×

Iklan


Kampanye Pilkada di Era Covid-19

07 September 2020 | 15:09:09 WIB Last Updated 2020-09-07T15:09:09+00:00
    Share
iklan
Kampanye Pilkada di Era Covid-19

Oleh: Handra Deddy Hasan 


Adagium dari Lord Acton, sejarawan Inggris menyatakan, Power Tends Corrupt ; Absolute Power Corrupts Absolutely (kekuasaan cenderung  korup ; kekuasaan mutlak betul2 merusak).

Apakah yang dinamakan kekuasaan, kenapa kekuasaan itu mempunyai kecendrungan korup dan merusak?



    Kekuasaaan memperlihatkan bentuknya, ketika ada kekuatan yang bisa mempengaruhi orang, sehingga orang lain menjadi tunduk dan patuh. Saat ada keinginan dan untuk mewujudkannya hanya dengan membuat perintah. Ketika ucapan didengar dan perintah dilaksanakan dengan segenap kepatuhan. Keadaan demikian memperlihatkan kekuasaan sedang menunjukkan peranannya.  Orang yang berkuasa adalah orang yang bisa menguasai orang lain. Hanya kekuasaan yang dapat mewujudkan suatu keinginan menjadi nyata melalui tangan orang lain. Kekuasaan membuat seseorang didengar perkataannya dan akan dilaksanakan perintahnya.

    Bisa dibayangkan bila ada kekuasaan tanpa batas, tanpa kontrol, atau tanpa bisa dikendalikan. Ibarat tsunami yang mengamuk tanpa henti.

    Kekuasaan pengaruhnya tidak terbatas kepada orang yang dikuasainya, tetapi bisa juga mempengaruhi pemilik kekuasaan. Pengaruhnya kepada pemilik kekuasaan bisa berupa pengaruh baik yaitu akan menciptakan skala dan kualitas kebaikan pemegangnya makin besar dampaknya untuk orang banyak. Bisa juga berdampak merusak dan menghancurkan. Jiwa dan karakter yang semula baik bisa menjadi jahat mengerikan. Banyak contoh sehari2 bisa ditemukan disekeliling kita. Pada waktu masih jadi karyawan biasa seseorang mempunyai karakter menyenangkan, ramah, suka menyapa. Begitu diangkat jadi Direktur suatu BUMN, berubah drastis menjadi songong, angkuh, merasa orang lain lebih rendah. Ada juga pegawai yang ketika belum punya jabatan, sangat humble, menghormati tetangga, suka mendengarkan, tapi setelah punya jabatan tinggi di Pemerintahan jadi berubah, tinggi hati dan cenderung suka memerintah, padahal kita bukan pegawainya. Kekuasaan memabukkan, bisa bikin orang merasa di awang2.

    Apalagi seiring punya kekuasaan, pada saat yang sama semua embel2 fasilitas mengikutinya. Misalnya jabatan Direktur salah satu BUMN, akan mendapat fasilitas mobil mewah untuk melayaninya kemana2, gaji dan tantiem yang aduhai jumlahnya, fasilitas hunian yang representatif, dayang2 seperti ajudan, pengawal, sekretaris, sopir dan fasilitas2 lain yang tentunya akan banyak sekali kalau diurai. Fasilitas2 yang melekat pada jabatan, membuat kekuasaan menjadi kenikmatan dunia tiada tara.

    Kekuasaan juga dapat digunakan sebagai alat. Kekuasaan ibarat sebilah pisau yang dipegang oleh pemegang kuasa. Apabila pisau itu digunakan untuk memotong daging untuk membuat rendang, maka pisau digunakan untuk kebajikan. Tetapi bila pisau digunakan untuk mengancam orang dalam perampokan, maka utilitas penggunaan pisau telah diselewengkan. Pisau telah digunakan untuk kejahatan. Memegang kekuasaan selain memabukkan juga penuh godaan. Godaan menyelewengkan kekuasaan untuk untuk keuntungan diri sendiri atau orang lain, sangat besar. Makanya salah satu unsur perbuatan korupsi adalah penyelewengan kekuasaan. Dan kekuasaan itu cenderung untuk diselewengkan bagi pemegang kekuasaan yang gampang tergoda. Khususnya bagi pemegang kekuasaan yang tidak mempunyai cukup iman kebaikan didalam kalbunya.

