×

Iklan


Jadi Gubernur Lagi? Gamawan Fauzi: "Saya Sudah Selesai"

07 Juni 2022 | 11:00:58 WIB Last Updated 2022-06-07T11:00:58+00:00
    Share
iklan
Jadi Gubernur Lagi? Gamawan Fauzi: \"Saya Sudah Selesai\"

Berbincang dengan seorang Gamawan Fauzi pekan ini dengan wartawan Khazanah dan Khazminang.id dimulai dengan membahas kata istiqamah. Menurut etimologi, istiqamah berarti sikap teguh pendirian dan selalu konsisten. Sedang menurut Ensiklopedi Islam, istiqamah berari keadaan atau upaya seseorang untuk teguh mengikuti jalan lurus yang telah ditunjukkan Allah SWT melalui rasul-rasulnya. Mengapa berbicang seputar istiqamah? Berikut kutipan wawancara wartawan Khazanah dan khazminang.id dengan Gamawan Fauzi:

***  

Istiqamah, sepertinya agak sering Anda anjurkan?

    Iya, itu kan melanjutkan apa yang diajarkan agama kita. Dalam segala hal, sesungguhnya kita manusia sebaiknya istiqamah, teguh pendirian berdasarkan kebenaran. Apa yang kita katakan hari ini, tidak akan berubah lagi di kemudian hari. Orang Minang kan begitu juga, kato daulu batapati, kato kudian kato bacari. Iya kan?

    Bagaimana menganjurkannya kepada orang lain?

    Sesuai fungsi dan tugas kita saja. Ketika saya jadi pegawai kantor gubernur, semampu saya maka saya ajak kawan-kawan sesama pegawai untuk istiqamah, tidak berbohong, dan terus lurus. Ketika jadi Bupati, saya instruksikan para staf dan saya ajak masyarakat Kabupaten Solok untuk juga istiqamah pada kebaikan. Begitu juga ketika saya jadi Gubernur dan Menteri.

    Tapi kita dengar banyak juga resistensi atas sikap Anda itu?

    Biasalah, sebanyak yang suka diajak ke jalan yang benar sebanyak itu pula yang enggan. Rasulullah pun memiliki banyak resistensi ketika mengajak kaumnya ke jalan yang benar. Namun, saya tidak berkecil hati kalau ada yang enggan diajak beristiqamah.

    Termasuk dalam berpolitik dan berpemerintahan?

    Betul, dalam berpolitik mungkin ada strategi atau siyasah. Tapi apa perlunya kita berbong dan mendustai diri sendiri serta mendustai orang banyak demi meraup suara atau target politik? Di pemerintahan begitu juga, ada yang disebut ‘rahasia negara’ yang mesti dilindungi, nah itu bagian dari siyasah menurut saya. Tapi misalnya kita bayarkan ke kontraktor Rp1 juta tapi di pertanggungjawabannya kita tulis Rp2 juta, maka itu jauh dari sikap istiqamah.

    Dalam hubungan istiqamah, Anda berkali-kali disebut akan maju jadi Gubernur Sumbar tahun 2024 dan menolaknya dengan halus, apakah itu bentuk istiqamah juga?

    Nah, ini yang perlu saya jelaskan. Saya tidak ingin masuk lagi dalam lingkaran birokrasi pemerintahan maupun perpolitikan. Itu kan inheren dengan tidak berhasrat sama sekali untuk menjadi gubernur (lagi-red), iya kan?  Bahwa ada yang menyebut-nyebut, bahkan barangkali ada yang menginginkan saya maju lagi, ya terimakasih banyaklah atas rasa hormat itu. Saya pun menaruh hormat dengan harapan itu, tapi saya ingin katakan bahwa saya tidak ingin sama sekali.

    Bisa kita tahu apa yang paling mendasar dari ketidaktertarikan Anda?

    Begini, kita harus tahu memulai dan harus tahu mengakhiri. Dalam pemahaman saya, jabatan gubernur untuk saya sudah selesai, dan sudah harus dilanjutkan oleh gubernur berikutnya. Jadi kalau saya tidak jadi gubernur dua periode berturut-turut, tidak berarti saya harus revance. Ini bukan seperti Jenderal McArthur pergi dari Filiphina dan mengucapkan kata I came through and I shall return. Itu karena Arthur kalah oleh Jepang. Tapi saya tidak merasa kalah dan tidak merasa menang, saya mengikuti call of duty berikutnya. Call of duty berikutnya itu saya jadi menteri, ya saya jalani. Maka pada saat itu jabatan gubernur selesai, dan tidak lagi akan saya kejar apabila saya sudah selesai jadi menteri.

    Tapi kan banyak juga mantan menteri turun jadi gubernur, bahkan walikota?

