Oleh: Dr. H. Gamawan Fauzi Dt Rajo Nan Sati
“Manga urang rami rami,” tanya Palin kepada Barola saat berpapasan dekat
alun-alun yang sesak dengan keramaian, hiruk-pikuk musik dan beribu umbul-umbul berwarna-warni yang bergairah.
“Tapi ado acara pangguanng rakyat mamperingati hari Kemerdekaan 75 tahun Indonesia Merdeka”, jawab
Barola.
“OoooMerdek .... ? Merdeka ya, mer..de..
ka. Merdeka,”
kata Palin, makin lama makin pelan.
Tatapannya jauh entah kemana, seperti
mengingingat sesuatu yang sudah lama.
Wajahnya berubah sendu dan murung.
Lalu dia menekur ke tanah dan kemudian
mengangkat kepalanya kembali sambil
meraih pacul dan keranjang rumput yang
tadi teronggok di tanah.
“Iyalah..., ka sawah lah ambo dulu, harilah siang,”
katanya kepada Barola yang sibuk
menjadi paniti aacara itu. Kemerdekaan
bagi Palin adalah kebebasan menyekolahkan anaknya, meskipun berat dari hasil sawah yang terbatas. panggung hiburan itu kini
berhenti sejenak mendengarkan pidato pembukan.
Pak
Luran naik ke pentas.
“Merdeka,
Merdeka, Merdeka!” serunya, sambil
mengangkat kepalan tangannya tinggi-tinggi,
disambut penonton dengan yel yang
sama.
“Saudara
saudara sekalian, sebelum saya berpidato,
saya ingin mengingatkan agar di
tengah wabah covid 19 ini tetap dijaga jarak, walaupun
kita beracara, protokol covid harus tetap dipatuhi
dengan sangat disiplin”
“Siaaaap
pak Lurah,” gemuruh penonton.
“Hari
ini kita memperingati ke 75 tahun Kemerdekaan
Indonesia. Banyak kemajuan yang kita
capai di segala bidang. Lihatlah, jalan-jalan kita sudah bagus, sekolah-sekolah
bagus, anak-anak kita bisa belajar dan banyak yang
menjadi pintar. Begitu juga kesejahteraan
masyarat, semua sudah berubah dan semakin baik. Mana
mungkin kalau kita tetap dalam penjajahan bisa
seperti ini,” katanya meyakinkan.
“Karena
itu sadara-saudara... semua harus kita syukuri dan kita terus kerja, kerja dan
kerja, agar kita makin sejahtera,” kata Pak Lurah
disambut tepuk tangan penonton. Pendek saja
pidato pak Lurah, karena dia tahu bahwa musik lebih
penting dari pidatonya bagi anak-anak muda yang
datang.
Dan
panggung pun kembali pecah dengan suara musik dangdut yang dinyanyikan.
Di
tempat lain di tepi desa. Tek Baya yang saat itu
sibuk di tungku meniup-niup perapian, baginya
kemerdekaan adalah bisa berdagang mangkuak dari pasar ke
pasar setiap hari untuk menghidupi empat
orang anaknya yang yatim. Dia single parent sejak ditinggal mati
suaminya.
“Kemerdekaan?”
Bagi Tancuang, adalah dapat pula 2
bulan remisi. Mengurangi masa hukumnnya yang
panjang di penjara karena membunuh dan merampok.
Lain
lagi Anita, artis terkenal di kampungnya. Hari
Kemerdekaan adalah panen raya. Bisa menuai banyak
orderan menyanyi, biasanya sampai September
masih ada panggung terbuka. Tapi kali ini
dia agak khawatir, kalau ada larangan acara
kerumunan masa karena covid 19. Padahal sudah 4 bulan dia “puasa“ manggung
karena tak ada orderan.
Bagi
Bujang Kirai, semua sama saja. “Yang jelas
kalau musim bagus, saya ke laut dengan biduk
pincalang ini. Yang penting tungku berasap.
“Merdeka,
merdeka malah, yang penting saya tak
dilarang ke masjid shalat berjamaah. Saya tak
takut covid 19, nyawa ada di tangan Tuhan. Tak ada alam yang memberi bekas,” kata
buya Rahmatan. La haula walaquata illabillah. Buya melanjutkan
komentarnya: “Tapi karena saya merdeka
dilarang larang ke mesjid, saya tak kan patuh. Sudah merdeka, masak ada larang
melarang? Namanya saja merdeka,” katanya sengit.
Apa pula
kata Asong?
“Merdeka
itu penting, sepenting pentingnya. Merdeka itu harus
kita sambut gegap gempita, kita rayakan. Tak
baiklah merdeka itu diam-diam
saja. Jangan kita sampai tak
merdeka ya,” katanya meyakinkan. Kakinya diangkat
dan disilangkan sambil duduk santai, kedua
tangannya rebah ke kiri kanan kursi yang lebar.
Ada sebatang cerutu Colombia terselip dijarinya yang putih bersih. Asong tak
hafal Pancasila, tapi katanya, apa yang dia kerjakan itu
isinya Pancasila semua. “Berapa banyak usaha
dan bisnis saya bisa membuka lapangan kerja. Itu
keadilan sosial bukan?” kata Asong seolah
bertanya. Anjing herder 3 ekor di belakang rumahnya terus
saja menggonggong. Mungkin ada pengemis yang lewat di halaman rumah yang luas itu.
Bagi pak
guru Sa’ban yang tenang dan sabar, kemerdekaan
adalah baktinya 30 tahun mengaja murid
Sekolah Dasar. Wajahnya terlihat cerah saat dia
berucap, “Banyak anak didik saya yang sudah jadi
orang besar. Walau saya masih seperti ini, tapi
saya bahagia mengisi kemerdekan dengan mencerdaskan
banyak orang,” dia pelan.
Di
panggung terbuka musik terus bernyanyi hingga
menjelang petang, akhirnya sampai kapada lagu
terakhir. MC mempersilahkan menutup acara dengan
pidato singkat donatur tahun ini, dengan terlebih
dahulu menyumbangkan sebuah lagu.
Akong
bergegas naik panggung. Instrumen musik
sudah masuk pada interlude lagu itu.
Ooo….rupanya Akong akan melagukan Kemesraan dari Franky
and Jane. Bergegas Akong meraih mikrofon dan
mulai melantunkan lagu itu dengan syairnya yang
dia ubah.....
“Kemerdekaan ini, janganlah sampai kau pergi ,kemerdekaan ini benar benar kunikmati.
Hatiku damai, jiwaku
tentram bersamamu, hatiku damai, jiwaku
slalu bersamamuuuuuu...” Penonton bertepuk-tepuk,
walaupun suara Akong banyak falsnya.
Panggung
ditutup dengan pidato singkat Akong, penonton
pulang satu demi satu berjalan kaki dan bersepeda
motor. Pak polisi sibuk mengatur lalulintas, berkeringat-keringat.
Merdekaaaaaaaa!