Berbincang dengan seorang Gamawan Fauzi pekan ini dengan wartawan Khazanah dan Khazminang.id dimulai dengan membahas kata istiqamah. Menurut etimologi, istiqamah berarti sikap teguh pendirian dan selalu konsisten. Sedang menurut Ensiklopedi Islam, istiqamah berari keadaan atau upaya seseorang untuk teguh mengikuti jalan lurus yang telah ditunjukkan Allah SWT melalui rasul-rasulnya. Mengapa berbicang seputar istiqamah? Berikut kutipan wawancara wartawan Khazanah dan khazminang.id dengan Gamawan Fauzi:
Istiqamah, sepertinya agak sering Anda
anjurkan?
Iya, itu kan
melanjutkan apa yang diajarkan agama kita. Dalam segala hal, sesungguhnya kita
manusia sebaiknya istiqamah, teguh pendirian berdasarkan kebenaran. Apa yang
kita katakan hari ini, tidak akan berubah lagi di kemudian hari. Orang Minang
kan begitu juga, kato daulu batapati,
kato kudian kato bacari. Iya kan?
Bagaimana menganjurkannya kepada orang lain?
Sesuai fungsi dan
tugas kita saja. Ketika saya jadi pegawai kantor gubernur, semampu saya maka
saya ajak kawan-kawan sesama pegawai untuk istiqamah, tidak berbohong, dan
terus lurus. Ketika jadi Bupati, saya instruksikan para staf dan saya ajak
masyarakat Kabupaten Solok untuk juga istiqamah pada kebaikan. Begitu juga
ketika saya jadi Gubernur dan Menteri.
Tapi kita dengar banyak juga resistensi atas
sikap Anda itu?
Biasalah, sebanyak
yang suka diajak ke jalan yang benar sebanyak itu pula yang enggan. Rasulullah
pun memiliki banyak resistensi ketika mengajak kaumnya ke jalan yang benar.
Namun, saya tidak berkecil hati kalau ada yang enggan diajak beristiqamah.
Termasuk dalam berpolitik dan berpemerintahan?
Betul, dalam
berpolitik mungkin ada strategi atau siyasah. Tapi apa perlunya kita berbong
dan mendustai diri sendiri serta mendustai orang banyak demi meraup suara atau
target politik? Di pemerintahan begitu juga, ada yang disebut ‘rahasia negara’
yang mesti dilindungi, nah itu bagian dari siyasah menurut saya. Tapi misalnya
kita bayarkan ke kontraktor Rp1 juta tapi di pertanggungjawabannya kita tulis
Rp2 juta, maka itu jauh dari sikap istiqamah.
Dalam hubungan istiqamah, Anda berkali-kali
disebut akan maju jadi Gubernur Sumbar tahun 2024 dan menolaknya dengan halus,
apakah itu bentuk istiqamah juga?
Nah, ini yang perlu
saya jelaskan. Saya tidak ingin masuk lagi dalam lingkaran birokrasi
pemerintahan maupun perpolitikan. Itu kan inheren dengan tidak berhasrat sama
sekali untuk menjadi gubernur (lagi-red), iya kan? Bahwa ada yang menyebut-nyebut, bahkan
barangkali ada yang menginginkan saya maju lagi, ya terimakasih banyaklah atas
rasa hormat itu. Saya pun menaruh hormat dengan harapan itu, tapi saya ingin
katakan bahwa saya tidak ingin sama sekali.
Bisa kita tahu apa yang paling mendasar dari
ketidaktertarikan Anda?
Begini, kita harus
tahu memulai dan harus tahu mengakhiri. Dalam pemahaman saya, jabatan gubernur
untuk saya sudah selesai, dan sudah harus dilanjutkan oleh gubernur berikutnya.
Jadi kalau saya tidak jadi gubernur dua periode berturut-turut, tidak berarti
saya harus revance. Ini bukan seperti Jenderal McArthur pergi dari Filiphina
dan mengucapkan kata I
came through and I shall return.
Itu karena Arthur kalah oleh Jepang. Tapi saya tidak merasa kalah dan tidak
merasa menang, saya mengikuti call of
duty berikutnya. Call of duty
berikutnya itu saya jadi menteri, ya saya jalani. Maka pada saat itu jabatan
gubernur selesai, dan tidak lagi akan saya kejar apabila saya sudah selesai
jadi menteri.
Tapi kan banyak juga mantan menteri turun jadi
gubernur, bahkan walikota?