    Tak masalah, itu kan karena beliau-beliau belum pernah jadi Gubernur atau Walikota. Tapi kalau saya, kan dari staf lalu jadi Kepala Bagian, lalu jadi Kepala Biro kemudian jadi Bupati dan setelah itu jadi Gubernur, kemudian menjadi Menteri. Itu kan namanya ibarat naik tangga, meningkat dari tingkat bawah hinga ke atas. Nah, kalau saya jadi Gubernur lagi, berarti saya turun. Lagi pula, tak elok, ada orang yang sedang berjalan naik, tapi saya malah turun. Pada jalan yang sempit tentu akan bertabrakan. Jadi kalau saya turun lagi, kan namanya terjadi degradasi?

    Eh, kalau naik, berarti selanjutnya jadi Menko atau Wapres?

    Mestinya begitu.

    Tapi Anda tidak mengejarnya?

    Itu yang saya maksud tadi, “kita tahu memulai dan tahu mengakhiri”. Bagi saya sampai menteri itu sudah selesai. Masih banyak orang yang bisa melanjutkan jadi menteri. Soal naik tingkat lagi? Saya kira itulah jawabannya: saya tidak berhasrat lagi untuk masuk dalam pusaran birokrasi pemerintahan. Sudah cukup. Silahkan giliran yang lain lagi.

    Artinya patah semangat melihat keadaan?

    Tidak juga. Kita harus ukur kemampuan kita. Dalam kondisi saat ini saya sudah mendekati 70 tahun. Saya ingin pada usia-usia seperti ini, kita semakin memiliki waktu untuk lebih dekat dengan Allah. Saya tahu sebesar apa daya yang saya miliki, jadi kita harus ukur bayang-bayang juga. Lagi pula untuk saat ini diperlukan tokoh-tokoh yang masih energik, sehat dan siap dengan mobilitas yang tinggi dalam menjalankan fungsi-fungsi pemimpin masyarakat. Saya mulai merasakan daya seperti itu semakin berkurang dalam diri saya. Karena itu saya lebih tertarik untuk mengerjakan hal-hal sosial, budaya, keagamaan.

    Misalnya mengurus masjid dan pesantren?

    Ya. Saya mengurus panti asuhan dan mengelolanya. Di Alahan Panjang saya mengurus masjid dan saya gabungkan dengan panti asuhan serta rumah tahfiz. Saya merasa sangat enjoy. Kadang saya berkebun. Tempo-tempo saya pun menulis, disamping membaca di perpustakaan saya di Alahan Panjang itu.

    Oke, berarti sudah kelar, bahwa seorang Gamawan Fauzi tidak akan maju dan tak berniat maju dalam Pilgub Sumbar 2024. Tapi bagaimana Anda melihat Pilgub Sumbar ini dibanding dengan ketika Anda dulu maju cadi Cagub tahun 2005?

    Ya beda lah dengan tahun 2005. Pada saat saya maju jadi Cagub, itu pertama kali gubernur dipilih langsung oleh rakyat. Semua serba baru, cara memilih yang baru, pola baru dan cara kampanye gubernur yang baru. Kalau sekarang tentu beda. Selain munculnya kultur politik baru berupa money politic,  juga rivalitas antarcalon pun sangat keras.

    Keras? Keras bagaimana?

    Saya lihat jelek menjelekkan antarcalon pun kian berkembang. Bahkan suasana kebatinan saat kampanye sampai terbawa-bawa pada saat pemilihan sudah selesai dan pemimpin baru sudah dilantik. Gerbong pendukung berbaris terus di belakang junjungannya dan terus membangun rivalisasi dengan pendukung lawan, sekalipun ia sudah menang. Tim sukses berada dalam pusaran kekuasaan ikut menentikan langkah sang pemimpin. Ini tak elok. Belum lagi budaya jual beli suara. Entah mana yang harus dipersalahkan, yang membeli suara dan yang menjual suara, menurut saya sama-sama telah mencederai demokrasi itu sendiri.

    Itu alasannya beberapa saat setelah dilantik jadi Gubernur, pasangan Gamawan-Marlis membubarkan tim suksesnya?

    Ya. Kami membubarkan tim sukses setelah pelantikan. Kami sampaikan terimakasih atas semua dukungan dan kami minta para pendukung untuk kembali ke posisi masing-masing, tidak mengelompok dan tidak menjelek-jelekkan tim sukses lain. Kami juga meminta dengan sangat, untuk mengawasi jalannya kepemimpinan kami, berikan teguran dan kritikan apabila kami melangkah di jalan yang salah. Dan kami minta juga untuk tidak membebani kami dengan berbagai permintaan yang sangat sulit kami kabulkan atau kami harus menabrak aturan yang ada karenanya. Alhamdulillah semua pendukung menjadi sangat paham dan mereka menyatakan ikhlas membantu pasangan kami. Semua pula ke rumah masing-masing, bahkan kemudian diantaranya ada yang rajin melayangkan kritik kapada kami sebagai pengejawantahan rasa sayang mereka kepada kami.

