![]() |
Jakarta,
Khazanah – Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas,
Suharso Monoarfa menanggapi hasil kajian LPEM FEB UI yang menyatakan bahwa
Indonesia terancam gagal menjadi negara maju pada 2045.
Suharso
mengatakan, bahwa hasil kajian tersebut bisa benar-benar terjadi apabila
ekonomi Indonesia bergerak linear atau pada kisaran angka yang tetap.
"Dengan perhitungan sederhana saja menggunakan rule
of thumb angka 72, kalau kita mau dua kali lipat dari yang sekarang saja
dengan tumbuh 5% berapa lama dan seterusnya," kata Suharso di Jakarta
Pusat, Senin (20/11/2023).
Perhitungan
tersebut menurut Suharso tidak salah, namun dia tidak mau terpaku dengan angka.
"Dan
memang kalau disederhanakan seperti itu saya sedikit percaya mengenai
kemungkinan kita akan belum mencapai masuk di high ekonomi tahun 2045 kalau
pertumbuhannya seperti ini (stagnan)," sambungnya.
Menurutnya yang perlu dilakukan adalah menggerakkan
sumber-sumber pertumbuhan.
"Sumber-sumber
pertumbuh yang paling baik bagi kita dan kesempatannya masih ada, ada di
industri. Kenapa? karena kontribusi dari industri manufaktur kita itu di bawah
20%, sekarang 18%. Kalau kita kasih naik aja ke 25% otomaticly, pertumbuhannya
tidak hanya secara kuantitas naik, kualitasnya juga," ujarnya.
Suharso
juga mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya punya potensi yang
lebih besar dibandingkan pertumbuhan pada hari ini.
"Itu
ditandai dengan angka ICOR kita yang relatif sangat tinggi sekali, kalau itu
bisa ditekan saja, maka dengan investasi rasio yang kita miliki sekarang,
sebenarnya kita bisa terbang, tumbuh di atas 5% bisa sampai dengan 6%,"
bebernya.
Sebelumnya,
LPEM FEB UI merilis white paper berjudul Dari LPEM Bagi Indonesia: Agenda
Ekonomi dan Masyarakat 2024-2029.
Dalam
White Paper tersebut terungkap bahwa Indonesia belum memenuhi syarat cukup dan
syarat perlu untuk menuju negara berpendapatan tinggi.
Fakta
menunjukkan bahwa dalam dua dekade terakhir, Indonesia mengalami pertumbuhan
ekonomi tidak pernah jauh dari 5%, pertumbuhan kredit per tahun yang tidak
pernah lebih dari 15%, dan partisipasi kerja perempuan yang mentok di angka
54%.
Selain
itu, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tidak pernah
melampaui 11%, bahkan hanya 9,9% dalam satu dekade terakhir.