Warga Asia melakukan aksi damai mentang rasisme yang meningkat di Amerika. |
Philadelphia, Khazminang.id – Sentimen anti-Asia kini menguat di AS sejak
pandemi Covid-19. Apakah warga Indonesia yang bermukim di negeri Paman Sam itu maupun
warga diaspora Indonesia bisa aman?
Suara Amerika (VOA) melaporkan bawa Insiden penembakan yang menewaskan delapan orang, termasuk enam perempuan Asia, di tiga spa terpisah di Atlanta itu disebut-sebut sebagai puncak menguatnya sentimen anti-Asia di Amerika sejak pandemi merebak Maret lalu.
Stop AAPI Hate -- suatu LSM yang dibentuk untuk menanggapi meningkatnya diskriminasi anti-Asia sejak bermulanya pandemi virus corona Maret 2020 lalu -- menyebut penembakan di Atlanta ini sebagai “tragedi yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata” dalam komunitas yang selama ini sudah mengalami begitu banyak tindakan diskriminatif.
Laporan yang baru saja dirilis Stop AAPI Hate menunjukkan peningkatan laporan sentimen anti-Asia sejak Maret 2020 hingga Februari 2021, yang jumlahnya kini mencapai 3.795 kasus. Enam puluh delapan persen kasus itu merupakan pelecehan secara verbal, tetapi ada pula serangan fisik dan serangan di dunia maya. Laporan itu menunjukkan perempuan 2,3 kali lebih sering menjadi sasaran dibandingkan laki-laki.
Pengakuan diaspora Indonesia, Robert yang memiliki dua anak, dan Wulan yang memiliki seorang anak, bahwa mereka kini bertambah khawatir menjelang dimulainya kembali sekolah tatap mula April ini.
“Unfortunately pemimpin
kita sebelumnya menormalisasi terminologi KungFlu atau virus China, dll.
Anak-anak melihat dan mempelajari hal ini, dan bisa jadi akan menggunakannya
juga. Bullying sudah jadi masalah sejak lama di sini. Saya khawatir
ini akan menjadi lebih parah dengan adanya masalah COVID-19 di mana orang Asia
dijadikan kambing hitam," papar Robert.
"Kita tahu ini akan terjadi di sekolah. Merupakan tugas saya untuk memberitahu pejabat sekolah agar menyadari isu ini dan bersiap menghadapinya,” tambahnya. Lebih jauh ia mengatakan sedang merancang email untuk mengingatkan urgensi isu ini pada guru, kepala sekolah, anggota dewan sekolah hingga kepala dinas pendidikan di mana ia berada.
Sementara Wulan tidak saja khawatir pada
putrinya, tetapi juga anak-anak Asia lain. “Kebetulan muka anak saya gak
terlalu Asia banget dan sejauh ini dia bersahabat dengan teman-teman
sekelasnya. Sekolahnya juga kecil, kelas dua SD hanya ada dua kelas. Secara
keseluruhan saya tidak khawatir sama dia, tapi saya khawatir dengan anak Asia
di sekolah-sekolah lain. Saya rajin bilang ke anak saya, kalo temen
kamu ada yang di-bully, kamu jangan diam saja, harus berani stand up (membela.red)
teman kamu!” ujarnya semangat.
Robert Cratius, adalah diaspora Indonesia berusia 40 tahun yang
menetap di Philadelphia, merasa kini ia harus lebih waspada dibanding sebelum
merebaknya pandemi virus corona. Bukan karena pandemi yang sudah menelan lebih
dari 550 ribu korban jiwa, tetapi karena virus lain yang lebih berbahaya, yaitu
virus sentimen terhadap warga Asia.
Butet Luhcandradini, yang sudah 12 tahun tinggal di Amerika dan kini menetap di Silver Spring, Maryland, juga merasakan hal yang sama. Butet mengaku pada dasarnya ia penakut dan sering khawatir jika mendengar insiden penembakan massal, “tapi sekarang jadi lebih menghindar lagi jalan sendiri malam-malam.... atau pulang dari Metro (kereta api.red) ke parkiran jadi agak takut-takut,” ujarnya.
Presiden Amerika Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris pada hari Jumat (19/3) terbang ke Atlanta, Georgia, untuk menyampaikan langsung rasa belasungkawa kepada korban dan komunitas Asia di Amerika, dan sekaligus berdialog dengan pemimpin komunitas ini. Mereka kembali menyampaikan komitmen untuk melawan pelecehan dan kekerasan terhadap warga Asia di Amerika.
“Sikap diam adalah pembiaran. Kita tidak dapat
membiarkan hal ini,” tegas Biden. “Mereka (warga Amerika keturunan Asia.red)
telah diserang, dipersalahkan, dikambinghitamkan dan dilecehkan. Mereka telah
dilecehkan secara verbal, diserang secara fisik dan dibunuh,” ujar Biden.
Sementara Wakil Presiden Kamala Harris, keturunan Asia Selatan pertama yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan, juga menyoroti isu lain selain rasisme, yaitu seksisme. “Rasisme adalah hal yang nyata di Amerika. Xenophobia adalah hal yang nyata di Amerika. Seksisme juga,” ujarnya. (eko/voa)