    Bisakah pemimpin saat ini seperti itu? Atau bisakah Pilkada menghasilkan kepala daerah yang seideal itu sekarang?

    Tergantung kepala daerahnya mau atau tidak. Jika Kepala Daerah memiliki integritas pribadi yang kuat, memahami posisinya sebagai pemimpin masyarakat sekaligus pemimpin pemerintahan, tentu bisa. Tapi kalau ia tidak paham dengan pemerintahan, tidak paham birokrasi,tidak paham hakikat negara, tidak paham ketetanegeraan, tidak paham budaya, tidak paham ekonomi dan hanya paham soal politik praktis belaka, saya rasa susah juga.

    Konkretnya seperti apa?

    Begini, Kepala Daerah itu selain menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat atau verlengstuuk, ia kan juga pemimpin masyarakat. Ketika bertemu pemerintah pusat, sebanarnya ia mewakili rakyat tempatnya jadi Kepala Daerah, ia harus bela keperluan masyarakat daerahnya. Ambil contoh, ketika Biro Rantau dibubarkan dengan alasan tidak ada nomenklaturnya, mestinya Kepala Daerah memberikan argumen yang kuat kepada pemerintah pusat bahwa Biro Rantau itu adalah bagian dari kearifan lokal. Bahwa rantau adalah wilayah yang sangat spesifik bagi orang Sumatera Barat. Diperlukan sebuah manajemen pemerintah untuk mengoordinasikan potensoi-potensi rantau yang sangat berguna bagi pembangunan daerah. Tapi saya tidak melihat adanya upaya memperjuangkannya, bahkan kesan saya, ya dibiarkan saja.

    Gubernur atau Kepala Daerah harus berani ambil resiko demi masyarakat?

    Mestinya begitu. Yang terjadi, kan lebih banyak takut saja.

    Seperti penggunaan dana Rajawali?

    Saya tidak ingin mengungkit-ungkit itu sebenarnya. Tapi karena Anda yang bertanya, saya jawab saja bahwa terlalu mubazir waktu berlalu bertahun-tahun hanya untuk membelanjakan uang yang sudah diperuntukkan bagi rakyat tapi tidak kunjung dimanfaatkan karena takut salah.

    Oke, sekarang apa yang akan Anda pesankan kepada para tokoh yang hendak maju jadi calon Gubernur Sumbar?

    Yang pertama, bahwa gubernur itu koordinator para Bupati/Walikota. Jadi ia perlu memiliki kemampuan menggunakan  span of controlnya. Lalu ia bukan gubernur sekelompok orang apalagi gubernurnya kantor gubernur. Ia adalah gubernur rakyat Sumatera Barat yang include dengan komunitas rantaunya juga. Tidak harus semua acara diborong gubernur, serahkan kepada puluhan Kepala OPD yang terkait. Kalau bisa gubernur lebih banyak melobi ke luar, mencari investor, melobil pemerintah pusat untuk mendapatkan tambahan anggaran pembangunan dari yang ada dalam DAK dan DAU. Urusan ke dalam biarlah Wagub saja, bahkan urusan mengangkat, memindahkan, mengganti pejabat dalam lingkungan pemeringtah provinsi, serahkan ke Sekda saja. Bukankah Sekda adalah pejabat struktural tertinggi di kantor Gubernur? 

    Manjadi gubernur atau kepala daerah kan karena diusung partai?

    Iya, memang benar karena itu diatur undang-undang. Tapi tidak berarti setelah jadi gubernur atau bupati atau walikota, setelah terpilih ia tetapi menjadi seorang yang monoloyalitas. Tidak. Ia sekarang milik rakyat keseluruhan, rakyat pendukung maupun rakyat yang bukan pendukung. Kata Presiden Kennedy (1961-1963): My loyality to my party is end, that my loyality to my country  begin. Sebelum perang dunia II kalimat itu sudah diucapkan juga oleh Presiden Filipina Manuel L Quezon. Jadi loyalitas seorang kepala daerah kepada partainya akan berlanjut atau baru saja akan dimulai untuk memberi  loyalitas kepada rakyatnya.

    Dan orang partainya harus bagaimana?

    Para pendukung dalam hal ini orang partai sang kepala daerah diharap dengan ikhlas menjaga jarak dengan kepala daerah. Kasihan dengan kepala daerahnya tidak hari direcoki dengan berbagai permintaan para pendukung yang ia sendiri sangat merasa tidak enak untuk tidak mengabulkannya dan mengabulkannya. Para pendukung hendaknya rela menjadikan ‘junjungannya’ sebagai milik orang banyak. Itu akan lebih membanggakan dan amat terhormat. (eko & alwi)