    Kekuasaan merupakan salah satu anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia yang dipilihNya. Sebagian percaya bahwa sebetulnya salah satu bentuk ujian Tuhan kepada manusia dengan cara memberi manusia kekuasaan.

    Banyak orang mengejar kekuasaan, kadang2 dengan segala cara, kalau memang belum saatnya diberikan Tuhan, tetap saja kekuasaan yang dikejar tidak bisa diraih. Ada orang yang tidak berambisi untuk menduduki jabatan tertentu, tapi tiba2 dapat amanah untuk duduk di kursi empuk. Banyak contoh dimana orang mengejar jabatan mati2an tapi gagal, malah beberapa calon Kepala Daerah yang gagal, ada yang gila alias hilang ingatan. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan tidak bisa dikuasai oleh manusia kecuali atas seizinNya.

    Banyak cara untuk memperoleh kekuasaan.

    Dari yang illegal ekstrim berdarah, misalnya perebutan kekuasaan dalam suatu negara dengan cara kudeta, sampai dengan cara demokratis melalui pemilihan yang ditentukan rakyat.

    Sejak tanggal 4 September 2020 rakyat Indonesia akan disuguhi parade cara memperoleh kekuasaan yang demokratis. Tanggal 4 September 2020 merupakan hari pertama untuk pendaftaran bakal calon (balon) Kepala Daerah serentak. Beberapa daerah Perkotaan, Kabupaten dan Propinsi di Indonesia akan memilih pemimpinnya. Jabatan Walikota, Bupati dan Gubernur menjadikan seseorang mempunyai kekuasaan. Dalam alam demokrasi agar bisa memperoleh jabatan tersebut dengan cara ikut pemilihan Kepala Daerah. Nanti rakyat yang akan menentukan pilihannya kepada siapa jabatan atau kekuasaan itu diberikan.

    Pemilihan Kepala Daerah serentak kali ini berbeda kondisinya dengan pemilihan2 umum sebelumnya, karena Indonesia, bahkan dunia sedang dilanda pendemi covid 19. Sehingga wasit pemilihan Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat regulasi khusus agar pendemi tidak semakin meluas. Terang2an KPU melarang dan mengingatkan balon agar bisa mengatur para fansnya tidak berkerumun, menggelar arak2an serta tidak mengerahkan massa pada waktu pendaftaran. KPU mengingatkan agar para kontestan dan pengikutnya mengikuti protokol kesehatan. Tetapi apa yang terjadi di lapangan? Berdasarkan pendataan sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kerumunan massa pendukung mengabaikan protokol kesehatan.

    Mereka berkerumun tanpa menjaga jarak, malah sebagian tidak menggunakan masker. Padahal masker saat ini identik dengan celana dalam. Harus dipakai setiap saat, cara pakainya juga sama, harus menutupi hidung.

    Pada hari pertama pendaftaran terjadi pelanggaran protokol kesehatan  di 141 daerah. Sementara hari kedua pendaftaran yang melanggar protokol kesehatan sebanyak 102 (Kompas, 6 September 2020).

    Baru pada tahapan pendaftaran bakal calon, telah terjadi pelanggaran aturan yang dibuat KPU secara massive. Tidak terbayang bagaimana dalam tahap berikutnya, tahap kampanye, tanggal 26 September sampai dengan 5 Desember 2020. Banyak pihak yang kawatir kampanye pilkada kali ini akan menumbuhkan klaster baru penyebaran virus covid-19. Masa kampanye yang relatif lama dan pengerahan massa yang melanggar protokol kesehatan dapat menjadi pemicu penularan virus covid-19 tidak terkendali. Sanksi Peraturan KPU tidak berdaya membuat jeri paslon dan para pengikutnya. Mata kontestan dan pengikutnya seperti tertutup melihat ancaman kengerian ganasnya virus covid-19 beraksi. Massivenya pelanggaran pada waktu pendaftaran telah membuktikan mereka tidak ragu2 untuk melanggar protokol kesehatan.

