sebab itu, dia bekerja keras mewujudkan impiannya. Waktu duduk di bangku SMA, Fakhrizal bermimpi bisa menjadi tentara, seperti bapaknya, namun takdir menuntunnya ke pengabdian yang lain. Selepas menuntut ilmu di SMA Negeri 2, Padang, Fakhrizal tes Akabri, dan dinyatakan bergabung dengan korps kepolisian, bukan tentara seperti bapaknya.

     

    “Lokasi pendaftaran waktu itu di markas Amandam, yang ada di Muaro Padang. Lewat pendaftaran itulah petualangan saya sebagai polisi dimulai,” ungkap ayah empat anak tersebut.

     

    Tuhan ternyata membukakan pintu lebar pada Fakhrizal untuk menjadi pambangkik batang tarandam keluarganya. Hanya sekali tes, dia lulus Akabri dan menempuh pendidikan kepolisian.

     

    Lepas pendidikan pada tahun 1986, dia ditempatkan di Polda Metro Jaya, persisnya sebagai Wapamapta Res Metro Jaksel, Polda Metro Jaya. Di awal-awal berdinas, Fakhrial berputar-putar di Polda Metro jaya saja.

     

    Hingga tahun 1990, terhitung dia pernah memikul empat jabatan. Selain Wapamapta, dia juga pernah menjadi Paur Minik Serse Res Jaksel, Kanit Resintel Res Metro Pasar Minggu dan Kanit Res Intel Metro Kebayoran Baru Polda Metro Jaya. Petualangan Fakhrizal sebagai polisi dimulai dari jantung Indonesia.

     

    Memimpin dengan Hati

     

    Karir Fakhrizal di kepolisian termasuk mentereng. Jalannya dimudahkan Tuhan. Sebelum menjabat Kapolda Sumbar, dia memimpin Polda Kalimantan Tengah.

     

    Selama menjadi pemimpin, Fakhrizal dikenal tak berjarak dengan bawahannya. Dia juga memimpin dengan hati, dan jauh dari gaya tangan besi. Dia menempatkan diri sebagai bapak, dan menjadi pelindung bagi jajaran. Komunikasinya terbuka, bahkan kepada anggota dengan pangkat terbawah sekalipun.

     

    “Pemimpin adalah muara segala masalah, dan hulu bahagia bagi orang-orang yang dipimpinnya. Saya tak ingin dikenal sebagai pemimpin yang bertangan besi, tapi diingat sebagai seorang bapak, seorang ayah, yang menaungi dan melindungi,” papar Fakhrizal.

     

    Ucapan Fakhrizal tak sekadar di mulut saja. Itu dibuktikannya. Dia merupakan pemimpin yang selalu diharapkan hadir. Kedatangannya selalu dinantikan, kepergiannya ditangisi.

     

    “Saya hanya menjalankan apa yang seharusnya dijalankan seorang pemimpin. Tidak zamannya lagi pemimpin bersikap otoriter, anti kritik atau bertangan besi. Saat ini, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang humanis, tidak membedakan bawahan, atau mengelompokkan diri, serta asyik saja dengan kelompok yang dibuatnya. Sebagai pemimpin, saya pelindung bagi seluruhnya,” papar Fakhrizal.

     

    Seperti tulisan Insannul Kamil, Irjen Fakhrizal menjalankan tugas profesi kepolisian, keluarga dan kemasyarakatan yang sangat bersahaja dan penuh empati yang menunjung tinggi prinsip-prinsip agama dan adat istiadat.

     

    Fakhrizal tidak pernah menampilkan dirinya sebagai seorang Jenderal Polisi dan dalam kapasitas Kapolda yang harus ditakuti orang lain, sebaliknya karakter bersahaja dan penuh empati yang telah menjadi identitas dirinya, membuat semua lapisan masyarakat sangat menghormati dan menghargainya.

     

    Lain halnya dengan persoalan yang menyangkut pelanggaran hukum, Fakhrizal akan menindaknya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

     

    Ia tidak tebang pilih dalam hal ini dan menjadikannya menjadi pemimpin yang sangat disegani di Sumatera Barat saat. Ia memberi contoh tauladan kehidupan beradat sesuai dengan ajaran adat budaya Minangkabau.

     

    Irjen Pol Fakhrizal memang sosok yang berkarakter Minangkabau sejati, humanis-egaliterian. Oleh karena itu, predikat yang pantas untuk beliau adalah; Polisi niniak mamak. Dia Kapolda yang selalu menerapkan nilai-nilai agama dan adat dalam rutinitas kesehariannya.

