×

Iklan

Oleh : Dr. H. Alirman Sori, S.H., M.Hum., M.M*
Kelompok Oligarki Bernyanyi Irama Bapak Suka

30 Maret 2022 | 16:45:54 WIB Last Updated 2022-03-30T16:45:54+00:00
    Share
iklan
Kelompok Oligarki Bernyanyi Irama Bapak Suka
Dr. H. Alirman Sori, S.H., M.Hum., M.M

Kejarlah daku, kau kutangkap. Anonim ini sangat cocok dengan suasana kebathinan politik saat ini. Ada sekelompok elit oligarki politik ingin mencoba bermain api untuk meneguhkan kekuasaannya dengan cara yang tidak normal dan di luar aturan bernegara.

Gejolak politik menjelang pesta demokrasi tak ubahnya seperti anak ABG yang lagi asyik dimabuk asmara. Dia tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya. Baginya dunia ini seolah-olah milik mereka berdua. Beginilah gambaran hasrat asmara politik yang diperankan oleh kelompok oligarki politik seolah-olah yang punya republik ini kelompok mereka saja.

Olah vokal dan orkersa yang mereka mainkan tidak lagi mengikuti not nada, yang penting bernyanyi, irama bapak suka. Pemain musik binggung dan penonton kebinggungan.

Ramainya pasar politik ulah gerombolan elit oligarki telah memantik reaksi dari berbagai pihak yang terbelah menjadi tiga faksi. Faksi menolak, faksi setuju dan faksi tidak peduli. Secara kebetulan sikap tiga faksi berkesesuaian dengan istilah masa jabatan tiga periode.

Gelombang seruan politik irama bapak suka, bukan isapan jempol, trompetnya ditiup oleh pimpinan parpol, bahkan ada pimpinan parpol membela, bahwa usulan masa jabatan tiga periode bukan oleh sang penguasa, tetapi dari partai politik. Sungguh berani pasang badan, tidak dia pikirkan akan berdampak ketidakpercayaan publik terhadap parpolnya yang terancam ditinggal konstituennya pada pemilu nantinya, lalu apa sebenarnya yang menimpa elit parpol tertentu berani pasang badan, jawabannya multi tafsir dan yang pasti mereka tersandra kepentingan politik untuk mengamankan dirinya atas dugaan beberapa hal.

Tersandranya sekelompok elit parpol  dalam hal tertentu, membuat mereka berpikir tidak normal lagi. Hal ini menjadi posisi tawar oleh kelompok elit yang berada di pusaran kekuasaan sebagai perpanjang tangan politik untuk menyuarakan degelan politik tiga periode atau perpanjangan masa jabatan. Suatu keniscayaan, tetapi gerakan meraka masif dan teroganisir mulai dari pusat sampai ke daerah.

Publik terbelah. Pembelahan itu nyata dan konkrit dengan kubu-kubuan saling menyerang dan saling membela di antar kelompok, naifnya penguasa memilih diam, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Yang berteriak hanya pion-pion politik yang haus kekuasaan ingin berteduh dan berlindung di istana kekuasaan.

Hujan politik sudah membasahi bumi persada, bahkan hujan politik yang tidak kunjung reda berpotensi meluapkan air dan gelombang besar yang dapat merendam bumi pertiwi dan menghanyutkan seisi bumi, kecuali mereka yang tinggal di istana kekuasaan yang tinggi.

Wahai para pendawa politik, apa tidak ingat revolusi politik tahun 1998, begitu susahnya kita capai untuk sebuah cita-cita perubahan yang lebih baik. Kekuasaan besar dan kuat berhasil kita robohkan bersama untuk kemaslahatan umat. Belum hilang lelah perjuangan itu, kini ada sekelompok elit yang dulunya melawan rezim berkuasa waktu itu, malah berbalik arah ingin meneguhkan dan membangun istana kekuasaan seperti masa lalu.

Sungguh suatu keniscayaan, jika sejarah “buruk” berulang kembali. Bumi pertiwi menangis. Aras politik berguncang. Malapeteka politik mengoyak peradaban demokrasi. Turbelensi politik akan bergerak ke arah yang sulit dikendalikan. Hura-hura politik bisa membenturkan dua kepentingan yang berbeda. Penjara politik akan menjadi tempat tahanan bagi tawanan politik oleh kelompok yang berkuasa. Ilunasi politik ini potret keniscayaan yang bisa saja terjadi, bila kita bersama tidak berani melawan kejahilan politik yang diperankan oleh aktor-aktor intelektual politik.

Perubahan konstitusi yang merobek jahitan UUD 1945 dalam 4 kali operasi politik  (amandemen). Perubahan besar yang lakukan telah membawa implikasi terhadap penyelenggaraan berbangsa, bernegara, berpolitik dan berdemokrasi.

Perubahan konstitusi yang dilakukan banyak membawa perubahan dalam praktik berbangsa dan bernegara dan perubahan besar itu juga telah menyulap ketidakpastian dalam berbagai aspek kehidupan bernegara.

Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila di dalam tata kelola bernegara yang bertentangan dengan Nilai Dasar Negara Pancasila. Sebagian kebijakan negara tidak hadir dalam kehidupan bermasyarakat dalam memenuhi rasa aman, adil dan makmur.

Regulasi yang dibuat lebih melindungi pemilik modal, kekayaan alam dikuasai pemilik modal, ekonomi dikuasai oleh segelintir orang asong, asing dan aseng. Izin usaha rakyat sulit, karena semua tarik ke pusat. Misal Izin Pertambangan Rakyat (IPR) 5 ha, harus diurus ke pemerintah pusat. Minyak langka, pupuk langka, harga melambung, tenaga honor tidak dapat haknya, tapi pengangguran dibayar melalui Kartu Pra Kerja. Lalu dimana kehadiran negara?

Kembali soal demokrasi menghadapi Pemilu 14 Februari 2024, kepada para pemegang mandat kedaulatan rakyat, agar menjalankan mandat rakyat, sesuai dengan ketentuan konstitusi UUD 1945, pasal 1 ayat 3, bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

Untuk pemilu harus dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 22E, (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali, (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dan Pemilu Presiden laksanakan sesuai ketentuan Pasal 7, bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Tidak usah berpikir tiga periode atau memperpanjang masa jabatan. Tidak perlu mencari alasan-alasan, apalagi mencari pembenaran yang membuat kegaduhan. Jangan ada dalil masa pandemi, biaya pemilu mahal, tetapi kenapa pembiayaan pemindahan IKN adem. Berpikirlah negarawan, kekuasaan bukanlah segalanya. Kembalilah ke jalan benar yaitu menegakan konstitusi UUD 1945 dan menjujung tinggi kebenaran sebagai nilai-nilai kebangsaan bernegara. (*Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia)