×

Iklan

RENUNGAN 17 AGUSTUS
Imajinasi Kemerdekaan dan Peringatan ke....

14 Agustus 2020 | 21:26:31 WIB Last Updated 2020-08-14T21:26:31+00:00
    Share
iklan
Imajinasi Kemerdekaan dan Peringatan ke....

Oleh: Dr. H. Gamawan Fauzi Dt Rajo Nan Sati

“Manga urang rami rami,” tanya Palin kepada Barola saat berpapasan dekat alun-alun yang sesak dengan keramaian, hiruk-pikuk musik dan beribu umbul-umbul berwarna-warni yang bergairah.

“Tapi ado acara pangguanng rakyat mamperingati hari Kemerdekaan 75 tahun Indonesia Merdeka”, jawab Barola.

    “OoooMerdek .... ? Merdeka ya, mer..de.. ka. Merdeka,” kata Palin, makin lama makin pelan. Tatapannya jauh entah kemana, seperti mengingingat sesuatu yang sudah lama. Wajahnya berubah sendu dan murung. Lalu dia menekur ke tanah dan kemudian mengangkat kepalanya kembali sambil meraih pacul dan keranjang rumput yang tadi teronggok di tanah.

    “Iyalah..., ka sawah lah ambo dulu, harilah siang,” katanya kepada Barola yang sibuk menjadi paniti aacara itu. Kemerdekaan bagi Palin adalah kebebasan menyekolahkan anaknya, meskipun berat dari hasil sawah yang terbatas. panggung hiburan itu kini berhenti sejenak mendengarkan pidato pembukan.

    Pak Luran naik ke pentas.

    “Merdeka, Merdeka, Merdeka!” serunya, sambil mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi, disambut penonton dengan yel yang sama.

    “Saudara saudara sekalian, sebelum saya berpidato, saya ingin mengingatkan agar di tengah wabah covid 19 ini tetap dijaga jarak, walaupun kita beracara, protokol covid harus tetap dipatuhi dengan sangat disiplin”

    “Siaaaap pak Lurah,” gemuruh penonton.

    “Hari ini kita memperingati ke 75 tahun Kemerdekaan Indonesia. Banyak kemajuan yang kita capai di segala bidang. Lihatlah, jalan-jalan kita sudah bagus, sekolah-sekolah bagus, anak-anak kita bisa belajar dan banyak yang menjadi pintar. Begitu juga kesejahteraan masyarat, semua sudah berubah dan semakin baik. Mana mungkin kalau kita tetap dalam penjajahan bisa seperti ini,” katanya meyakinkan.

    “Karena itu sadara-saudara... semua harus kita syukuri dan kita terus kerja, kerja dan kerja, agar kita makin sejahtera,” kata Pak Lurah disambut tepuk tangan penonton. Pendek saja pidato pak Lurah, karena dia tahu bahwa musik lebih penting dari pidatonya bagi anak-anak muda yang datang.

    Dan panggung pun kembali pecah dengan suara musik dangdut yang dinyanyikan.

    Di tempat lain di tepi desa. Tek Baya yang saat itu sibuk di tungku meniup-niup perapian, baginya kemerdekaan adalah bisa berdagang mangkuak dari pasar ke pasar setiap hari untuk menghidupi empat orang anaknya yang yatim. Dia single parent sejak ditinggal mati suaminya.

    “Kemerdekaan?” Bagi Tancuang, adalah dapat pula 2 bulan remisi. Mengurangi masa hukumnnya yang panjang di penjara karena membunuh dan merampok.

    Lain lagi Anita, artis terkenal di kampungnya. Hari Kemerdekaan adalah panen raya. Bisa menuai banyak orderan menyanyi, biasanya sampai September masih ada panggung terbuka. Tapi kali ini dia agak khawatir, kalau ada larangan acara kerumunan masa karena covid 19. Padahal sudah 4 bulan dia “puasa“ manggung karena tak ada orderan.

    Bagi Bujang Kirai, semua sama saja. “Yang jelas kalau musim bagus, saya ke laut dengan biduk pincalang ini. Yang penting tungku berasap.

    “Merdeka, merdeka malah, yang penting saya tak dilarang ke masjid shalat berjamaah. Saya tak takut covid 19, nyawa ada di tangan Tuhan. Tak ada alam yang memberi bekas,” kata buya Rahmatan. La haula walaquata illabillah. Buya melanjutkan komentarnya: “Tapi karena saya merdeka dilarang larang ke mesjid, saya tak kan patuh. Sudah merdeka, masak ada larang melarang? Namanya saja merdeka,” katanya sengit.

    Apa pula kata Asong?

    “Merdeka itu penting, sepenting pentingnya. Merdeka itu harus kita sambut gegap gempita, kita rayakan. Tak baiklah merdeka itu diam-diam saja. Jangan kita sampai tak merdeka ya,” katanya meyakinkan. Kakinya diangkat dan disilangkan sambil duduk santai, kedua tangannya rebah ke kiri kanan kursi yang lebar. Ada sebatang cerutu Colombia terselip dijarinya yang putih bersih. Asong tak hafal Pancasila, tapi katanya, apa yang dia kerjakan itu isinya Pancasila semua. “Berapa banyak usaha dan bisnis saya bisa membuka lapangan kerja. Itu keadilan sosial bukan?” kata Asong seolah bertanya. Anjing herder 3 ekor di belakang rumahnya terus saja menggonggong. Mungkin ada pengemis yang lewat di halaman rumah yang luas itu.

    Bagi pak guru Sa’ban yang tenang dan sabar, kemerdekaan adalah baktinya 30 tahun mengaja murid Sekolah Dasar. Wajahnya terlihat cerah saat dia berucap, “Banyak anak didik saya yang sudah jadi orang besar. Walau saya masih seperti ini, tapi saya bahagia mengisi kemerdekan dengan mencerdaskan banyak orang,” dia pelan.

    Di panggung terbuka musik terus bernyanyi hingga menjelang petang, akhirnya sampai kapada lagu terakhir. MC mempersilahkan menutup acara dengan pidato singkat donatur tahun ini, dengan terlebih dahulu menyumbangkan sebuah lagu.

    Akong bergegas naik panggung. Instrumen musik sudah masuk pada interlude lagu itu. Ooo….rupanya Akong akan melagukan Kemesraan dari Franky and Jane. Bergegas Akong meraih mikrofon dan mulai melantunkan lagu itu dengan syairnya yang dia ubah.....

    Kemerdekaan ini, janganlah sampai kau pergi ,kemerdekaan ini benar benar kunikmati. Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu, hatiku damai, jiwaku slalu bersamamuuuuuu...” Penonton bertepuk-tepuk, walaupun suara Akong banyak falsnya.

    Panggung ditutup dengan pidato singkat Akong, penonton pulang satu demi satu berjalan kaki dan bersepeda motor. Pak polisi sibuk mengatur lalulintas, berkeringat-keringat. Merdekaaaaaaaa!