?Nasrul Abit di tengah pengungsi, semua ingin pulang ke kampung halaman |
Oleh: Alwi Karmena & Eko
Yanche Edrie
Wamena berasap. Rusuh di mana-mana. Rumah-rumah dibakar,
orang-orang non-pri atau para perantau termasuk urang awak dianiaya dengan membabi buta. Negeri yang tadinya aman
damai itu tiba-tiba bergolak.
Tidak tahu siapa yang memicu rusuh hingga api dan darah mengalir di setiap pojok Wamena. Maka tak ayal, ratusan perantau Minang yang menjadi bagian dari perantau nusantara yang ada di sana berusaha menyalamatkan diri. Sebagian besar berlindung ke Makodim setempat.
“Tidak ada tempat yang aman di sana. Saya mendengar cerita itu dari Pak Kapolda Irjen Paulus Waterpauw yang baru saja menjabat. Kapolda sebelumnya Irjenpol Rudolf A Rodja diganti mendadak oleh Kapolri sesaat setelah saya tiba di Jayapura,” kata Nasrul Abit.
Nasrul memang sempat was-was sebelumnya tentang bagaimana bisa sampai ke Wamena bertemu dengan para perantau. Jalur transportasi dari Jayapura ke Wamena hany bisa ditempuh dengan pesawat terbang. Tetapi sehari sejak kerusuhan di Wamena, penerbangan sipil dari dan ke Wamena terhenti.
Untunglah TNI AU segera ambil bagian dengan mengerahkan tiga pesawat angkut personel, Hercules untuk mengevakuasi para pengungsi keluar Wamena. “Saya diberitahu oleh Danlanud Silas Papere, Marsekal Pertama TNI Tri Bowo Budi Santoso, bahwa ada tiga pesawat Hercules yang ditugasi dari Jayapura ke Wamena untuk membawa logistik bagi pengungsi. Dan pulangnya membawa pengungsi. Dapat dibayangkan bagaimana rumitnya memberi prioritas membawa pengungsi ke Jayapura, karena semua ingin ikut terbang. Semua perantau, tidak hanya orang Minang,” kata Nasrul Abit.
Pada kesempatan lain, Harian Khazanah, juga mendapat cerita dari Kabag Rantau, Biro Kerjasama Pembangunan dan Rantau, Hilma yang ikut bersama Nasrul Abit ke Wamena. Ia mengisahkan bertapa mencekamnya perjalanan menuju Wamena itu.
“Pak Wagub mencoba melakukan pendekatan dengan DanLanud untuk bisa diprioritaskan sebagai penumpang ke Wamena. Alhamdulillah, Dan Lanud mengizinkan kami. Maka Pak Wagub bersama kami rombongan naik Hercules dan berada diantara tumpukan logistik di kabin pesawat militer itu. 45 menit tanpa tempat duduk sambil bergelayut di hanger. Tapi saya lihat Pak Wagub tetap tenang dan tidak terlihat wajahnya cemas,” kenang Hilma.
Setelah take off dari Bandara Sentani, rombongan Nasrul Abit sampai pagi-pagi di Bandara yang memiliki kode IATA sebagai WMX itu. Rombongan disambut oleh seorang anggota TNI berpangkat Mayor, namanya Johny. Rupanya dia adalah urang awak. Dia memperkenalkan diri kepada Wagub Nasrul Abit dan menyatakan akan mengawal perjalanan Wagub dengan pasukannya menuju pusat kota Wamena. “Saya sangat berterimakasih kepada Mayor Johny. Ia mengawal kami dalam perjalanan darat ke pusat kota dengan panser,” kisah Nasrul Abit mengenang saat-saat tegang itu.
Sepanjang jalan menuju pusat kota yang terlihat bekas-bekas kerusuhan. Bangunan yang hancur, sisa kebakaran, kendaraan yang hangus. Bahkan ketika sampai di pusat kota bau amis darah dan bau busuk masih menusuk.
“Masya Allah, sungguh seebuah negeri yang benar-benar sudah tercabik. Kota hancur berantakan. Orang-orang terlihat bersembunyi di balik-balik pintu rumah yang masih tersisa. Kami dibawa ke tengah pengungsi di Makodim setempat,” kenang Wagub.
Tangis tak terbendung lagi dari para perantau yang memadati halaman Makodim ketika Wagub dan rombongannya sampai di sana. Kedatangan Nasrul Abit bagai sitawa sidingin bagi perantau. Tanpa ada pengantar terlebih dulu, Wagub berjalan ke depan dan memberikan pengarahan.