Tak masalah, itu kan
karena beliau-beliau belum pernah jadi Gubernur atau Walikota. Tapi kalau saya,
kan dari staf lalu jadi Kepala Bagian, lalu jadi Kepala Biro kemudian jadi
Bupati dan setelah itu jadi Gubernur, kemudian menjadi Menteri. Itu kan namanya
ibarat naik tangga, meningkat dari tingkat bawah hinga ke atas. Nah, kalau saya
jadi Gubernur lagi, berarti saya turun. Lagi pula, tak elok, ada orang yang
sedang berjalan naik, tapi saya malah turun. Pada jalan yang sempit tentu akan
bertabrakan. Jadi kalau saya turun lagi, kan namanya terjadi degradasi?
Eh, kalau naik, berarti selanjutnya jadi Menko
atau Wapres?
Mestinya begitu.
Tapi Anda tidak mengejarnya?
Itu yang saya maksud
tadi, “kita tahu memulai dan tahu mengakhiri”. Bagi saya sampai menteri itu
sudah selesai. Masih banyak orang yang bisa melanjutkan jadi menteri. Soal naik
tingkat lagi? Saya kira itulah jawabannya: saya tidak berhasrat lagi untuk
masuk dalam pusaran birokrasi pemerintahan. Sudah cukup. Silahkan giliran yang
lain lagi.
Artinya patah semangat melihat keadaan?
Tidak juga. Kita harus
ukur kemampuan kita. Dalam kondisi saat ini saya sudah mendekati 70 tahun. Saya
ingin pada usia-usia seperti ini, kita semakin memiliki waktu untuk lebih dekat
dengan Allah. Saya tahu sebesar apa daya yang saya miliki, jadi kita harus ukur
bayang-bayang juga. Lagi pula untuk saat ini diperlukan tokoh-tokoh yang masih
energik, sehat dan siap dengan mobilitas yang tinggi dalam menjalankan
fungsi-fungsi pemimpin masyarakat. Saya mulai merasakan daya seperti itu
semakin berkurang dalam diri saya. Karena itu saya lebih tertarik untuk
mengerjakan hal-hal sosial, budaya, keagamaan.
Misalnya mengurus masjid dan pesantren?
Ya. Saya mengurus
panti asuhan dan mengelolanya. Di Alahan Panjang saya mengurus masjid dan saya
gabungkan dengan panti asuhan serta rumah tahfiz. Saya merasa sangat enjoy.
Kadang saya berkebun. Tempo-tempo saya pun menulis, disamping membaca di
perpustakaan saya di Alahan Panjang itu.
Oke, berarti sudah kelar, bahwa seorang Gamawan
Fauzi tidak akan maju dan tak berniat maju dalam Pilgub Sumbar 2024. Tapi
bagaimana Anda melihat Pilgub Sumbar ini dibanding dengan ketika Anda dulu maju
cadi Cagub tahun 2005?
Ya beda lah dengan
tahun 2005. Pada saat saya maju jadi Cagub, itu pertama kali gubernur dipilih
langsung oleh rakyat. Semua serba baru, cara memilih yang baru, pola baru dan
cara kampanye gubernur yang baru. Kalau sekarang tentu beda. Selain munculnya
kultur politik baru berupa money politic,
juga rivalitas antarcalon pun sangat keras.
Keras? Keras bagaimana?
Saya lihat jelek
menjelekkan antarcalon pun kian berkembang. Bahkan suasana kebatinan saat
kampanye sampai terbawa-bawa pada saat pemilihan sudah selesai dan pemimpin
baru sudah dilantik. Gerbong pendukung berbaris terus di belakang junjungannya
dan terus membangun rivalisasi dengan pendukung lawan, sekalipun ia sudah
menang. Tim sukses berada dalam pusaran kekuasaan ikut menentikan langkah sang
pemimpin. Ini tak elok. Belum lagi budaya jual beli suara. Entah mana yang
harus dipersalahkan, yang membeli suara dan yang menjual suara, menurut saya
sama-sama telah mencederai demokrasi itu sendiri.
Itu alasannya beberapa saat setelah dilantik
jadi Gubernur, pasangan Gamawan-Marlis membubarkan tim suksesnya?
Ya. Kami membubarkan
tim sukses setelah pelantikan. Kami sampaikan terimakasih atas semua dukungan
dan kami minta para pendukung untuk kembali ke posisi masing-masing, tidak
mengelompok dan tidak menjelek-jelekkan tim sukses lain. Kami juga meminta dengan
sangat, untuk mengawasi jalannya kepemimpinan kami, berikan teguran dan
kritikan apabila kami melangkah di jalan yang salah. Dan kami minta juga untuk
tidak membebani kami dengan berbagai permintaan yang sangat sulit kami kabulkan
atau kami harus menabrak aturan yang ada karenanya. Alhamdulillah semua
pendukung menjadi sangat paham dan mereka menyatakan ikhlas membantu pasangan
kami. Semua pula ke rumah masing-masing, bahkan kemudian diantaranya ada yang
rajin melayangkan kritik kapada kami sebagai pengejawantahan rasa sayang mereka
kepada kami.