     

    Dia paham, menjadi polisi di Minangkabau, apalagi polisi yang berasal dari suku Minangkabu, bukan hanya sekedar menjalankan tugas-tugas sebagai polisi, tapi juga menjadi manusia yang bisa menghargai dan memanusiakan manusia yang lain, bukan malah menjustisfikasi, merendahkan atau malah mendiskriminasi.

     

    Bertemu Tambatan Hati

     

    Juni tahun 1988 barangkali menjadi bulan yang tak akan pernah dilupakan Irjen. Pol. Drs. H Fakhrizal, M.Hum. Di bulan itulah dia bertemu dengan sang tambatan hati, Ade Fakhrizal, seorang peragawati muda yang hingga kini tetap setia mendampinginya.

     

    Keduanya bertemu setelah Ade yang berstatus Putri Ayu Sumatera Barat tahun 1988 itu, mewakili Sumbar ke ajang Putri Ayu Indonesia di Jakarta.

     

    Keduanya dipertemukan Tuhan dengan cara yang unik. Usai ajang, Ade yang menjadi juara tiga, berjalan-jalan dengan finalis perwakilan Lampung dan Jawa Timur. Sialnya, mereka malah tersesat dan minta ditunjuki jalan pada Polantas.

     

    Tahu yang tersesat orang Sumbar, petugas lantas itu lalu memperkenalkan gadis-gadis cantik itu dengan Fakhrizal. Harapannya, agar Fakhrizal menjadi penunjuk jalan. Rupanya, perkenalan itu menjadi awal kebersamaan keduanya. Mereka malah saling bertukar alamat.

     

    “Sama-sama orang Minang, tapi bertemunya di Jakarta,” ungkap Fakhrizal, sosok kharismatik kelahiran Bukittinggi, 26 April 1963 silam itu, sebagaimana ditulis Bhenz Maharajo.

     

    Setelah berkomunikasi selama enam bulan, dan tiga kali bertemu, akhirnya Fakhrizal memberanikan diri untuk melamar Ade. Dia merasa yakin, Ade yang saat itu berstatus sebagai pegawai bank mampu menjadi pendampingnya seumur hidup.

     

    Lamaran Fakhrizal diterima, keduanya melangsungkan pernikahan. Pilihan Fakhrizal tak salah, Ade Fakhrizal merupakan pilihan yang tepat. Keduanya seirama menempuh pasang surut kehidupan.

     

    Kala menikah, Fakhrizal sedang bertugas di Polsek Pasar Minggu, Jakarta, dengan pangkat Letnan Dua (Letda), atau sekarang setara dengan Iptu. Gajinya Rp93 ribu, sangat jauh dari kata cukup untuk membiayai hidup. Tinggalnya juga di asrama.

     

    “Di tahun-tahun pertama menikah, kami begitu diuji. Gaji pas-pasan, kadang kurang. Tinggalnya di asrama. Kadang, gaji hanya cukup untuk setengah bulan. Untuk menyambung hidup, seringkali hanya makan mie. Tapi hebatnya, istri tak pernah mengeluh. Kalau saya sudah terbiasa susah,” kenang Fakhrizal.

     

    Sementara sang istri, Ade Fakhrizal menceritakan satu kenangan yang hingga kini masih melekat dalam ingatannya. Sebuah peristiwa yang membuat dirinya semakin yakin dengan tambatan hatinya itu. Kala itu, Ade dengan mata kepalanya sendiri, pernah menyaksikan ketika sang suami tercinta dikeroyok oleh tujuh orang pria berpostur tegap.

     

    “Bapak waktu itu dikenal sangat pemberani. Pernah, saat pergi berdua, kami diganggu oleh tujuh orang pria. Keributanpun tak terelakkan ketika Bapak turun dari mobil dan menghampiri mereka. Dengan jelas saya melihat Bapak dikeroyok. Tapi Alhamdulillah, Allah SWT melindungi. Ketujuh pria itu kalah, mereka lari tunggang langgang,” kenang Ade dilansir sumbartoday.

     

    Pasangan bahagia Fakhrizal dan Ade, dikaruniai empat orang anak. Si sulung, Alfano Ramadhan mengikuti jejak ayahnya sebagai polisi, tiga lainnya perempuan. Mereka adalah si kembar Julia Nofadini dan Julia Nofadina, dan terakhir si bungsu yang diberi nama Syarfina.

     

    Kepada anak-anaknya, Fakhrizal mengajarkan kesederhanaan. Dia ingin anaknya menjadi pribadi yang rendah hati, luhur dan tidak merasa tinggi hati dengan segala karunia yang diterima. Fakhrizal juga senantiasa menekankan, agar di setiap langkah kehidupan anak-anaknya, kelak bisa memberikan manfaat dan kebaikan bagi sesama. **


    (RYAN SYAIR)