“Saudara-saudara dan dusansanak sadonyo, ambo dan rombongan datang untuak menampakkan muko nan sabak hati nan rusuah, tando kami di Ranah Minang marasokan penderitaan dunsanak di siko. Jadi basabalah, nanti Insya Allah keadaan akan aman baliak,” kata Nasrul Abit.
“Tidak pak Wagub, kami mau pulaaaaang,...tolonglah kami, fasilitasi kami pulang ke kampung halaman,” kata mereka terisak memotong pembicaraan Wagub.
“Baik, semua akan kita pulangkan ke kampung halaman, Tapi bersabar dulu, kita carikan jalan keluarnya,” kata Nasrul tanpa memikirkan lagi bagaimana caranya memulangka orang sebanyak ini, lebih dari 500 orang. Ia hanya berpikir cepat saja: menjawab kecemasan para perantau dan menenangkan mereka.
Membawa para perantau ini keluar Wamena tentu akan memerlukan perjuangan mengatur antrean dengan perantau dari provinsi lain. Sedang pesawat Hercules ini hanya tiga unit.
Maka sekali lagi, cara berpikir cepat seorang Nasrul Abit pun menolong keadaan itu. Ia segera menemui Mayor Johny. Dia minta Johny menolong memprioritaskan agar urang awak segera naik pesawat. Dan sebuah keputusan tepat dan cepat diambil. Ia memerintahkan staf untuk memberikan bantuan keuangan kepada Johny dan anak buahnya. Uang itu diserahkan, dan dalam waktu setengah hari terhimpun 170 nama perantau yang masuk prioritas 1 untuk diterbangkan ke Jayapura hari itu juga. Setelah itu menyusul 170 lagi dan 170 lagi sampai semua yang ingin pulang kampung dapat diterbangkan ke Jayapura menunggu penerbangan ke Padang dengan transit di Makassar dan Jakarta.
Siang itu, sebelum pulang ke Jayapura Nasrul Abit dengan kawalan anak buah Mayor Johny berkesempatan mengelilingi Kota Wamena melihat dari dekat bekas wilayah kerusuhan itu. Benar-benar mengerikan.
“Masih ada rumah-rumah yang selamat, tetapi ada batang pisangnya di halaman. Menurut cerita yang kami peroleh, setiap pohon pisang di halaman rumah berarti sebagai penanda bahwa rumah itu tidak boleh diganggu, berarti rumah penduduk setempat. Begitu cerita yang kami dengar, wallahualam. Yang jelas ini adalah perjalanan yang menegangkan,” timpal Kabag Rantau, Hilma kepada Khazanah.
Jusnidar namanya (30) adalah seorang guru yang berasal dari Pesisir Selatan mengabdi di Wamena. Rupanya dia seorang guru yang baru keluar SK mengajar di Wamena. Karena mendapat ikatan dinas, bagaimanapun beratnya diapun berangkat dari Pesisir Selatan dengan suaminya ke Wamena. Jauh sekali rantau yang kan dihadang. Tapi demi pengabdian dan mencari beras yang segantang, ditinggalkannya Ranah Pesisir. Di Wamena dia mengajar, suaminya berjualan barang P&D keperluan sehari-hari.
Walaupun belum senang, cukuplah untuk “lepas pagi petang”. Hidup suami isteri muda di rantau orang, tidak mau mengadu kekurangan ke kampung halaman. Sebab, kalau SK guru telah diterima, dia akan menjadi pegawai negeri. Dan itu tentunya ada gaji atau pendapatan yang memadai. Apalagi jualan di kedai kecil tempat suaminya mencari nafkah cukup menambah beli beras.
Tapi, dengan terbata Yusnidar menceritakan bahwa, pada hari kerusuhan 23 September 2019 itu, kedai suaminya diobrak-abrik oleh massa. “Kami semua berlari ketakutan menyelamatkan diri. Ia dan suaminya berlari mencari perlindungan dari hujan panah yang membabi buta dilepas para perusuh,” kata menceritakan kisahnya kepada Nasrul Abit.
Maka tak ada lagi dalam pikiran Nasrul Abit: pulangkan mereka dengan cara apapun! Keputusannya sudah bulan, ia akan melakukan apa saja untuk bisa menolong para perantau yang dicekam ketakutan tersebut. (bersambung)