Kampus Universitas Bung Hatta |
Oleh: Ir. Abdul Aziz, MM (TM-82)
Peneliti, Pengamat Ekonomi dan Teknologi
Unjuk rasa mahasiswa Universitas Bung Hatta yang terjadi di Gedung Rektorat Kampus Universitas Bung Hatta (UBH) di Ulak Karang, Padang pada Senin (20/11/2023), berlangsung sehari penuh. Intinya, bahwa tuntutan mahasiswa Kampus Proklamator itu mengandung tiga topik utama; (1) ketersediaan dana kelembagaan untuk kelangsungan dan kelancaran pendidikan, (2) ketersediaan tenaga pendidik yang professional dan (3) kesetaraan fasilitas disemua kampus yang tersebar di tiga lokasi di Kota padang.
Ketiga tuntutan itu terlihat sangat wajar dari para mahasiswa yang sesungguhnya sedang berjuang menuntut ilmu di ranah kebanggaannya “Minangkabau” sebagai pusat kelahiran para cendikiawan dan para pemikir berkelas dunia. Mereka (mahasiswa) berkeinginan untuk menjadi individu yang dapat menjadi bagian dari kebanggaan Minangkabau dalam keikutsertaannya membangun negeri ini.
Mereka bertindak, bersikap dan menuntut sesuatu yang wajar untuk kepastian kelangsungan pendidikan mereka dimasa-masa yang terasa semakin sulit dan sangat menyesakan dada. Andaikan-pun mereka harus berteriak, meraung-raung bahkan meringis dan mengemis sekalipun mereka sanggup asalkan keinginan luhur itu bisa terwujud. Lihatlah, betapa duka dan lukanya mereka yang sedang menghitung hari demi hari untuk suatu harapan yang masih belum jelas tepinya.
Dalam mencari informasi tentang hal ini, telah dilakukan diskusi singkat yang berlangsung pada tanggal 25/11/2023 dengan beberapa orang dosen dan alumni Kampus Proklamator paska unjuk rasa.
Beberapa point penting pada diskusi itu telah menggambarkan bahwa unjuk rasa itu dipicu oleh, pertama, kekisruhan yang terjadi di tubuh Yayasan yang menimbulkan banyak ketidak pastian. Kedua, lambatnya ketersediaan dana penyelenggaraan pendidikan dan ketiga ketidak profesionalan dosen dan tenaga penendidik dalam mengampu setiap mata kuliah. Informasi tersebut sudah selayaknya segera dan teramat penting untuk disegerakan dan ditindak lanujuti oleh Yayasan Pendidikan Bung Hatta yang saat ini dinakhodai oleh Prof. Ganefri, P.hD, sebagai Ketua Badan Pembina.
Barangkali kita semua sudah mengetahui bahwa Prof. Ganefri juga merupakan Rektor Universitas Negeri Padang (UNP) sejak 2016 sampai tahun 2024 mendatang dan juga menjabat Ketua Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia periode 2022–2024. Perubahan status Universitas Negeri Padang (UNP) dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) yang ditandatangani oleh Presiden RI Joko Widodo pada Peraturan Pemerintah No.114 Tahun 2021 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Universitas Negeri Padang (UNP) tertanggal 25 November 2021, menjadi tugas berat bagi beliau untuk harus meng-create bisnis baru dalam memenuhi kebutuhan finansial UNP.
Ada kekhawatiran bahwa peran ganda yang dijabat oleh Ketua Badan Pembina Yayasan Pendidikan Bung Hatta yang juga berprofesi sebagai Rektor UNP akan menimbulkan benturan kepentingan dalam persoalan kedua badan yang harus “berbisnis” untuk memenuhi kebutuhan biaya operasionalnya.
Peran ganda ini akan berakibat fatal terhadap kemajuan dan kinerja salah satu Perguruan Tinggi. Akan ada yang menjadi korban dan dikalahkan. Jelas Universitas Bung Hatta yang berstatus PTS akan menjadi korban mengingat penilaian kinerja PTNBH akan menjadi lebih penting untuk didahulukan ketimbang penyelesaian kepentingan Universitas Bung Hatta.
Semua kinerja UNP harus dipertanggung jawabkan kepada Mentri Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sementara pertanggung jawaban kinerja PTS hanya akan dipertanggung jawabkan kepada Yayasan Perguruan Tinggi yang tidak memiliki nilai dan pengaruh berarti bagi sang pemangku jabatan. Peran ganda dan tugas rangkap juga terjadi dikalangan dosen dan pengurus Yayasan Pendidikan Bung Hatta.
Banyak dosen yang juga diangkat sebagai pengurus Yayasan. Jelas hal ini sudah bertentangan dan melanggar Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan kebudayaan Nomor 3 Tahun 2021 tentang Larangan Rangkap Jabatan Organ Yayasan dalam Menyelengarakan Pendidikan Tinggi.
