Petani Singkong di Lampung (Dok: Lampungpost) |
Bandarlampung, Khazanah -- Harga singkong anjlok dan petani
di Lampung memekik. Ini menimbulkan tanda tanya besar bagi Ketua DPD RI AA
LaNyalla Mahmud Mattalitti. Ia mempertanyakan bagaimana pengaturan distribusi
dari produsen ke konsumen di tengah kondisi pusat produksi tidak merata di
seluruh Indonesia.
“Di Indonesia hanya 8 provinsi penghasil besar singkong. Artinya ada 26 provinsi non-penghasil. Dan kebutuhan produk turunan singkong digunakan banyak industri. Dan pabrik-pabrik itu tidak semua ada di provinsi penghasil. Artinya di sini kita bicara pengaturan suplay-chain di dalam negeri,” kata LaNyalla ketika berbicara pada FGD virtual yang digelar KAHMI Lampung hari ini.
Maka Ketua DPD pun mempertanyakan pengaturan atau penatakelolaan produksi sampai membentuk iklim pasar oleh pemerintah. “Apakah pemerintah akan hadir secara maksimal, atau hanya cukup lewat pencanangan-pencanangan program saja?” ujar dia.
Artinya jika hanya 8 provinsi yang memproduksi singkong, kan perlu dilihat bahwa pasarnya akan ada di 26 provinsi lain. Ini adalah pasar yang cukup bagus dan rata-rata membutuhkan singkong. Jadi, kata LaNyala, kalau harga singkong anjlok, tentu ada masalah pada distribusinya.
“Makanya Presiden Jokowi concern dengan akses melalui infrastruktur, termasuk tol laut. Sebenarnya untuk menjawab suplay-chain manajemen tadi. Tinggal, bisa jalan atau tidak di lapangan. Ada yang menghambat atau tidak,” imbuhnya.
Perdagangan antarprovinsi juga perlu ditata dengan baik agar masalah distribusi barang bisa lancar. Dikatakan LaNyalla, saat dia menjabat ketua umum Kadin Jatim, tahun 2012-2014, ia menggagas program misi dagang antarprovinsi. Bekerjasama dengan Pemprov Jatim, misi dagang Jatim membuka etalase produk di kantor-kantor perwakilan Pemprov Jatim di beberapa provinsi dan membuka forum temu bisnis, B to B. Hasilnya sangat signifikan meningkatkan arus distribusi barang dari Jatim ke beberapa provinsi lain.
“Ini artinya koordinasi antara kementerian perindustrian dan kementerian pertanian harus lebih kuat. Dan Pemprov Lampung harus pro-aktif koordinasi ke dua kementerian itu. Duduk bersama, pecahkan persoalan. Nanti Senator asal Lampung akan membantu,” ungkapnya.
Sementara menyinggung soal pendekatan mikro, LaNyalla tegas mengatakan jika ada masalah di tingkat mikro, berarti ada distorsi di lapangan. Umumnya disebabkan adanya penguasaan sektor hulu dan hilir oleh korporasi yang tidak terkontrol. Atau dalam bahasa sederhananya ada pratik kartelisasi.
“Memang tidak dilarang pabrik pengolahan punya kebun besar sendiri. Seperti pabrik gula punya kebun tebu, pabrik kelapa sawit punya kebun sawit. Tetapi harus diatur. Tidak boleh ada praktek kotor. Itu prinsipnya. Karena itu kembali ke awal tadi, petani harus jadi subyek dari program ketahanan pangan nasional. Mustahil Indonesia memiliki ketahanan pangan jika petani, peternak dan nelayan hidup susah,” kata LaNyalla.
Hadir dalam FGD itu, Senator asal Lampung, Ahmad Bastian, anggota DPR RI, I Komang Suheri, Ketua KPPU, Kodrat Wibowo, anggota DPRD Provinsi Lampung, I Made Suarjaya dan Wahrul Fauzi Silalahi, serta kalangan akademisi dari Universitas Lampung. (syaf al)