    Ancaman Sanksi Pidana.

    Para kontestan Pilkada dan para pengikutnya mungkin berfikir bahwa sanksi aturan KPU tidak menakutkan, sehingga mereka dengan santai melanggarnya. Ingat, itu pemikiran yang sesat dan dangkal. Aturan KPU memang tidak bisa mempidana orang yang melanggar protokol kesehatan, tapi ada KUHPidana dan Undang2 khusus yang mempunyai ancaman hukuman penjara.

    Upaya pemerintah untuk membuat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan upaya mencegah dan menangkal keluar masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat. Upaya untuk mengantisipasi potensi kedaruratan kesehatan masyarakat, termasuk dalam lingkup yang diatur dalam UU No 6 tahun tentang Karantina Kesehatan. Apabila ada pengerahan massa yang melanggar protokol kesehatan dalam kampanye Pilkada telah melanggar Pasal 9 (1) dan Pasal 93 Undang2 Karantina Kesehatan. Ancaman hukumannya berupa pidana penjara selama 1 tahun.

    Perbuatan melanggar protokol kesehatan dalam kampanye Pilkada juga bisa dinilai telah dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit. Sebagaimana kita ketahui pendemi covid-19 merupakan wabah penyakit yang mematikan. Setiap upaya untuk menghalangi pelaksanaan penanggulangan dapat dijerat dengan Pasal 14 (1) Undang2 No 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Pelaku diancam dengan pidana penjara selama 1 tahun.

    Seharusnya para kontestan dan para pengikutnya patuh dengan regulasi KPU tentang cara berkampanye dalam masa pendemi covid-19. Ketidak patuhan bukan hanya sekedar melanggar aturan KPU tapi juga melanggar aturan pidana bila ada perintah bubar dari aparat pada waktu kerumunan massa terjadi. Apalagi bila ada perlawanan ngotot dari pengikut yang fanatik terhadap aparat di lapangan yang berusaha membubarkan massa pengikut kampanye. Aparat kepolisian bisa menjerat mereka dengan Pasal 212 dan Pasal 218 KUHPidana dengan ancaman hukum pidana penjara maksimal 1 tahun 4 bulan.

    Para kontestan Pilkada tidak bisa berkilah dan tidak mau bertanggung jawab dengan alasan tidak tahu atau berkerumunnya massa adalah inisiatif sendiri para fans. Pasal 55 KUHPidana tidak sependapat, karena memberi kesempatan, menyediakan sarana juga dianggap telah ikut serta melakukan tindak pidana. Apalagi apabila terbukti adanya ajakan dan anjuran untuk hadir berame2 dari para kontestan bagi pengikutnya untuk berkampanye.

    Ancaman hukuman dari KHUPidana dan Undang2 khusus ini seharusnya dipandang serius bagi kontestan Pilkada dan pengikutnya dalam berkampanye nantinya. Jangan terulang lagi peristiwa pelanggaran pada waktu pendaftaran keikut sertaan kontestan.

    Pidana yang disebutkan diatas bukan merupakan delik aduan, adanya laporan dari Bawaslu atau tidak pihak Kepolisian berwenang untuk mengusut tindak pidana yang diuraikan diatas. Polisi harusnya tidak ragu untuk menindak demi kepentingan masyarakat lebih luas, yaitu kekawatiran makin merebaknya pendemi covid-19. Bagi para kontestan seharusnya bisa menahan diri. Nafsu untuk berkuasa jangan terlalu diperturutkan, karena bisa mengundang bencana. Selain itu ancaman pidana menunggu baik untuk pengikut setianya maupun untuk dirinya sendiri.

    Selamat berkampanye.


    Artikel ini sudah dimuat di Kompasiana.com