Bagaimana mungkin seorang dosen yang rangkap jabatan dapat melaksanakan tugas-tugas pendidikan dengan baik sementara tugas-tugasnya di Yayasan juga harus diselesaikan dalam waktu yang sama. Penting untuk dipahami bahwa, ketika seseorang telah memutuskan untuk mengabdikan dirinya menjadi seorang dosen atau tenaga pendidik, itu mengandung pengertian bahwa individu tersebut telah mengikhlaskan dirinya untuk selamanya begumul dengan ilmu pengetahuan dan pengembangannya bersama mahasiswa dan anak didiknya.
Bagaimana mungkin hal itu bisa terlaksana ketika seorang dosen juga memegang jabatan sebagai Pengurus Yayasan Perguruan Tinggi. Seorang dosen harus bersikap dan berbuat secara professional sesuai bidang keilmuannya dan memiliki idealisme yang tinggi.
Dalam Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa dosen adalah pendidik profesional dan ilmuan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyrakat.
Dalam undang-undang yang sama juga disebutkan bahwa professional adalah pekerjaan yang memerlukan keahlian, kemahiran, kecakapan, dan pendidikan profesi. Beberapa prinsip profesionalisme yang harus dimiliki seseorang menurut undang-undang ini, antara lain adalah, bakat, komitmen, tanggung jawab, kwalifikasi akademik, dan kompetensi yakni kompetensi pedagogic, profesi, sosial dan kepribadian.
Akan lebih berat lagi, ketika seseorang dosen telah dianugarahi dengan gelar tertinggi dibidang pendidikan dan menyematkan gelar Doktor pada namanya, maka individu tersebut harus mengikhlaskan dirinya untuk menjadikan artikel dan journal sebagai istri atau suami keduanya.
Hari-hari seorang Doktor yang berprofesi sebagai pengampu akan menghabiskan waktunya untuk meneliti dibidang ilmunya tanpa ada batas waktu, hanya sedikit waktu yang tersisa untuk bisa bersenda gurau dengan keluarga. Sudahkan mereka mempersiapkan diri untuk tugas mulia ini? Ya…., kita yakin teramat banyak orang yang masih mencintai pengembangan ilmu pengetahuan yang memiliki nilai amal ibadah yang sangat besar disisiNya.
Rektor sebagai penyelenggara perguruan tinggi bertanggung jawab penuh terhadap kelangsungan, kelancaran dan moderenisasi pendidikan di perguruan tinggi. Bilamana, anggaran yang sudah disepakati antara Rektor dan Yayasan tidak diturunkan sesuai dengan schedule yang sudah terjadwal, jalas hal ini akan menimbulkan kegaduhan dikalangan mahasiswa.
Kekisruhan ini akan diderita oleh pihak Rektorat dan bernilai negatif terhadap kinerja mereka. Dari banyak kasus PTS di Indonesia, tidak terkecuali Universitas Bung Hatta, yang paling terdampak dari kegagalan penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi adalah mahasiswa. Mereka datang dari pelosok negeri dan bahkan dari luar Provinsi Sumatera Barat untuk mendulang ilmu di Universitas Bung Hatta yang dulu sudah tersohor kredibilitasnya dan mampu melahirkan akademisi berprestasi untuk menjadi individu terpelajar.
Haruskah generasi millenial dan Gen Zee yang telah menggantungkan masa depannya kepada institusi pendidikan tinggi yang bernama Universitas Bung Hatta ini kecewa? Haruskan mereka yang jadi korban kesalah urusan dan ketidak profesionalan para dosen yang kurang bertanggung jawab? Mari sama-sama kita jawab dengan membayangkan ketika disana ada anak-anak, adik-adik dan keluarga yang kita sayangi sedang menuntut ilmu disana.
Kegaduhan yang timbul dari aksi unjuk rasa para mahasiswa saja tidak akan mampu memberikan solusi terhadap apa yang mereka (mahasiswa) tuntut. Bahkan senat universitas sebagai perwakilan suara para dosenpun dirasa belum akan mampu mewujudkan dan meluruskan kembali peran Lembaga Pendidikan Tinggi yang menyandang nama besar Bung Hatta itu.
Dibutuhkan kontribusi para pembesar, cendikiawan, cadiak pandai Minangkabau untuk ikut menata kembali pengelolaan Yayasan Pendidikan Bung Hatta dan Universitas Bung Hatta agar keduanya kembali on the track dalam keikutsertaannya mencerdaskan kehidupan Bangsa.
Pesan moral dan permohonan yang disampaikan dari unjuk rasa para penghuni Kampus Proklamator yang telah berlalu sejak 2 minggu masih terasa sesak di dada mereka (mahasiswa), namun apakah bagi pembesar Minangkabau persoalan itu telah dicatat sebagai agenda yang harus diselesaikan diujung tahun 2023 ini? .....entahlah…..
Kami hanya bisa mengingatkan, memberitakan, memberikan ajakan dan pandangan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, sebagai catatan sejarah yang bisa dicermati dan dihayati untuk dikerjakan.