Bisakah pemimpin saat ini seperti itu? Atau
bisakah Pilkada menghasilkan kepala daerah yang seideal itu sekarang?
Tergantung kepala
daerahnya mau atau tidak. Jika Kepala Daerah memiliki integritas pribadi yang
kuat, memahami posisinya sebagai pemimpin masyarakat sekaligus pemimpin
pemerintahan, tentu bisa. Tapi kalau ia tidak paham dengan pemerintahan, tidak
paham birokrasi,tidak paham hakikat negara, tidak paham ketetanegeraan, tidak
paham budaya, tidak paham ekonomi dan hanya paham soal politik praktis belaka,
saya rasa susah juga.
Konkretnya seperti apa?
Begini, Kepala Daerah
itu selain menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat atau verlengstuuk, ia kan juga pemimpin
masyarakat. Ketika bertemu pemerintah pusat, sebanarnya ia mewakili rakyat
tempatnya jadi Kepala Daerah, ia harus bela keperluan masyarakat daerahnya.
Ambil contoh, ketika Biro Rantau dibubarkan dengan alasan tidak ada
nomenklaturnya, mestinya Kepala Daerah memberikan argumen yang kuat kepada
pemerintah pusat bahwa Biro Rantau itu adalah bagian dari kearifan lokal. Bahwa
rantau adalah wilayah yang sangat spesifik bagi orang Sumatera Barat.
Diperlukan sebuah manajemen pemerintah untuk mengoordinasikan potensoi-potensi
rantau yang sangat berguna bagi pembangunan daerah. Tapi saya tidak melihat
adanya upaya memperjuangkannya, bahkan kesan saya, ya dibiarkan saja.
Gubernur atau Kepala Daerah harus berani ambil
resiko demi masyarakat?
Mestinya begitu. Yang
terjadi, kan lebih banyak takut saja.
Seperti penggunaan dana Rajawali?
Saya tidak ingin
mengungkit-ungkit itu sebenarnya. Tapi karena Anda yang bertanya, saya jawab
saja bahwa terlalu mubazir waktu berlalu bertahun-tahun hanya untuk
membelanjakan uang yang sudah diperuntukkan bagi rakyat tapi tidak kunjung
dimanfaatkan karena takut salah.
Oke, sekarang apa yang akan Anda pesankan
kepada para tokoh yang hendak maju jadi calon Gubernur Sumbar?
Yang pertama, bahwa
gubernur itu koordinator para Bupati/Walikota. Jadi ia perlu memiliki kemampuan
menggunakan span of controlnya. Lalu ia
bukan gubernur sekelompok orang apalagi gubernurnya kantor gubernur. Ia adalah
gubernur rakyat Sumatera Barat yang include dengan komunitas rantaunya juga.
Tidak harus semua acara diborong gubernur, serahkan kepada puluhan Kepala OPD
yang terkait. Kalau bisa gubernur lebih banyak melobi ke luar, mencari
investor, melobil pemerintah pusat untuk mendapatkan tambahan anggaran
pembangunan dari yang ada dalam DAK dan DAU. Urusan ke dalam biarlah Wagub
saja, bahkan urusan mengangkat, memindahkan, mengganti pejabat dalam lingkungan
pemeringtah provinsi, serahkan ke Sekda saja. Bukankah Sekda adalah pejabat
struktural tertinggi di kantor Gubernur?
Manjadi gubernur atau kepala daerah kan karena
diusung partai?
Iya, memang benar karena itu diatur undang-undang. Tapi tidak berarti setelah jadi gubernur atau bupati atau walikota, setelah terpilih ia tetapi menjadi seorang yang monoloyalitas. Tidak. Ia sekarang milik rakyat keseluruhan, rakyat pendukung maupun rakyat yang bukan pendukung. Kata Presiden Kennedy (1961-1963): My loyality to my party is end, that my loyality to my country begin. Sebelum perang dunia II kalimat itu sudah diucapkan juga oleh Presiden Filipina Manuel L Quezon. Jadi loyalitas seorang kepala daerah kepada partainya akan berlanjut atau baru saja akan dimulai untuk memberi loyalitas kepada rakyatnya.
Dan orang partainya harus bagaimana?
Para pendukung dalam
hal ini orang partai sang kepala daerah diharap dengan ikhlas menjaga jarak
dengan kepala daerah. Kasihan dengan kepala daerahnya tidak hari direcoki
dengan berbagai permintaan para pendukung yang ia sendiri sangat merasa tidak
enak untuk tidak mengabulkannya dan mengabulkannya. Para pendukung hendaknya
rela menjadikan ‘junjungannya’ sebagai milik orang banyak. Itu akan lebih
membanggakan dan amat terhormat. (eko & alwi)